Politik Rebus Telur Hiu

Oleh: Khairil Miswar 

Lhokseumawe, 12 Oktober 2016

Ilustrasi. Sumber: www.pinterest.com
Dunia politik tidak selamanya identik dengan keseriusan, sama halnya dengan bunga, ia memiliki rupa-rupa warna. Terkadang politik itu penuh dengan kesedihan, kedegilan, kekacauan, bahkan ketakutan. Politik juga sebuah komedi yang penuh dengan lawakan dari para pelakunya. Tersebab politik itu penuh warna, maka berbeda-beda pula tipikal para politisi itu, tergantung kekuatan nalar dan mental masing-masing mereka.

Jika kita menemukan politisi yang kerjanya hanya menciptakan keharuan publik dengan berbagai rekayasa yang memposisikan dirinya sebagai korban konspirasi, maka dapat dipastikan bahwa yang bersangkutan memiliki permasalahan mental. Para politisi semacam ini masuk dalam katagori politisi cengeng yang mengandalkan air mata buaya untuk memikat publik. Politisi serupa ini sangat gemar mengumbar kesedihan di panggung politik agar pemilihnya larut dalam emosi kesedihan. Politisi macam ini selalu memposisikan dirinya sebagai korban kesalahan sejarah masa lalu. Ketika terpilih, biasanya politisi seperti ini akan berubah wujud menjadi sosok otoriter dan bengis.

Selain politisi cengeng, kita pun sering menyaksikan politisi kurangkham (keras) yang kerjanya hanya marah-marah di depan publik. Dia ingin menunjukkan kepada masyarakat bahwa dirinya adalah sosok yang tegas dan tidak suka main-main. Padahal jika ditilik, dia adalah sosok yang tidak pernah merasakan kebahagiaan dalam hidupnya, sehingga ia terus saja dibalut oleh kekesalan yang tiada akhir. Kekesalan yang telah membuncah ini kemudian bermetamorfosis menjadi energi negatif sehingga berpengaruh pada tingkah laku dan lisannya. Kalau ada politisi yang kerjanya memaki dan mencaci lawan politik, maka tidak perlu ragu dan bimbang, yakinlah bahwa politisi tersebut tidak pernah merasakan kebahagiaan dalam hidupnya. 

Model lainnya adalah politisi yang suka membuat kekacauan. Dia selalu hadir bersama kekacauan. Politisi model ini jika terpilih sebagai eksekutif, maka akan melahirkan berbagai kebijakan yang mengacaukan. Demikian pula jika terpilih sebagai legislatif juga akan menggagas berbagai rupa regulasi yang kacau, bahkan kekacauan ini akan terlihat pada saat penyusunan anggaran sehingga lahirlah APBA pungo, misalnya – seperti pernah dituding oleh Gubernur Aceh beberapa waktu lalu. Politisi seperti ini adalah mereka yang mengalami kekacauan hidup di masa kecil, sehingga endapan-endapan kekacauan itu muncul kembali ketika mereka menjadi publik figur.

Model yang tidak kalah populer adalah politisi yang senantiasa menebar ketakutan guna menciptakan kegalauan di benak rakyat. Biasanya politisi semacam ini suka memainkan “politik karung.” Kemana pun dia melangkah selalu saja ditemani oleh karung. Han kapileh kamo kupaso lam eumpang (tidak pilih kami, kalian aku masukkan karung). Jika politisi semacam ini terus dibiarkan, maka negara kita akan mengalami defisit karung, sehingga pemerintah harus melahirkan kebijakan untuk mengimpor karung, tentu kondisi ini sangat berbahaya.

Tidak hanya main karung, politisi model ini juga hobi mengusir orang. Jika dia tidak menang maka dia akan mengancam mengusir seisi kampung, padahal jika ditilik, dia sendiri (si pengusir) masih tinggal di tanah waqaf. Ironis memang!

Dalam kampanye beberapa tahun lalu media kita pernah merilis berita tentang seorang orator yang mengatakan bahwa siapa saja yang tidak memilih partainya harus keluar dari Aceh. Munculnya politisi ini tidak terlepas dari suasana kehidupan si politisi itu sendiri. Bisa jadi, ketika masih kecil si politisi tersebut sering diancam oleh ayahnya untuk dimasukkan karung karena mencuri telur tetangga. Atau mungkin pula dia pernah diancam usir oleh ibunya karena suka korupsi uang jajan milik adiknya. Entahlah. Yang jelas politisi semacam itu masih banyak berkeliaran di Aceh.

Merebus Telur Hiu

Sampai dengan detik ini saya belum pernah sekali pun melihat wujud dari telur hiu. Tapi sejak kecil saya sering mendengar orang-orang menyebut sebuah kalimat unik “boh ye.” Istilah boh ye ini jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia bermakna telur hiu. Kalimat ini adalah sebuah bentuk ledekan terhadap perbuatan konyol yang dilakukan oleh seseorang. Kalimat ini juga sering dilontarkan kepada mereka yang suka mengumbar omongan kosong yang dikenal dengan broh putoeh (sampah putus).

Jika dicermati, sampai dengan detik ini banyak politisi di Aceh yang menggunakan metode ini untuk meraih dukungan masyarakat. Si politisi tersebut tidak merasa malu atau pun segan mengarang cerita-cerita konyol guna meyakinkan masyarakat. Kita tentu ingat dengan omongan seorang orator di musim kampanye yang menjanjikan untuk mendirikan kantor PBB di Aceh. Kita juga ingat janji sepasang politisi yang berjanji mengangkut masyarakat Aceh ke Mekkah dengan kapal laut. Dan segudang janji-janji konyol lainnya.

Baru-baru ini, media sosial juga diramaikan dengan “kampanye” seorang senator (DPD) asal Aceh yang katanya menjadi kandidat kuat ketua DPD RI. Ketika membaca berita itu – tanpa bermaksud merendahkan siapa pun, saya hanya bisa tertawa. Bukannya saya tidak percaya dengan pengaruh si senator tersebut, tapi entah kenapa di pikiran saya terlintas bahwa mereka sedang merebus telur hiu. Hal ini kemudian terbukti pasca beredarnya berita bahwa sosok yang bersangkutan hanya mendapatkan satu suara dalam pemilihan.

Sebagai orang Aceh, tentunya saya sedih membaca berita duka ini. Tapi apa boleh buat, sudah takdirnya begitu. Kononnya tiga orang senator asal Aceh lainnya juga melabuhkan dukungannya kepada sosok lain. Sebagai negara demokrasi, tentunya sikap tiga senator tersebut harus dihargai. Namun di sisi lain, muncul tanda tanya besar. Ada apa? Tentu hanya mereka yang tahu jawabannya.

Kesimpulan tulisan ini adalah, jangan jadi politisi cengeng, politisi kurangkham, politisi kacau dan politisi karung. Yang terakhir, jangan suka merebus telur hiu di depan masyarakat – kecuali jika Anda mau disebut sebagai politisi boh ye. Wallahu A’lam.

Artikel ini sudah diterbitkan di AceHTrend

loading...

No comments