Jangan Berdusta atas Nama Nabi


Oleh: Khairil Miswar 

Bireuen, 14 Mei 2012


Sumber: aslibumiayu.wordpress.com
Salah satu sifat buruk yang sering luput dari perhatian manusia adalah berdusta. Sifat ini terkadang muncul dengan sendirinya tanpa ada perencanaan dari pelakunya. Berdusta atau berbohong yang dalam bahasa Arab di sebut dengan “kizb” merupakan perilaku yang sangat buruk baik ditinjau dari segi akal maupun dalil. Kita semua yakin bahwa tidak ada akal yang menyatakan bahwa dusta itu baik, kecuali jika orang yang berakal tersebut sudah kehilangan akalnya. 

Berdusta adalah mengatakan sesuatu yang tidak sesuai dengan kenyataan atau sesuatu yang bertentangan dengan kebenaran. Berdusta tidak cuma membawa efek buruk bagi orang lain, tetapi juga bisa mendatangkan petaka bagi dirinya sendiri. Apalagi jika kedustaan yang dilakukan oleh seseorang menyangkut marwah dan kehormatan orang lain. Agama Islam dengan tegas melarang perilaku dusta, hal ini dibuktikan dengan dalil-dalil yang ada baik dari Al-Quran maupun sunnah. Kita semua yakin dan percaya bahwa tidak ada satu ulamapun dari kalangan Ahlussunnah yang membolehkan berdusta kecuali ulama – ulama Syi’ah. Mereka (ulama Syi’ah) membolehkan berdusta guna menutupi ajaran dan jati diri mereka. Perilaku tersebut sering mereka sebut dengan istilah “taqiyah”. Tentang masalah taqiyah ini para pembaca bisa melihatnya di kitab-kitab yang ditulis oleh ulama-ulama Syi’ah ataupun dalam kitab-kitab yang ditulis oleh ulama Ahlussunnah dalam membantah ajaran Syi’ah. 

Namun demikian, terkadang dalam kondisi tertentu (darurat) berdusta diperbolehkan dengan tujuan tertentu yang sudah dijelaskan dalam syara’. Tapi pembolehan tersebut tidak boleh ditafsirkan serampangan sehingga keluar dari garis-garis hukum yang sudah di ajarkan oleh Rasul Shallallahu 'alaihi wasallam melalui hadits-hadits yang shahih dan sudah teruji ke absahannya (otentik). 

Dalam sebuah hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam pernah bersabda: “Wajib atas kalian untuk jujur, sesungguhnya kejujuran itu akan membimbing kalian menuju ke kebajikan, dan kebajikan akan membimbing menuju surga, dan tidaklah seorang laki-laki itu jujur dan berusaha untuk jujur maka dia akan dicatat di sisi Allah sebagai shiddiiq. Hati-hati kalian dari bohong karena sesungguhnya bohong itu membimbing menuju kefajiran dan kefajiran membimbing menuju ke neraka, dan tidaklah seseorang itu berbohong dan berusaha untuk berbohong maka akan dicatat di sisi Allah sebagai pembohong”. Hadits ini menjadi dasar hukum bahwa perilaku dusta adalah sangat tercela sehingga Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam melarang umatnya untuk berdusta. 

Dalam kehidupan sehari-hari terkadang kita (termasuk penulis) berdusta tanpa sengaja dan motifnya pun bermacam-macam. Terkadang kita terpaksa berdusta hanya dengan maksud untuk mengangkat derajat kita di depan lawan bicara. Kita juga sering berdusta untuk menyembunyikan kekurangan yang kita miliki. 

Dalam hadits lain Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam juga pernah bersabda bahwa salah satu ciri-ciri orang munafiq adalah ketika dia berbicara dia berdusta. Semoga saja Allah menjauhkan kita dari perilaku tersebut dan memberikan petunjuk kepada kita semua agar kita termasuk dalam orang – orang yang selalu berkata benar. 

Berdusta Atas nama Nabi.

Jika berdusta terhadap sesama kita dilarang oleh Allah, lantas bagaimana dengan orang-orang yang sengaja berdusta atas nama Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam?

Sumber: pustakaimamsyafii.com
Imam Bukhari dan Imam Muslim dalam kitab mereka membawa hadits dengan berbagai lafadz yang diriwayatkan oleh beberapa shahabat tentang larangan berdusta atas nama Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam. Diantaranya hadits dari ‘Ali Radhiallahu ' anhu; “Jangan kamu berdusta atas namaku, sesungguhnya barang siapa berdusta atas namaku akan masuk neraka”. Abu Hurairah Radhiallahu ' anhu, Shahabat yang hampir setiap saat mendampingi Nabi juga membawakan sebuah hadits; “Barang siapa berdusta atas namaku (Nabi) dengan sengaja maka dia mempersiapkan tempat duduknya di neraka”. Al Mughirah Radhiallahu ' anhu juga membawa sebuah hadits yang berasal dari Nabi; “Sesungguhnya berdusta atas namaku tidak sama dengan berdusta terhadap orang lain”.

