Tere Liye dan Jurus Mabuk Nitizen
Oleh: Khairil Miswar
Bireuen, 04 Maret 2016
Ilustrasi. Sumber Foto: www.muslimdaily.net |
Seolah sudah menjadi “tradisi”, ketika ada ulama keliru fatwa, ada tokoh keseleo lidah, ada akademisi salah bicara dan ada penulis “salah urat” – maka aksi bully pun berhamburan. Aksi bully ini tidak hanya terjadi di dunia maya, tetapi juga di dunia nyata. Jika ditelisik lebih jauh, perilaku bully ini sudah ada sejak manusia itu ada. Namun perilaku bully tersebut mencapai puncak “kejayaannya” di zaman ini, di mana kemajuan teknologi informasi semakin “menggila.”
Sewaktu kita kecil, kita sering mempermalukan teman-teman kita yang melakukan kesalahan dengan sorakan “uuuuuuuuuuuuuuu…” atau ‘ow’ek-‘ow’ek yang terkadang diiringi dengan aksi loncat-loncat dengan maksud mengejek dan menjatuhkan mental teman. Tidak hanya membully, sewaktu kecil kita pun sering dibully oleh teman-teman dengan cara menjulurkan lidah ke hadapan kita “lololololo.” Mendapat aksi bully ini kita pun menjadi malu dan menangis, akhirnya pulang ke rumah lapor orang tua, dan besoknya kita balas dendam. Begitulah!
Ketika kita dewasa, gaya bully pun semakin meningkat dan tampak lebih kreatif. Kita semua tentu ingat ketika kita menyaksikan pertandingan olah raga (seperti bola kaki dan volly) atau pun penampilan konser musik, pada saat kita merasa kecewa dengan penampilan mereka, maka botol air mineral pun akan berhamburan ke atas pentas, demikian pula beraneka sampah juga akan beterbangan ke lapangan. Ini adalah bentuk aksi bully yang sudah agak kreatif.
Di zaman Android seperti sekarang ini, di mana kita telah mengenal berbagai rupa media sosial, maka gerakan bully pun semakin sistematis dan terstruktur. Saat ini, untuk melakukan ritual bully, kita tidak perlu lagi bersorak “uuuuu” atau menjulur lidah “lolololo”. Kita juga tidak perlu lagi melempar botol air mineral atau perang sampah, tapi cukup dengan permainan beberapa jari lentik di keyboard yang kemudian menghasilkan beraneka status dan juga meme di media sosial, yang tidak hanya satir, tapi juga “menginjak”.
Baik sadar atau pun tidak, dari zaman ke zaman kita semakin akrab saja dengan aksi bully, mulai dari yang “primitif” sampai dengan gaya modern. Jika perilaku ini tetap dilestarikan, maka bukan tidak mungkin suatu saat nanti kita akan dikenal sebagai “bangsa bully”, yang selalu membully dan dibully. Terkadang kita merasa senang membully orang lain dan bahkan bahagia jika korban bully itu terus-terusan dalam rasa bersalah, tapi kita justru merasa malu, sedih dan bahkan marah jika dibully oleh orang lain akibat kesalahan yang terkadang tidak sengaja kita perbuat. Dua sikap paradoks yang sampai saat ini masih kita amalkan. Dari sini dapat disimpulkan bahwa kita adalah orang-orang yang miskin sikap empati.
Tentang Tere Liye
Jujur, sampai dengan detik ini, saya belum pernah membaca satu pun novel yang ditulis oleh Tere Liye – bahkan lihat sampul novelnya saja belum pernah. Saya kenal nama Tere Liye pun baru setahun terakhir ini. Itu pun, karena secara tidak sengaja saya ngeLike Fanspage Tere Liye yang berisi tulisan-tulisan lumayan “berkualitas” – yang menurut saya, sebagiannya juga inspiratif dan berguna bagi banyak orang.
Baru-baru ini, tersiar kabar bahwa Tere Liye dibully akibat salah satu statusnya di Facebook. Berikut petikannya:
Indonesia itu merdeka, karena jasa-jasa tiada tara para pahlawan-yang sebagian besar di antara mereka adalah ulama-ulama besar, juga tokoh-tokoh agama lain. Orang-orang religious beragama.
Apakah ada orang komunis, pemikir sosialis, aktivis HAM, pendukung liberal, yang pernah bertarung hidup mati melawan serdadu Belanda, Inggris atau Jepang? Silahkan cari.
Anak muda, bacalah sejarah bangsa ini dengan baik. Jangan terlalu terpesona dengan paham-paham luar, seolah itu keren sekali; sementara sejarah dan kearifan bangsa sendiri dilupakan.
Seperti memercik api di daun kering, status Tere Liye tersebut panen kecaman, dan bahkan ada yang hendak memboikot novel-novel Tere Liye. Tersebab status “salah urat” yang entah disengaja atau tidak, akhirnya Tere Liye pun dibully nitizen. Aksi bully semacam ini tidak hanya dialami oleh Tere Liye, tetapi juga menimpa sosok lainnya seperti Teuku Wisnu yang dibully akibat “insiden” Fatihah, dan masih banyak lagi yang lain.
Sama seperti kita, Tere Liye pun manusia biasa. Dia bukan malaikat, bukan pula Nabi yang ma’sum sehingga bebas dari kesalahan. Saya sepakat bahwa Tere Liye telah keliru dalam menulis statusnya dengan menafikan peran kaum sosialis-marxis, liberal, dan aktivis HAM dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Namun demikian, membully Tere Liye adalah langkah yang keliru. Lagi pula Tere Liye sudah melakukan klarifikasi dan minta maaf kepada publik. Melakukan aksi bully berarti meninggalkan akal sehat. Maksud hendak memperbaiki, tetapi justru menambah kekacauan.
Seharusnya kita memetik pelajaran berharga dari Tere Liye yang dengan kesilapannya, kita justru mendapat manfaat, bukan justru membully. Dari kesilapan Tere Liye kita dapat belajar untuk lebih hati-hati dalam menulis dan berucap. Tuliskan saja yang kita tahu dan tinggalkan yang kita tidak tahu, atau setidaknya kita berusaha mencari tahu, agar kita tahu. Bagi penulis, keakuratan data itu sangat penting, karena apa yang kita tulis akan menjadi “warisan” – yang punya dua konsekwensi – pahala atau dosa.
Dalam menulis kita juga harus membersihkan hati dari rasa dengki kepada pihak lain, karena tulisan yang diiringi kebencian akan menghalangi kita dari objektivitas. Seperti kata HAMKA, bahwa pena yang tidak diiringi budi akan menyesatkan rakyat.
Di akhir tulisan ini, saya mengajak kita semua untuk meninggalkan aksi bully alias jurus mabuk ala nitizen, kepada siapa pun, bahkan kepada komunis dan atheis sekali pun. Mari nasehati mereka yang tersilap dan ajarkan mereka yang terlupa. Wallahu Waliyut Taufiq. []
Artikel ini sudah dipublikasikan di Kompasiana
loading...
Post a Comment