Ide Konyol Paduka Walikota
Oleh: Khairil Miswar
Bireuen, 05 Januari 2013
Walikota Lhokseumawe
Sumber: m.medanbagus.com
|
Sang walikota beralasan bahwa pelarangan duduk mengangkang adalah untuk mendukung Syariat Islam yang telah ada Qanun-nya di Aceh. Menurut beliau (Suaidi), kaum perempuan yang duduk mengangkang saat dibonceng sepeda motor, tidak sesuai dengan budaya Aceh yang Islami. Suadi juga menyatakan, budaya Aceh dalam berkendaraan bagi wanita adalah dengan cara duduk menyamping (http://www.bbc.co.uk, 03 / 01/ 2013).
Mengangkang Melanggar Syari’at?
Larangan duduk mengangkang dalam berkendaraan khususnya sepeda motor yang dicetuskan oleh Walikota Lhokseumawe menurut penulis adalah kebijakan yang sama sekali tidak bijak. Larangan tersebut tidak memiliki landasan yang kuat baik dari segi dalil maupun akal. Pernyataan Walikota bahwa duduk kangkang melanggar adat istiadat Aceh dan syari’at Islam menurut penulis adalah anggapan yang berlebihan dan bertentangan dengan fakta sejarah. Jika memang ingin menerapkan syari’at Islam, maksimalkan dulu penerapan qanun-qanun yang sudah ada, tanpa perlu menambah aturan baru yang akhirnya hanya akan menjadi cerita yang tak laku.
Ilustrasi. Sumber: www.ibnuhasyim.com |
Tidak cuma di Aceh, para wanita di negeri Arab masa lampau juga menggunakan kuda sebagai kendaraan, dan sebagian dari mereka malah ada yang menunggangi unta sebagaimana hal tersebut pernah dilakukan oleh Aisyah Radhiallahu 'anha pada saat memimpin perang Jamal. Dalam beberapa riwayat juga disebutkan bahwa Shafiyah binti Abdul Muthalib Radhiallahu 'anha juga sering menunggang kuda dalam sejumlah peperangan.
Adalah sangat tidak masuk akal jika para perempuan mengendarai kuda dengan posisi menyamping. Sudah pasti para wanita ketika itu menunggangi kuda dengan posisi mengangkang, karena mereka akan merasa aman dengan posisi tersebut. Jika penunggang kuda duduk dengan cara mengangkang maka penumpang yang duduk di belakang kuda tersebut juga mesti mengangkang, tidak mungkin duduk menyamping karena akan terjatuh ketika kuda dipacu, apalagi jika perjalanannya jauh, tidak mungkin kudanya berjalan santai.
Dilihat dari segi bentuk fisiknya kuda dan sepeda motor memiliki kesamaan bentuk sehingga cara mengendarainya juga mesti sama. Tidak mungkin mengendarai sepeda motor dengan cara menyamping, karena umumnya kendaraan bergerak ke depan bukan ke samping.
Hajat walikota Lhokseumawe untuk menerapkan duduk menyamping bagi penumpang sepeda motor adalah kebijakan yang salah kaprah dan tergesa-gesa tanpa melalui proses perenungan yang matang sehingga pemikiran tersebut terkesan tidak logis.
Anehnya yang mengendarai motor boleh kangkang, sedangkan penumpang di belakang tidak boleh kangkang? Memang apa bedanya kangkang di depan dengan kangkang belakang? Jika kangkang di depan membelah paha, maka kangkang di belakangpun demikian. Lantas apa pasal di depan boleh kangkang dan di belakang tidak boleh? Tentunya hal ini perlu dijelaskan secara rinci oleh Pak Walkot.
Jika menurut Pak Walikota wanita duduk kangkang menyerupai lelaki, sekarang kita tanya kepada Pak Walkot, emang sejak kapan duduk kangkang itu menjadi hak tunggal laki-laki? Tangggal berapa diresmikan dan siapa yang meresmikannya?
Lantas bagaimana dengan stelan jas plus dasi yang pak Walkot pakai? Bukankah bentuk pakaian seperti itu adalah pakaiannya orang kafir? Bagaimana ini? Apa Pak Walkot tidak takut dituduh menyerupai kafir? Mungkin Pak Walkot akan menjawab “ini kan lain”. Memang apanya yang lain?
Jika menurut Pak Walkot duduk kangkang itu tidak sesuai dengan adat istiadat Aceh, memangnya Pak Walkot baca di buku mana bahwa duduk kangkang bagi laki-laki itu sesuai dengan adat Aceh sedangkan duduk kangkang bagi perempuan tidak sesuai dengan adat Aceh?
Konsep Rapuh
Dalam pandangan penulis, larangan duduk kangkang yang dipromosikan oleh Walikota Lhokseumawe adalah ide miskin tanpa konsep yang jelas. Hal ini terbukti ketika Pak Suaidi diwawancarai oleh reporter TV ONE, Pak Suaidi terlihat gugup dan tidak mampu mempertahankan idenya tersebut dengan jawaban yang ilmiah dan logis, penjelasan Suaidi hanya berkutat pada otonomi khusus dan syari’at Islam. Sungguh jawaban yang tidak relevan dengan pertanyaan. Disini nampak jelas bahwa ide Suaidi Yahya sangat rapuh dan bahkan lapuk sehingga tidak perlu dipertahankan.
Di beberapa media penulis juga sempat membaca pernyataan Nasir Jamil, anggota DPR RI asal Aceh dari Fraksi PKS di salah satu media yang secara tidak langsung juga turut mendukung kebijakan Pak Walkot. Nasir menyatakan bahwa kepala daerah memiliki otoritas untuk mengeluarkan peraturan guna menjaga ketertiban dan kenyaman di daerahnya. Pertanyaannya apa hubungan duduk kangkang dengan ketertiban dan kenyamanan daerah? Apakah daerah akan terancam apabila perempuan duduk mengangkang?
Jika larangan duduk kangkang ditujukan kepada pemuda/pemudi non muhrim yang belum menikah, penulis sangat sepakat mengingat hal tersebut memang melanggar ketentuan syari’at yang tidak membenarkan seorang wanita berduaan dengan non muhrim. Namun larangan tersebut akan sangat aneh jika diterapkan kepada pasangan suami istri. Bayangkan saja jika ada suami istri yang memiliki 3 anak menempuh perjalanan jauh. Apa masuk akal jika istrinya duduk menyamping? Anaknya mau dibawa kemana? Apa harus dimasukkan ke bagasi?
Mungkin selama ini Pak Walkot belum pernah mengendarai sepeda motor sehingga tidak faham bagaimana rasanya menempuh perjalanan jauh bersama istri plus 3 orang anak. Atau mungkin Pak Suaidi sudah lupa karena selama ini Pak Suaidi menggunakan mobil mewah full AC plus supir dan ajudan, sehingga istri Pak Suadi bisa duduk bersila dalam mobil sambil baca komik tanpa harus mengangkang? Coba Paduka renungkan kembali. Wallahu Waliyut Taufiq.
Artikel ini sudah pernah diterbitkan di Atjehlink.com, bisa juga diakses via Dokumen Nanggroe, dan tulisan ini mendapat tanggapan dari sahabat kita Faurizal Mochtar, ST, MM melalui tulisannya dengan judul Ide Berani sang Pemberani
loading...
Post a Comment