Parade Kegenitan

Oleh: Khairil Miswar 

Bireuen, 01 Agustus 2017

Ilustrasi: ecards.myfuncards.com

Kita tentu memiliki pandangan masing-masing terhadap kata “genit.” Demikian juga dengan saya. Bagi saya, kegenitan adalah sebuah bentuk kelatahan terstruktur dan sistematis, meskipun tidak masif. Dan semua kita berpeluang untuk genit. Di satu sisi, kegenitan dibutuhkan sebagai sebuah media ekspresi. Bagi sebagian orang, menggunakan kegenitan sebagai media adalah sebuah keasyikan. Sementara di sisi lain, kegenitan justru dapat mengguncang kewarasan dan mematahkan akal sehat sehingga ia dipandang memuakkan. Terlepas di posisi mana kita berdiri, hampir setiap saat kita dihadapkan pada rupa-rupa kegenitan.

Kemarin (31/07/17), beranda facebook Aceh kembali disemarakkan oleh postingan seorang nitezen terkait “hadiah genit” yang disodorkan oleh oknum mahasiswa yang mengikuti sidang munaqashah di salah satu perguruan tinggi di Aceh. Dalam postingannya, netizen tersebut menyatakan kekesalannya terhadap hadiah tak lazim yang diberikan kepadanya. Tidak hanya itu, netizen dimaksud juga mengkritisi pihak-pihak yang bertanggung jawab terhadap masuknya buah-buahan bergambar “tak layak” tersebut ke Aceh. Uniknya lagi, di akhir postingannya, si netizen menyebut ada tulisan Cina pada buah tersebut. Dan di akhir postingannya dia menulis kata kafe.

Sontak saja, postingan netizen ini ramai diperbincangkan dan mendapat banyak komentar. Banyak pihak yang mengapresiasi postingan dari netizen yang belakangan diketahui sebagai salah seorang akademisi di Aceh. Bahkan, informasi genit ini turut dirilis oleh serambinews.com sehingga “tragedi” ini menjadi konsumsi publik. Dan sebagai bagian dari publik, saya dan siapa pun tentunya berhak menyumbang komentar terkait hadiah yang bernuansa genit ini.

Terlepas, kita sepakat atau pun tidak dengan postingan ini, tapi bagi saya, postingan serupa ini adalah salah satu bentuk “kegenitan” yang diperankan intelektual. Seharusnya hal-hal semacam ini bisa diselesaikan di ruang akademik tanpa harus membawanya ke luar arena sehingga akan memunculkan ragam penafsiran yang tidak perlu. Lagi pula, tidak begitu jelas, apakah hadiah genit ini didasari oleh faktor kesengajaan, atau justru hanya kelalaian belaka. Ada kekosongan informasi di sini.

Sebagai seorang intelektual, semestinya setiap penyelesaian masalah dilakukan dengan cara-cara yang lazim dalam dunia akademik, bukan justru diobral dengan kegenitan serupa. Anehnya lagi, yang bersangkutan di satu sisi menyatakan tidak sepakat dengan gambar yang tertera di hadiah genit tersebut, tetapi di sisi lain, yang bersangkutan justru turut menyebarkan gambar tak layak itu. Di sini saya melihat ada sikap inkonsistensi yang seharusnya tidak terjadi.

Kecuali itu, dalam peradaban maya, mungkin kita juga sering melakukan berbagai kegenitan yang tidak kita sadari. Bukan tidak mungkin, kegenitan-kegenitan yang kita munculkan ini kemudian berdampak pada lahirnya persepsi sebagian “fans” yang selama ini mengikuti postingan kita di media sosial. Jika sudah begini, patut diduga, bahwa persepsi inilah yang membuat sebagian “fans” kita tersentuh hatinya untuk sesekali bersikap genit. Nah, bisa jadi hadiah-hadiah “genit” yang diberikan kepada kita adalah sebuah produk kegenitan dari para fans. Untuk itu, seharusnya kita patut bersyukur, bukan justru bersedih dan larut dalam kekesalan.

Kita juga harus ingat pepatah kuno: “tidak mungkin ada asap kalau tidak ada api.” Berpijak pada pepatah ini, maka kita harus sepakat bahwa sebuah “kegenitan” tidak akan pernah muncul tanpa diawali oleh “kegenitan” yang serupa. Mari bergenit ria!

Artikel ini sudah diterbitkan di AceHTrend

loading...

No comments