Aksi Premanisme dalam Dunia Pendidikan
Oleh: Khairil Miswar
Bireuen, 16 September 2014
Ing Ngarso Sung TulodoIng Madya Mangun KarsoTut Wuri Handayani
Ketika mendengar istilah “preman”, lazimnya nalar kita akan tertuju kepada sosok pria bertubuh besar dan tegap, berkulit gelap, berambut gondrong serta dipenuhi tato. Menakutkan! Begitulah kira-kira. Sosok preman juga identik dengan tukang pukul yang sering berkeliaran di terminal dan pasar. Tak jarang, seorang preman juga menggeluti “profesi haram” semisal mencopet dan merampok, sehingga dalam kondisi tertentu sosok preman juga sering didentikkan dengan penjahat.
Meskipun dalam pandangan umum, terminologi preman sering dipahami sebagai istilah negatif, namun dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata preman tidak selamanya didefinisikan sebagai sesuatu yang menakutkan seperti penodong, perampok dan pemeras. Kata preman juga diartikan sebagai: swasta; bukan tentara; dan kepunyaan sendiri (kbbi.web.id). Meskipun terlihat janggal, namun demikian-lah faktanya yang tertulis di Kamus. Di sisi lain, kita tentunya juga sering membaca kalimat: “polisi itu berpakaian preman”. Tentunya kalimat tersebut tidak bisa dipahami bahwa polisi itu berpakaian jahat. Hancur negeri ini! (kata Jusuf Kalla) jika kita memahami demikian.
Dari berbagai bacaan disebutkan bahwa kata preman berasal kata vrijman yang berarti orang bebas atau merdeka. Berangkat dari pengertian ini, dalam konteks yang lebih luas, kata preman yang diartikan sebagai merdeka atau bebas bisa memunculkan dua pemahaman. Pertama, dalam arti positif, di mana preman adalah orang yang tidak memiliki keterikatan dengan pihak lain alias mandiri dan bersifat independen. Kedua, dalam arti negatif, yaitu preman yang dengan kemerdekaannya merasa bebas melakukan segala tindakan tanpa peduli apakah tindakannya tersebut merugikan dirinya atau pun orang lain. Preman dalam pengertian kedua ini-lah yang akan dibahas dalam tulisan singkat ini.
Secara sederhana, dapat dipahami bahwa premanisme adalah sebuah perilaku yang tidak mengindahkan kaidah-kaidah moral dan cenderung melawan hukum dengan mengandalkan kekerasan dalam setiap tindakannya. Premanisme adalah tindakan tidak beradab yang mengesampingkan akal sehat dan cenderung destruktif.
Aksi premanisme dalam prakteknya tidak hanya terjadi di terminal, pasar atau pun kota-kota besar. Aksi serupa juga telah menyisir dan merasuki segenap lini kehidupan, semisal institusi pemerintahan dan gedung dewan terhormat. Aksi premanisme juga telah menjadi “bumbu” tersendiri yang mewabah di kalangan politisi, khususnya di musim-musim pemilu. Mirisnya lagi, virus premanisme juga telah tertular dalam lingkungan pendidikan, baik lembaga pendidikan modern (sekolah dan kampus), maupun lembaga pendidikan tradisional semisal pesantren atawa dayah.
Wabah Premanisme
Sekedar untuk memperbaiki memori, kita tentunya masih ingat dengan berbagai aksi premanisme yang melibatkan orang-orang terhormat di negeri ini. Di tingkat nasional, tentunya kita masih ingat dengan keributan yang terjadi di gedung DPR RI yang nyaris berujung pada adu jotos sesama anggota dewan terhormat (tribunnews.com (05/12/13). Khususnya di Aceh, aksi serupa juga pernah terjadi di Aceh Utara, di mana ketika itu dua anggota dewan dari fraksi PKS dan frasi PA terlibat adu jotos (tribunnews.com, 14/09/13). Sebelumnya, tindakan premanisme juga sempat menimpa Irwandi Yusuf, mantan Gubernur Aceh, pada acara pelantikan Gubernur Aceh yang baru pada 25 Juni 2012 (tribunnews.com).
