TEOLOGI MU’TAZILAH
Oleh: Khairil Miswar
NIM: 26142251-2
Konsentrasi: Pemikiran dalam Islam
Program Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry Banda Aceh
Kemunculan aliran-aliran dalam Islam diawali pada saat terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan Radhiallahu 'anhu. Aliran-aliran tersebut muncul sebagai aliran politik yang kemudian berevolusi menjadi aliran teologi. Setelah Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam wafat terjadi “kegaduhan” antara kaum Muhajjirin dan Anshar terkait kepemimpinan agama dan politik pasca Nabi. Masing-masing pihak – Muhajjirin dan Anshar mengajukan tokoh sebagai pengganti Nabi.
Dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa kaum Anshar mengajukan Sa’ad bin ‘Ubadah sebagai calon khalifah, sedangkan dari pihak Muhajjirin mengajukan Abu Bakar Ash-Shiddiq Radhiallahu 'anhuma. Berbagai argument pun diajukan untuk menonjolkan calon masing-masing. Setelah melalui proses dinamika politik yang hangat, akhirnya Abu Bakar Ash-Shiddiq terpilih sebagai khalifah pengganti Nabi. Terpilihnya Abu Bakar sebagai khalifah tidak terlepas dari keutamaan-keutamaan yang dimilikinya dan turut didukung oleh keberadaan dirinya sebagai seorang Quraiys.
Pasca wafatnya Abu Bakar, kepemimpinan kaum muslimin digantikan oleh Umar bin Khattab. Pada saat kepemimpinan Abu Bakar dan Umar, persatuan kaum muslimin masih bisa dikendalikan oleh khalifah. Masalah muncul pasca wafatnya Umar, di mana saat itu kendali pemerintahan dipegang oleh Utsman bin Affan Radhiallahu 'anhu. Terpilihnya Utsman sebagai khalifah adalah berdasarkan kesepakatan para sahabat senior yang ditunjuk oleh Umar.
Pada masa pemerintahan Usman, kondisi politik telah mulai bergejolak yang dipicu oleh propaganda musuh-musuh Islam yang dipelopori oleh Abdullah bin Saba’. Berbagai fitnah pun dilancarkan oleh para pengikut Abdullah bin Saba sehingga keadaan semakin memanas. Di tengah kondisi politik yang tidak stabil tersebut, akhirnya Khalifah Utsman bin Affan Radhiallahu 'anhu terbunuh oleh para pengikut Abdullah bin Saba – seorang mantan pendeta Yahudi dari Yaman. Abdullah bin Saba’ dan pengikutnya memprokalamirkan diri sebagai kelompok pro-Ali yang di kemudian hari dikenal dengan Syi’ah.
Selanjutnya kepemimpinan kaum muslimin berada di bawah kendali Ali bin Abi Thalib Radhiallahu 'anhu. Pada saat pemerintahan Ali, kondisi politik semakin runyam dengan munculnya gerakan perlawanan dari Mu’awiyah bin Abi Sufyan Radhiallahu 'anhuma yang menuntut Ali untuk menangkap pembunuh Usman. Ada dua kejadian besar yang terjadi di masa kepemipinan Ali, yaitu perang Jamal dan perang Shiffin. Perang Jamal adalah perang yang terjadi antara pemerintahan Ali dengan pasukan Ummul Mukiminin, Aisyah Radhiallahu 'anha. Adapun perang Shiffin adalah perang yang terjadi antara pemerintahan Ali dengan pasukan Mu’awiyah Radhiallahu 'anhuma.
Untuk menyelesaikan perselisihan antara Ali dan Mu’awiyah akhirnya diputuskan untuk melakukan tahkim. Pelaksanaan tahkim tersebut mendapat penolakan dari sebagian pasukan Ali yang kemudian keluar dari barisan Ali. Dalam sejarah barisan yang keluar dari jama’ah Ali tersebut dinamai dengan Khawarij. Meskipun didasari oleh alasan-alasan politik, akhirnya aliran Khawarij juga berevolusi menjadi aliran teologi.
Pada tahapan selanjutnya muncul pula aliran-aliran teologi seperti Murji’ah, Qadariah, Jabariyah, Mu’tazilah, Asy’ariyah dan Maturidiyah. Dalam makalah ini pembahasan akan difokuskan pada sejarah dan konsep teologi dari Mu’tazilah.
