“Ibu Gadungan”
Oleh: Khairil Miswar
Bireuen, 25 Desember 2012
“…Setiap kali aku tersilap
Dia hukum aku dengan nasihat
Setiap kali aku kecewa
Dia bangun di malam sepi lalu bermunajat
Setiap kali aku dalam kesakitan
Dia ubati dengan penawar dan semangat
Dan bila aku mencapai kejayaan
Dia kata bersyukurlah pada Tuhan…”
(Chairil Anwar)
Bait-bait puisi diatas adalah kutipan dari karya sastrawan besar Chairil Anwar (1922-1949) yang penulis kutip dari http://simple--seo.blogspot.com. Puisi tersebut menceritakan tentang kesetiaan seorang ibu dalam membimbing anaknya agar menjadi manusia yang berguna.
Ibu adalah makluk Tuhan yang paling dekat dengan kehidupan kita. Sepanjang sejarah manusia nampaknya belum ditemukan seorang ayah mengandung. Sehebat apapun seorang ayah, dia adalah orang kedua dalam kehidupan kita. Dengan demikian sudah sangat lumrah dan patut jika kita berbakti kepada ibu kita.
Rasul Shallallahu 'alaihi wasallam sebagai pembawa risalah dalam sejumlah sabdanya juga senantiasa memperingatkan umatnya untuk selalu berbakti kepada kedua ibu bapak, khususnya ibu. Diriwayatkan bahwa seorang lelaki datang menemui Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan bertanya: “Siapakah manusia yang paling berhak untuk aku layan dengan sebaik-baiknya?” Rasul menjawab: “Ibu kamu.” Dia bertanya lagi: “Kemudian siapa?” Rasul menjawab: “Ibu kamu.” Dia bertanya lagi: “Kemudian siapa?” Rasul menjawab: “Ibu kamu.” Dia bertanya lagi: “Kemudian siapa?” Rasul menjawab: “Ayah kamu.” (H.R Al-Bukhari no: 5971).
Kewajiban untuk berbakti kepada kedua orang tua, khususnya ibu memiliki landasan yang cukup kuat, baik dalil naqli (Al-Quran dan Hadits) maupun dalil ‘aqli (akal). Rasanya tidak ada akal yang mampu menolak kewajiban ini.
Hari Ibu
Di Indonesia setiap tanggal 22 Desember diperingati sebagai hari ibu. Sejarah ditetapkannya Hari Ibu di Indonesia tidak terlepas dari Kongress Pemuda tanggal 28 Oktober 1928. Kaum perempuan Indonesia terpanggil untuk ikut serta dalam perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia. Pada tahun 1938 digelar sebuah Kongres Perempuan Indonesia III dan diputuskan bahwa tanggal 22 Desember sebagai Hari Ibu dengan moto “Merdeka Melaksanakan Dharma”. (http://wartawarga.gunadarma.ac.id). Pada tahapan selanjutnya Presiden Soekarno melalui Dekrit Presiden No. 316 tahun 1959 menetapkan bahwa tanggal 22 Desember adalah Hari Ibu dan dirayakan secara nasional hingga sekarang.
Istilah Hari ibu sebenarnya sudah lebih dulu dikenal oleh orang-orang barat dengan model perayaan yang beragam. Orang-orang Greece menjadikan perayaan musim bunga sebagai penghormatan terhadap Rhea, ibu kepada tuhan mereka. Pada tahun 1600 orang-orang England merayakan hari yang mereka namakan sebagai "Mothering Sunday" yang dirayakan pada hari Minggu keempat setiap Lent. Lent adalah tempo masa selama 40 hari dalam bulan Februari atau Maret. Dalam tempo ini, sebagian orang-orang Kristian akan berhenti melakukan atau memakan makanan tertentu atas alasan agama. Amalan tersebut adalah sebagai penghormatan mereka terhadap Mother Mary. Mother Mary adalah Maryam, ibu Nabi Isa Alaihissalam atau Jesus yang mereka anggap sebagai tuhan. Di Amerika Serikat, Hari Ibu pertama sekali dilaksanakan pada tahun 1872 atas ide dari Julia Ward Howe (http://www.mothersdaycentral.com).
Dalam beberapa referensi juga disebutkan bahwa asal mula hari ibu lahir dari sebuah adat pemujaan ibu di Yunani Purba yang dikenal dengan perayaan untuk Cybele, ibu dewa-dewi Yunani yang agung. Perayaan ini diadakan sekitar equinoks musim bunga di Asia Kecil dan tidak lama kemudian di Roma dari 15 hingga 18 Maret. Orang Romawi Purba juga melakukan perayaan yang bernama Matronalia untuk memperingati dewi Juno, pada hari tersebut biasanya diberikan hadiah kepada para ibu (http://shafiqolbu.wordpress.com).
Meskipun perayaan hari ibu sudah sangat populer baik di dunia internasional maupun di Indonesia, namun pada prinsipnya hal tersebut hanya seremonial belaka. Dalam literatur Islam tidak pernah dikenal istilah hari ibu, hari bapak, hari kakek, hari nenek maupun hari anak. Namun demikian dalam sejumlah ayat Al-Quran dan juga hadits Nabi selalu saja memerintahkan kita untuk memuliakan ibu bapak serta berbakti kepada mereka dalam setiap kesempatan bahkan sampai kedua ibu bapak kita meninggal kita masih juga diperintahkan untuk mendoakan mereka. Dengan demikian, sangat naif rasanya jika kita melayani ibu kita pada hari-hari tertentu saja sedangkan dilain kesempatan kita justru mengabaikan mereka.
Ibu Gadungan
Mungkin untuk sekedar menjadi induk (biasanya dipakai untuk hewan) yang hanya bertugas melahirkan anak tidaklah sulit, tapi untuk menjadi seorang ibu tidak semudah menjadi induk. Butuh persiapan yang matang untuk dapat menjadi seorang ibu yang baik. Untuk menjadi ibu tidak bisa dilakukan dengan cara tergesa-gesa dan asal-asalan yang akhirnya akan melahirkan petaka yang justru merusak citra seorang ibu.
Ilustrasi. Sumber: mzubairafandi.blogspot.com |
Aceh sebagai provinsi Syariat Islam juga tidak terlepas dari aksi-pembuangan bayi dan aborsi meskipun tidak semuanya berhasil di ekspose ke media. Beberapa waktu lalu kita sempat dikejutkan dengan bayi bersurat yang dibuang di depan pintu M Zein Hasibuan (55) warga Gampong Meugit Menasah Rambot, Kecamatan Mutiara Timur, Pidie, Selasa (24/7) (http://aceh.tribunnews.com). Di pegunungan Seulekat Kecamatan Bakongan Timur Aceh Selatan juga ditemukan sosok bayi yang berjenis kelamin laki-laki dan masih belum di potong tali pusarnya yang di buang oleh OTK (http://diliputnews.com).
Aksi-aksi nekad sebagaimana penulis jelaskan diatas umumnya dilakukan oleh “ibu-ibu gadungan” dan pada sebagian kasus juga melibatkan “ayah gadungan”. Kita cuma bisa berharap dan berpesan khususnya kepada remaja untuk tidak tergesa-gesa dalam menjadi ibu yang pada akhirnya akan mendapat label “Ibu Gadungan”. Hendaknya momentum 22 Desember 2012 yang oleh sebagian kalangan diperingati sebagai “Hari Ibu” dapat menumbuhkan kesadaran para remaja untuk menunda menjadi ibu dan berhenti menjadi ibu gadungan. Wallahu A’lam.
Artikel ini sudah pernah diterbitkan di The Aceh Traffic
loading...
Post a Comment