Ilustrasi. Sumber: aryabae.blogspot.com |
Premanisme dalam Dunia Pendidikan
Sebagaimana telah diterangkan di awal tulisan ini, bahwa aksi premanisme juga telah merambah dalam dunia pendidikan, sebuah institusi yang sejatinya menjadi “pabrik” untuk melahirkan orang-orang beradab. Tapi nyatanya, kesucian lembaga pendidikan juga turut dinodai oleh “tangan-tangan bejat” dan insan-insan primitif berwajah akademis.
Aksi pemukulan kepala sekolah di SDN 10 Seuneudon beberapa waktu lalu (tribunnews, 14/09/14) yang dilakukan oleh seorang guru di sekolah tersebut merupakan kasus terbaru yang membuktikan sedemikian “brutalnya” para pendidik di negeri ini. Aksi kekerasan yang melibatkan pendidik di lingkungan pendidikan bukanlah kejadian baru. Sebelumnya, sebagaimana dilansir tribunnews (25/03/13), seorang oknum guru juga melakukan kekerasan terhadap anak didiknya di SMA Negeri 7 Lhokseumawe.
Aksi premanisme yang dilakukan oleh guru, tidak hanya terjadi di lembaga pendidikan formal semisal sekolah, tapi aksi brutal ini juga tumbuh subur di lembaga pendidikan tradisional. Tentunya kita masih ingat dengan kasus pembunuhan terhadap seorang santri yang dilakukan oleh guru ngaji di Meulaboh (news.detik.com, 28/02/13). Kejadian serupa juga terjadi di Aceh Utara, di mana dua orang santri dihajar sampai babak belur oleh guru ngaji (wartaaceh.com/, 13/11/12).
Jika kita mau jujur, sebenarnya aksi premanisme dalam lembaga pendidikan, tidak hanya dilakukan oleh guru, tapi juga turut dipraktekkan oleh pejabat Dinas Pendidikan meskipun tak sempat dipublis oleh media. Seingat penulis, di sebuah kabupaten di Aceh, pernah terjadi aksi premanisme yang diperankan oleh salah seorang pejabat Dinas Pendidikan yang melempar guru dengan menggunakan asbak dalam sebuah pertemuan. Fenomena ini menjadi bukti bahwa aksi premanisme telah menjadi wabah menakutkan yang terus menyusup dalam setiap lini kehidupan, tidak hanya di Aceh, tapi juga di Indonesia Raya yang kita “banggakan” ini.
Bersikap Objektif
Pasca aksi pemukulan terhadap kepala sekolah yang dilakukan oleh seorang oknum guru SD di Seuneudon beberapa waktu lalu, berbagai kecaman pun muncul. Dari sekian komentar yang terpampang di media, hampir semua kalangan mengarahkan kecamannya kepada sang guru pelaku pemukulan. Munculnya berbagai kecaman terhadap pelaku pemukulan terbilang wajar, mengingat setiap kita tentunya tidak sepakat dengan aksi premanisme, apalagi aksi tersebut terjadi di ruang kelas dan disaksikan oleh siswa. Sudah sepatutnya guru menjadi teladan bagi siswa, bukan malah menjadi sosok antagonis bengis.
Ditinjau dari sudut pandang manapun, aksi premanisme yang dilakukan oleh seorang guru terhadap kepala sekolah di Seuneudon merupakan sebuah kejahatan yang tidak dapat ditolerir. Tidak ada alasan pembenar yang dapat dijadikan dalil untuk menjustifikasi tindakan brutal tersebut.
Namun demikian, kita harus tetap bersikap objektif dalam menilai setiap fenomena yang terjadi. Setiap akibat mesti-lah didahului oleh sebab. Aksi pemukulan terhadap kepala sekolah di Seunedon hanya-lah “akibat” yang tentunya didahului oleh serentetan “sebab” yang belum seluruhnya kita ketahui. Kiranya perlu dipertegas bahwa kesimpulan ini tidak-lah dimaksudkan untuk membenarkan tindakan brutal yang dilakukan oleh oknum guru tersebut. Tapi kebenaran tidak selamanya harus dilihat dari sudut pandang korban dan meninggalkan sudut pandang pelaku. Kedua sudut pandang tersebut mesti dicompare agar menghasilkan natijah yang berimbang.
