Preman Lungkiek Dapu
Oleh: Khairil Miswar
Bireuen, 05 Mei 2015
Ilustrasi. Sumber Foto: m.antarakalteng.com |
Tulisan ini tidak tidak akan menyentuh polemik Bendera Bintang Bulan yang sampai saat ini belum juga tuntas. Biarlah dawa-dawi terkait Bintang Bulan diselesaikan oleh pihak Legislatif dan Eksekutif Aceh bersama dengan Pemerintah Pusat. Sebagai rakyat, untuk sementara waktu saya hanya bisa “menonton.”
Yang menarik perhatian saya dari “insiden kecil” di DPRA kemarin (04/05/15) adalah aksi Abdullah Saleh yang mengalungkan Bintang Bulan secara paksa ke leher Hamid Zain. Saya melihat benih-benih premanisme masih dipelihara oleh “insan-insan terhormat” yang “bersemayam” di “Gedung Keramat.” Tentunya aksi premanisme ini bukan yang pertama kali. Sebelumnya, aksi serupa juga pernah terjadi pada saat penetapan ketua DPRA pada 2014 lalu. Sebenarnya, aksi premanisme di “Gedung Keramat” tidak hanya berlangsung di Aceh, tapi “penyakit” ini juga terjadi di daerah lain, dan bahkan juga dilakoni oleh anggota DPR RI sekalipun.
Kembali pada insiden 04 Mai 2015. Pada saat menonton “video panas” tersebut, saya sempat berpikir, bahwa tindakan Abdullah Saleh tersebut hanyalah spontanitas saja, mungkin karena “gerogi” atau mungkin pula karena “kepanikan” yang telah memuncak. Muncul pertanyaan di benak saya. Bagaimana jika seandainya posisi Hamid Zain diganti dengan Kapolres atau Pangdam, apa Abdullah Saleh berani? Demikian pula jika seandainya Hamid Zain diganti dengan Cahyo Kumulo, apa berani? Jawaban paling aman adalah wallahu a’lam.
Kisah si Mat Piyah dan si Piyan
Ada sebuah kisah ketika saya masih kecil. Saat itu saya sekolah di MIN. Di depan sekolah saya ada sekolah SD. Saat itu, sering terjadi “pertempuran” antara murid MIN dan murid SD pada saat pulang sekolah. “Pertempuran” tersebut melibatkan murid-murid kelas VI. Di sekolah MIN ada seorang “jagoan”, namanya si Piyan. Demikian pula di SD juga ada seorang “jagoan”, namanya si Mat Piyah. Pada saat “pertempuran” berlangsung, “pasukan” MIN dipimpin oleh si Piyan berhadapan dengan “serdadu” SD yang dikomandani oleh si Mat Piyah.
Pada suatu hari, Si Piyan dan si Mat Piyah tanpa sengaja bertemu di keude Bang Li yang terletak antara MIN dan SD. Si Piyan mencoba menggertak si Mat Piyah: ”hai pu buet keuno kah, jak weh keudeh” (buat apa kamu kemari, pergi sana). Bukannya takut, si Mat Piyah justru malah menarik kerah baju si Piyan dan balas menggertak: “pu urusan kah, nyo keude nek kah nyoe” (apa urusan mu, apa ini kedai nenekmu). Tanpa menunggu lama, boh bi teugeupai[1] si Mat Piyah mendarat di talak[2] si Piyan. Tak terima talaknya “dibombardir”, si Piyan pun membalas serangan dengan “menembakkan” boh soeh[3]nya ke bibir si Mat Piyah. Akhirnya si Mat Piyah pun tersungkur dan kemudian bangkit melarikan diri.
Akibat kesal karena kalah tarung, saat pulang sekolah si Mat Piyah menunggu si Piyan di depan rumahnya (rumah Mat Piyah). Pada saat si Piyan melintasi rumah si Mat Piyah, tanpa diduga batu-batu kecil berhamburan ke arah si Piyan. Aksi lempar batu tersebut dipimpin oleh si Mat Piyah. Dengan langkah cepat, si Piyan menghampiri si Mat Piyah yang diapit oleh beberapa “pasukannya”. “Hai Mat Piyah, kah meunyo di rumoh reman, buno wate bak keude Bang Li kaplueng. Alah hai preman lungkiek dapu”[4] (hai Mat Piyah, kamu kalau di rumah sendiri sok berani, tadi di kedai Bang Li kamu lari, dasar Preman Lungkiek Dapu), ujar si Piyan sambil berlalu pergi.
Semoga saja insiden di depan Gedung DPRA pada 04 Mei 2015 hanyalah spontanitas saja dan bukan praktek Preman Lungkiek Dapu sebagaimana diperankan oleh Mat Piyah dalam cerita di atas. Wallahul Musta’an.
Footnote:
[1]Boh Bie Teugeupai adalah istilah keren untuk kepalan tangan.
[2]Talak artinya Jidat/dahi.
[3]Boeh Soeh, itilah dipakai untuk kepalan tangan, sama dengan boh bie teugeupai.
[4]Lungkiek Dapu artinya sudut dapur.
loading...
Post a Comment