Islam Agama Wahyu, Bukan Agama Rakyu


Oleh: Khairil Miswar 

Bireuen, 11 Mei 2012

Sebelum Islam datang, agama Yahudi dan Nasrani juga merupakan agama resmi yang di anut oleh umat-umat sebelum Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam di utus ke dunia ini. Kitab Zabur, Taurat dan Injil juga merupakan kitab samawi yang memuat ajaran-ajaran langit dan pernah diturunkan oleh Allah kepada Nabi-Nabi terdahulu. Pada awal-awalnya ketika Nabi mereka masih hidup, sebagian dari mereka menjadi pengikut setia ajaran tersebut, namun tidak sedikit pula dari kalangan mereka yang dengan congkaknya membangkang dan menentang ajaran Ilahi yang dibawa oleh para Anbiya tersebut.


Pada perkembangan selanjutnya, ketika Nabi mereka telah diwafatkan oleh Allah sebagian umat para Nabi terdahulu meninggalkan ajaran-ajaran suci dari para Nabi tersebut. Mereka beralih kepada penyembahan-penyembahan berhala dan tidak sedikit dari mereka yang menjadikan Nabi mereka sebagai sesembahan selain Allah seperti halnya umat Nasrani yang dengan kebodohan mereka menyatakan bahwa Isa ‘Alaihissalam adalah anak Allah. Para pendeta dari kalangan Nasrani mengubah ajaran Nasrani yang murni dengan cara mencapuradukkan ajaran tersebut dengan rakyu (akal) mereka. Hal serupa juga dilakukan oleh kaum Yahudi melalui tangan para rahib mereka yang jahil. 

Islam Agama Terakhir.

Setelah Islam datang, agama Nasrani dan Yahudi di mansukh (dihapus) oleh Allah Subhanahu Wata’ala. Islam bertugas menyempurnakan ajaran – ajaran terdahulu yang sudah diselewengkan oleh para pemeluknya melalui tangan para pendeta dan rahib. Islam adalah agama terakhir yang diturunkan oleh Allah kepada umat akhir zaman. Tidak ada Nabi setelah diwafatkannya Rasul yang mulia Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam, konsekwensi dari ketetapan ini adalah sesatnya orang-orang yang mengakui dirinya sebagai Nabi setelah wafatnya Rasul Shallallahu 'alaihi wasallam

Gua Hira, Tempat Wahyu Pertama Turun

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam Al-Quran bahwa agama yang diridhaiNya cuma agama Islam, dengan demikian tidak ada agama yang sah di dunia ini selain Islam. Agama Islam yang dimaksudkan disini adalah ajaran yang disampaikan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam melalui para sahabatnya, kemudian di ikuti oleh tabi’in, tabi’ut tabi’in dan akhirnya sampai kepada kita semua melalui perjuangan para ulama. 



Islam Sudah Sempurna.

Para mufassir menafsirkan bahwa ayat ke tiga surat Al Maidah merupakan dasar hukum bahwa agama ini sudah sempurna dan lengkap. Ayat tersebut berbunyi; “Hari ini telah aku sempurnakan bagimu agamamu dan Aku cukupkan bagimu nikmatKu dan Aku ridhai Islam sebagai agamamu”. Konsekwensi logis dari ayat ini adalah bahwa ajaran Islam sudah sempurna dan lengkap sehingga tidak butuh kepada penambahan. Tidak seorangpun diberi otoritas untuk mengubah ataupun menambah sesuatu ke dalam agama ini setelah agama ini dinyatakan sempurna oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai pemilik syari’at. 

Rasul yang mulia Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam telah meninggalkan dua perkara kepada umat ini dengan jaminan umat Islam tidak akan tersesat selama mereka berpegang teguh dengannya, dua perkara yang dimaksud oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam adalah Kitabullah (Al – Quran) dan Assunnah (Hadits).