B. Sejarah Kemunculan Mu’tazilah
Muhammad Ahmad dalam bukunya, menyebutkan bahwa kata Mu’tazilah berasal dari kata I’tizal yang berarti memisahkan diri. Sedangkan Mu’tazilah adalah orang-orang yang memisahkan diri. Sebagian ulama menyebut bahwa nama Mu’tazilah adalah sebuah nama yang diberikan oleh orang dari luar golongan Mu’tazilah. Adapun orang-orang Mu’tazilah sendiri lebih senang menggunakan nama Ahlut Tauhid wal ‘Adl.[1] Pendapat lain, sebagaimana dikemukakan oleh Ibn Al-Murtadha, menyatakan bahwa kaum Mu’tazilah sendirilah yang memakai nama tersebut dan bukan diberikan oleh orang lain.[2]
Aliran Mu’tazilah lahir lebih kurang tahun 120 H, di Kota Bashrah. Aliran ini pernah menjadi mazhab resmi negara pada masa pemerintahan Abbasiyah di bawah pimpinan Al-Makmun, Al-Mu’tashim dan Al-Watsiq.[3]
Dikisahkan bahwa di Baghdad hidup seorang ulama besar bernama Hasan Al-Basri (wafat 110 H). Di antara murid Hasan Al-Bashri adalah Washil bin ‘Atha. Pada suatu hari, Hasan Al-Bashri menerangkan kedudukan orang mukmin dan kafir di akhirat nanti. Hasan Al-Bashri menerangkan bahwa setiap orang Islam yang telah beriman dan mengucapkan dua kalimat syahadat, tetapi mengerjakan dosa besar, maka orang tersebut tetap sebagai muslim, tetapi muslim yang durhaka. Kalau ia wafat sebelum bertaubat, maka di akhirat ia akan dimasukkan ke dalam neraka untuk menerima hukuman atas dosanya, tetapi sesudah menjalankan hukuman, ia akan dikeluarkan dari neraka dan kemudian dimasukkan ke dalam surga sebagai mukmin.[4]
Mendengar penjelasan tersebut, Washil bin ‘Atha menolak pendapat Hasan Al-Bashri sambil keluar dari majelis gurunya dan mendirikan pengajian di mesjid lain yang bertempat di Bashrah. Karena peristiwa itulah Washil bin ‘Atha dinamai sebagai Mu’tazilah. Peristiwa ini terjadi pada masa pemerintahan khalifah Bani Umayyah, Hisyam bin Abdul Malik (100-125 H).[5]
Menurut Al-Baghdadi, Washil bin ‘Atha dan temannya ‘Amr bin Ubaid diusir oleh Hasan Al-Bashri dan majelisnya karena ada pertikaian antara mereka mengenai persoalan qadar dan orang yang berdosa besar.[6]
Ahmad Amin, sebagaimana dikutip oleh Nasution juga menyebut teori lainnya terkait penamaan Mu’tazilah. Menurut Amin, nama Mu’tazilah sudah muncul sebelum timbulnya peristiwa Washil dengan Hasan Al-Bashri. Menurut Amin, golongan Mu’tazilah adalah orang-orang yang tidak ikut campur dalam pertikaian politik di zaman Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Mereka menjauhkan dari dari golongan yang bertikai. Al-Thabari mencatat bahwa sewaktu Qais bin Sa’ad sampai di Mesir sebagai gubernur yang diutus oleh Ali bin Abi Thalib, ia menjumpai pertikaian di sana. Satu golongan ikut dengannya dan satu golongan lainnya menjauhkan diri ke Kharbita (I’tazalat ila Kharbita). Dalam suratnya kepada khalifah Ali, Qais menamai mereka sebagai Mu’tazilin. Jadi menurut Amin, kata-kata I’tazala dan Mu’tazilah telah dipakai seratus tahun sebelum peristiwa Washil dan Hasan Bashri.[7]
Menurut Nasution, kaum Mu’tazilah banyak dipengaruhi oleh filsafat Yunani sehingga pemikiran teologi mereka bercorak liberal.[8]
C. Tokoh-Tokoh Mu’tazilah
1. Washil bin ‘Atha
Washil bin ‘Atha lahir di Madinah pada tahun 70 H. Ia bejar kepada Hasan Al-Bashri di Basrah. Washil bin ‘Atha menyatakan bahwa seorang muslim yang berbuat dosa besar dihukumi tidak mukmin dan tidak kafir, tapi fasiq. Keberadaan orang tersebut adalah di antara mukmin dan kafir.[9] Ada dugaan bahwa sikap Washil bin ‘Atha yang demikian adalah untuk mengambil jalan tengah antara Khawarij dan Murji’ah. Dia tidak mengatakan bahwa pelaku dosa besar itu kafir sebagaimana dikatakan oleh Kawarij, dan tidak pula mengatakan mukmin sebagaimana keyakinan Murji’ah, melainkan berada di dua posisi.[10]