Tiga hadits di atas yang lafadznya memiliki kemiripan satu sama lain merupakan dasar hukum tentang dilarangnya berdusta atas nama Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam. Masuk dalam katagori berdusta atas nama Nabi adalah mereka-mereka yang menciptakan hadits-hadits palsu. Persoalan hadits palsu sebenarnya bukanlah hal baru, perilaku ini sudah terjadi sejak dahulu. Ketika itu orang – orang sengaja menciptakan hadits palsu dengan tujuan untuk mempertahankan pendapatnya agar di akui oleh orang lain. Ketika hadits palsu telah tersebar dan bercampur baur dengan hadits shahih maka berkat hidayah Allah tergeraklah hati para ulama diantaranya Imam Bukhari dan Imam Muslim untuk melakukan pencarian, penelitian dan seleksi terhadap hadits-hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam . Hadits-hadits yang menurut penelitian mereka berkualitas shahih mereka kumpulkan dalam satu kitab yang kita kenal dengan sebutan shahih Bukhari dan Shahih Muslim. 

Pada zaman berikutnya juga telah lahir sejumlah ulama besar yang menaruh perhatian besar terhadap hadits-hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam, diantaranya Ibnu Hajar Al-Asqalani (penulis Kitab Bulughul Mar`am dan Fathul Bari Syarah Bukhari) dan Imam An Nawawi (penulis syarah Muslim). Pada abad ke dua puluh, seorang ulama yang lahir di Albania yaitu Syaikh Muhammad Nashieruddin Al-Albani juga telah melakukan langkah-langkah sistematis untuk memisahkan hadits shahih dan hadits maudhu’ (palsu) dalam kitabnya yang terkenal dengan “Silisilah Al Ahadits Ash Shahihah” dan “Silisilah Al Ahadits Adh Dha`ifah wal Maudhu`ah”. Terlepas dari kontroversi, yang jelas Syaikh Al Bani sudah melakukan yang terbaik untuk menyelamatkan hadits – hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam. 

Meskipun para ulama sudah menjelaskan tentang bahaya meriwayatkan hadits palsu dan hadits dha’if (kecuali ada penguat atau pengikut) namun masih ada juga di kalangan kita yang dengan semangatnya menjadikan hadits-hadits palsu sebagai alat untuk mempertahankan pendapatnya. Dengan tanpa beban, sebagian dari kita tanpa rasa berdosa dengan sengaja berdusta atas nama Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam. Sebagian dari kita dengan serampangan menyandarkan perkataan – perkataan yang tidak jelas kepada Nabi, padahal Nabi tidak pernah sekalipun mengucapkan kalimat tersebut. Meskipun hadits palsu yang kita sandarkan tersebut isinya benar dan baik tetap saja dilarang. Jika tidak pernah di ucapkan oleh Nabi, maka itu bukan hadits meskipun isinya baik dan benar. 

Syaikh Abul Harits Muhammad bin Ibrahim As Salafy Al Jazairy dalam Syarhu Al – Mandhumah Al Baiquniyah menyebutkan bahwa definisi hadits adalah sesuatu yang sudah pasti warid dari Nabi, baik perkataan, perbuatan, persetujuan (diamnya Nabi atas perbuatan yang dilakukan di hadapannnya) ataupun sifat (khalqiah dan khuluqiah). Berdasarkan definisi ini dapat disimpulkan bahwa segala sesuatu yang tidak pernah di ucapkan, tidak pernah dilakukan dan tidak pernah disetujui oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam tidak dapat dikatakan sebagai hadits meskipun kata – katanya indah dan menawan. Kita tidak boleh seenaknya mengatakan ini perkataan Nabi, itu perbuatan Nabi dsb hanya untuk membenarkan argument kita. Jika yang berkata adalah Abu Bakar, kita wajib katakan ini “kata Abu Bakar”, jika yang berkata itu ulama kita juga wajib menjelaskan bahwa ini adalah “kata ulama”, dsb. Jangan semuanya disandarkan kepada Nabi sedangkan Nabi sendiri tidak tahu menahu tentang apa yang kita ucapkan tersebut, demikian disebutkan oleh para ulama (ahli hadits) dalam kitab-kitab mereka. 

Semoga saja kita diberi petunjuk oleh Allah agar kita berhati-hati dalam berbicara jangan sampai tanpa sengaja kita telah berdusta atas nama Nabi yang akhirnya akan mengantarkan kita ke neraka. Wallahul Musta’an.

Not: Materi tulisan ini penulis rangkum dari berbagai referensi yang ada pada penulis.

Artikel ini sudah diterbitkan di Harian Pikiran Merdeka




loading...

No comments