Sudah menjadi rahasia umum, bahwa jabatan terkadang membuat seseorang menjadi “panik” dan “salah tingkah”. Kiranya tak perlu munafiq bahwa ada sebagian kepala sekolah yang berlagak layaknya panglima perang di sekolah. Ada kepala sekolah yang doyan memarahi guru di depan siswa hanya karena persoalan sepele. Ada pula kepala sekolah yang kerjaannya cuma mencari-cari kesalahan guru, padahal dia sendiri tak becus bekerja.
Penulis juga seorang guru yang setiap hari melihat tindak-tanduk kepala sekolah yang bergaya layaknya komandan perang. Pernah suatu ketika, sehabis mengajar, penulis bersantai di ruang guru sambil membaca buku, tiba-tiba datang kepala sekolah dan menggertak penulis: “hai jangan banyak sekali baca buku, sekolah bukan tempat baca buku”. Mendengar gertakan tersebut, dalam rangka menghormati kepsek, penulis menutup buku dan menatap wajah kepsek dengan senyuman, meskipun sudah “wajib” hukumnya bagi penulis untuk marah, tapi syukur masih ada secuil sabar yang masih tersisa. Ke-esokan harinya, selepas mengajar, penulis kembali ke ruang guru dan menghidupkan laptob. Waktu senggang pasca mengajar penulis manfaatkan untuk menulis apa saja yang bisa ditulis. Tiba-tiba, sang kepsek masuk lagi dan berujar: “bapak ini asyik saja sama laptob, sana buat RPP! Mendengar ceramah tanpa judul tersebut, penulis berusaha menjelaskan kepada kepsek bahwa RPP nya sudah selesai. Entah kepseknya tuli atau suara penulis yang kekecilan, kepsek kembali bertitah: “hai RPP neupeugot, bek gadoh ngon atanyan” (selesaikan RPP, jangan asyik dengan laptob). Akhirnya, masih dalam rangka menghormati kepsek, penulis menutup labtob.
Beberapa hari kemudian, ada keluarga penulis yang meningggal (abang kandung ayah penulis), sehingga pada hari tersebut penulis tidak ke sekolah dan memberitahukannya kepada guru lain bahwa penulis tidak bisa hadir. Namun takdir Tuhan tidak bisa dihindari, ke-esokan harinya, ketika penulis sedang mengajar, tiba-tiba datang telpon bahwa adik kandung ibu penulis juga meninggal di RS. Dengan sedikit bergegas, penulis menuju ruang kepsek dan minta izin untuk pulang. Dan penulis sudah meminta guru honor untuk bantu mengajar. Tanpa terduga, saat penulis menyampaikan permohonan izin, sang kepsek pun berfatwa: “bapaknyo tip uro ureung meninggal, baro pih meninggal, kiban ile droeneuh” (bapak ini setiap hari orang meninggal, kemarin pun meninggal). Mendengar fatwa “sesat” dari mulut kepsek, penulis terpaksa menjawab: “neucok rinyeun neu ek u langet, neutanyong bak Tuhan” (silahkan ibu ambil tangga, ibu naik ke langit, ibu tanya kepada Tuhan). Tanpa menunggu lama, penulis segera meninggalkan sekolah. Beberapa bulan kemudian, penulis mendapat SK mutasi dari Dinas. Penulis dipindahkan ke sebuah sekolah yang lumayan jauh dari rumah penulis. Akibat melawan tirani kepsek.
Demikianlah sebagian kecil ulah kepsek yang pernah penulis rekam, sehingga ketika penulis membaca guru memukul kepala sekolah, penulis tidak begitu terkejut. Namun demikian tidak pula berarti bahwa penulis mendukung tindakan premanisme. Aksi premanisme adalah aksi yang haram dan tak patut dipraktekkan oleh guru yang semestinya digugu dan ditiru. Wallahu A’lam.
Artikel ini sudah pernah diterbitkan di Atjehlink
loading...
Post a Comment