Akai Beulanda


Oleh: Khairil Miswar 

Bireuen, 25 Juni 2012

Siapa tak kenal Belanda? Sebuah negeri kecil yang terletak di Eropa Barat berbatasan dengan Jerman Timur dan Belgia. Negara yang dulunya sering dilanda banjir karena secara umum daratannya terletak dibawah permukaan laut. Negara Belanda yang memiliki nama asli Netherland terkenal dengan kincir angin dan bunga tulip yang beraneka warna.

Penulis yakin, ketika kita mendengar nama Belanda, bukan kincir angin dan bunga tulip yang terlintas di pikiran kita. Hampir tak ada kesan indah ketika nama Belanda disebut di hadapan kita. Pikiran kita cuma tertuju kepada memori masa lalu ketika para serdadu kompeni dan marsose menjajah dan menindas bangsa kita hampir tiga setengah abad lamanya. Mereka menguras hasil bumi kita dan menginjak martabat kita sebagai bangsa yang dilahirkan dalam keadaan merdeka. Mereka memperbudak moyang kita, membakar mesjid kita dan membunuh endatu kita. 

Pahit memang, ketika kita membuka lembar-lembar sejarah yang berkisah tentang kekejaman “kaphe Beulanda” di masa lalu. Namun kita patut berbangga dengan endatu kita yang dengan semangat jihad fi sabilillah berhasil mengusir mereka (baca: Beulanda) dari tanah pusaka ini. Sebuah prestasi besar yang dipersembahkan oleh para Teungku Chiek kita di masa lalu. Darah dan nyawa yang mereka (baca: endatu) pertaruhkan ketika itu tidak pernah terbalas dengan dirham apalagi dengan dolar. Mereka berjuang bukan untuk koin emas, bukan untuk baju sutera dan bukan pula untuk gadis jelita. Mereka mengangkat pedang dan menghunus rencong mengusir kaphe Beulanda hanya untuk kita. “keu tanyoe hai kawom, keu bangsa Aceh”.

Akai Beulanda

Maklumat perang yang diumumkan oleh Belanda pada 26 Maret 1873 terhadap Aceh merupakan babak awal sekaligus titik klimaks konflik Aceh – Belanda. Meskipun jauh sebelumnya Aceh – Belanda pernah bersahabat “duduk sama rendah dan berdiri sama tegak” antara dua negara berdaulat. Namun karna “akai paleh” Beulanda, bangsa Aceh yang dulunya dianggap sebagai mitra dan teman, dijajah dan dijadikan musuh oleh Belanda yang oleh Pocut Asiah (istri Tgk Mahyeddin Tiro) disebut sebagai “kaphe budoek” (Thamrin Z & Edy Mulyana, 2007: 202).

Ilustrasi Marsose Belanda
Hawa nafsu syaitan yang dijadikan spirit oleh Beulanda untuk menguasai Aceh telah memporak – porandakan tanah kita dan membuat “nektu” kita terpisah dengan keluarganya. Hampir seluruh usia endatu kita tersita untuk melakukan perlawanan dan mengusir penjajah Belanda dari bumi Seuramo Mekkah. Berkat perjuangan yang gigih dan dengan pimpinan prang yang silih berganti akhirnya kaphe paleh (Belanda) keluar dari nanggroe ini. 

Sekarang Beulanda telah pergi meninggalkan “Tanoh Syuhada” ini. Mereka telah kembali ke negeri kincir angin dan tertidur di kebun bunga tulip. Kesal bercampur geram membayangi hari – hari mereka, banyak serdadu telah mati namun Aceh tak berhasil dikuasai.

Meskipun Belanda telah kabur dari negeri ini, namun akibat hubungan Aceh – Belanda yang cukup lama, baik masa damai (persahabatan Aceh - Belanda) maupun masa konflik (perang Aceh – Belanda) setidaknya mereka (Belanda) telah mewariskan beberapa sifat buruk mereka kepada “segelentir anak negeri” di “Tanoh Aulia”. Beberapa sifat buruk tersebut diantaranya:

Pertama, nafsu penguasa atau dalam istilah Aceh sering disebut dengan ‘sifeut mie agam”. Sifat inilah yang menjadi bibit utama permusuhan antara Aceh dan Belanda di masa lalu. Karena menganggap dirinya sebagai “Super Power”, mereka (Belanda) bernafsu hendak menguasai Aceh dan menggusur para Sultan, Ulama dan anak negeri dari tanoh “endatu moyang”. Kekejaman dan kebiadaban merupakan jurus utama yang dilakukan oleh Belanda untuk dapat berkuasa di Aceh. Mereka tak segan meneror dan membunuh demi tegaknya bendera mereka di Aceh.

Kedua, sifat licik dan penipu. Dalam catatan-catatan sejarah disebutkan bahwa salah satu faktor terbunuh dan syahidnya beberapa pahlawan Aceh di masa lalu adalah disebabkan oleh kelicikan dan penipuan yang dilakukan oleh Jenderal – Jenderal Belanda. Sebagai contoh, ada pahlawan kita yang sengaja diundang untuk berunding oleh kaphe Beulanda, namun pada saat pahlawan kita memenuhi undangan mereka (Beulanda), para pahlawan kita tersebut di tawan, dibuang dan bahkan dibunuh oleh “si Kaphe Paleh”. Selain itu mereka (Belanda) juga menyandera istri beserta anak pejuang kita dan diperlakukan secara tidak pantas dengan maksud agar para pejuang kita menyerah kepada Belanda. Satu lagi kelicikan Belanda yang sulit untuk dilupakan oleh bangsa Aceh adalah seperti di sebutkan oleh Thamrin dan Edy Mulyana (2007: 191) ketika beberapa orang Belanda berpura – pura masuk Islam dan akhirnya meracun pahlawan kita Teungku Chiek Di Tiro sehingga beliau meninggal dunia sebagai “Syahid” – insya Allah.

Ketiga, sifat monopoli. Perilaku ini merupakan sifat terburuk yang dimiliki oleh Belanda dengan VOC nya ketika itu. Mereka melakukan monopoli dagang sehingga perekonomian anak negeri menjadi hancur berkeping. Harapan untuk hidup sejahtera di tanah sendiri menjadi sirna akibat ulah para “Kompeni” yang tidak berperikemanusiaan – meskipun mereka mengklaim dirinya sebagai orang yang berperadaban tinggi. Endatu kita dijadikan sebagai budak di negeri sendiri untuk menumpuk kekayaan yang akan dipersembahkan kepada “Ratu Belanda” di negeri “Kincir Angin”.

Demikian beberapa sifat buruk Belanda yang dalam pengamatan penulis masih tumbuh dan bersemai di Aceh. Meskipun jejak tapak Belanda telah hilang di bumi Aceh, namun ada segelintir sahabat dan saudara kita yang mungkin secara tidak sengaja telah mengadopsi warisan “akai Beulanda”. Tentang siapa dan apa maksud mereka – wallahu A’lam, penulis juga belum menemukan jawabannya.

Semoga dengan kehadiran Zaini – Muzakkir sebagai pemimpin baru di Aceh mampu membangun Aceh lima tahun kedepan menuju negeri yang lebih maju dan berperadaban. Dengan modal semangat jihad dan kebesaran jiwa yang wariskan oleh Teungku Chiek Di Tiro, semoga saja pemimpin baru di Aceh mampu mengikis habis “peurangui dan akai Beulanda” di “Bumo Iskandar ini. Wallahu Waliyut Taufiq.

Artikel ini sudah pernah diterbitkan di Harian Serambi Indonesia


loading...

No comments