Jangan Menambah

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari shahabat Al Irbadh bin Sariyah Radhiallahu ' anhu, Rasul Shallallahu 'alaihi wasallam menegaskan agar kita berpegang teguh dengan sunnahnya dan sunnah para khalifah yang lurus yang telah diberi petunjuk oleh Allah setelah wafatnya beliau Shallallahu 'alaihi wasallam. Rasul Shallallahu 'alaihi wasallam juga mengingatkan kepada kita untuk berhati – hati dengan perkara baru karena menurut Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam setiap perkara baru (dalam agama) adalah bid’ah dan setiap bid’ah itu adalah sesat. Meskipun ada sebagian orang yang mempersoalkan lafadz “kullu” dalam hadits ini, namun kebanyakan ulama menyatakan bahwa setiap amalan baru dalam agama adalah bid’ah. Menurut mereka lafadz tersebut bersifat umum dan tidak ada pengecualian.

Jangan Mendahului Nabi

Salah satu sifat wajib bagi Nabi adalah tabligh (menyampaikan). Jika kita meyakini sifat ini ada pada Nabi sudah tentu kita tidak akan mencurigai Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam. Kita semua yakin bahwa sebelum Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam wafat, beliau sudah menyampaikan setiap perkara kepada kita melalui para shahabatnya Radhiallahu ' anhum. Setiap bentuk ibadah juga sudah beliau ajarkan kepada kita sehingga tidak perlu lagi kita menambahi dengan ibadah yang tidak pernah beliau ajarkan. Tidak ada satu halpun yang luput dari perhatian Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam, bahkan cara istinja’pun sudah di ajarkan. 

Meskipun demikian masih banyak juga orang yang belum merasa puas dengan ajaran yang dibawa oleh Nabi, mereka tidak segan-segan menciptakan model ibadah sesuka hati mereka tanpa memperhatikan tuntunan syari’at. Alasannya pun sangat sederhana, mereka biasa berkata; “guru – guru kami mengajarkan kami demikian dan kami mengikutinya”. Jika kita mau berfikir rasional tentu kita tidak akan berhenti sampai disitu, kita tentunya bisa mencari jawaban yang lebih logis dan sesuai dengan ajaran yang dibawa oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam. Guru kita juga manusia biasa sama seperti kita yang mungkin saja silap dan lupa. Mereka tidak ma’shum, yang ma’shum cuma Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam.

Jika amalan yang diajarkan oleh guru kita sesuai dengan tuntunan syari’at maka kita wajib mengikutinya, berbeda halnya jika amalan guru kita tersebut bertentangan dengan ajaran yang di bawa oleh Nabi maka kita tidak mungkin mengikuti guru kita tersebut dan meninggalkan ajaran suci Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam yang kebenarannya bersifat muthlaq. Tugas kita adalah mengikuti kebenaran bukan mengekori kebathilan. Namun demikian kita dituntut untuk mengedepankan adab dengan guru kita meskipun terkadang mereka tersilap dan terlupa. Mungkin sebagian dari kita akan bertanya; dari mana kita tahu ajaran guru kita bertentangan dengan ajaran Nabi atau tidak? Sebenarnya jawabannya sangat mudah; untuk mengetahui hal tersebut bertentangan atau tidak maka kita dituntut untuk belajar. 

Untuk melakukan setiap amalan dalam agama ini dibutuhkan dalil baik dari Al – Quran maupun As Sunnah sebagai dasar hukum. Kita tidak bisa melaksanakan ibadah yang tidak ada dalil dan petunjuknya dari Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam. Meskipun amalan yang kita lakukan tersebut baik tetap saja tidak di izinkan jika tidak ada dalil yang memerintahkan. Jika kita memaksakan diri untuk melakukan ritual ibadah yang tidak ada dasar hukumnya dalam Islam berarti sama halnya kita telah menuduh Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam berkhianat karena telah menyembunyikan ajaran. Jika memang amalan tersebut baik, sudah tentu para shahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam akan berlomba-lomba melakukan hal tersebut karena mereka adalah umat yang paling ta’at kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam. Demikian disebutkan oleh para ulama dalam kitab – kitab mereka. Wallahu Waliyut Taufiq.

Artikel ini sudah diterbitkan di Harian Aceh





loading...

No comments