Mengenai perbuatan manusia, Washil berpendapat bahwa manusia memiliki kebebasan, kemampuan dan kekuasaan untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan. Kebebasan memilih, kekuasaan dan kemampuan untuk berbuat yang terdapat dalam diri manusia adalah pemberian dari Allah. Karena itu, manusialah yang menciptakan perbuatannya dan harus bertanggung jawab atas perbuatannya tersebut.[11]
Tentang sifat Allah, Washil menolak paham bahwa Allah memiliki sifat. Menurutnya, Allah tidak memiliki sifat dan hanya memiliki zat. Tuhan mengetahui dengan pengetahuan-Nya dan pengetahuan-Nya adalah zat-Nya. Tuhan mendengar dengan pendengaran-Nya dan pendengaran-Nya adalah zat-Nya, demikian seterusnya.[12]
2. Abu Huzail Al-Allaf
Abu Huzail dilahirkan pada tahun 135 H dan wafat pada tahun 235 H. Dia berguru kepada Usman Al-Tawil (murid Washil bin ‘Atha). Abu Huzail adalah ulama besar Mu’tazilah yang menyusun konsep teologi Mu’tazilah yang disebut dengan Ushulul Khamsah.[13]
Menurut Abu Huzail, akal manusia cukup kuat untuk mengetahui adanya Tuhan dan untuk mengetahui kewajiban berterima kasih kepada Tuhan. Akal juga kuat untuk mengetahui apa yang baik dan apa yang buruk dan juga mengetahui kewajiban meninggalkan perbuatan buruk (jahat) dan kewajiban mengerjakan perbuatan baik.[14]
3. Ali Al-Juba-i
Ali Al-Juba-i lahir pada tahun 250 H di Juba-i. Dia berguru kepada Syahham, salah seorang murid Abu Huzail. Ia mempunyai pola pikir yang tidak jauh berbeda dengan tokoh-tokoh Mu’tazilah lainnya, yaitu mengutamakan akal dalam memecahkan persoalan-persoalan teologi. Dia wafat di Bashrah pada tahun 303 H.[15]
D. Ushulul Khamsah
Kitab Ushulul Khamsah. Sumber: www.neelwafurat.com |
1. Tauhid
Tauhid dalam konsep Mu’tazilah adalah meng-Esakan Tuhan dari segala sifat.[16] Menurut Mu’tazilah, Allah tidak memiliki sifat dan hanya memiliki esensi. Mu’tazilah juga menyatakan bahwa Allah tidak dapat dilihat, walaupun di akhirat.[17]
Menurut Mu’tazilah, siapa saja yang menetapkan sifat kepada Allah, maka orang tersebut adalah musyrik.[18] Menurut Abu Huzail, pemberian sifat kepada Tuhan akan membawa kepada paham syirik atau politeisme, karena dengan menetapkan sifat Tuhan, maka yang bersifat qadim akan menjadi banyak. Untuk memurnikan tauhid maka tidak boleh menetapkan sifat bagi Allah.[19]
Menurut Al-Nazzam, kalam Allah tidak qadim, tetapi diciptakan. Pada perkembangan selanjutnya paham ini melahirkan peristiwa Al-Quran Makhluk.[20] Mengenai mu’jizat, Al-Nazzam menyatakan bahwa Al-Quran dalam gaya bahasa bukanlah mu’jizat, tetapu mu’jizat Al-Quran terdapat pada isinya. Menurut Al-Nazzam, sekiranya Allah tidak mengatakan bahwa tidak ada manusia yang sanggup membuat karangan seperti Al-Quran, mungkin akan ada manusia yang sanggup membuat karangan yang lebih bagus dari Al-Quran dalam gaya dan susunan bahasa.[21]
2. Al-‘Adlu
Menurut Mu’tazilah, manusia memiliki kebebasan dalam segala perbuatan dan tindakannya. Disebabkan kebebasan itulah manusia harus mempertanggungjawabkan segala perbuatannya. Jika perbuatan baik, maka Tuhan akan memberi kebaikan dan jika perbuatannya buruk maka Tuhan akan memberikan hukuman. Inilah yang disebut dengan keadilan oleh Mu’tazilah.[22] Mereka juga menyatakan bahwa wajib bagi Allah untuk bersikap adil.[23]
Menurut Mu’tazilah, Tuhan menguasai kebaikan dan tidak menghendaki keburukan. Manusia bebas berbuat karena kebebasan itu adalah pemberian Tuhan kepada manusia. Namun demikian, Mu’tazilah tidak mengakui bahwa manusia memiliki qudrat dan iradat, tetapi qudrat dan iradat itu hanyalah pinjaman belaka.[24]
Al-Nazzam menyatakan bahwa Tuhan tidak berkuasa berbuat dhalim, karena perbuatan dhalim hanya timbul dari yang mempunyai cacat, dan Tuhan tidak mempunyai cacat. Dari Tuhan hanya timbul perbuatan-perbuatan baik.[25] Menurut Al-Nazzam, Tuhan berkuasa berbuat dhalim, tetapi mustahil Tuhan bersifat dhalim, karena hal tersebut akan membawa kepada kurang sempurnanya sifat Tuhan.[26]
3. Al-Wa’du dan Al Wa’id (janji dan ancaman)
Prinsip janji dan ancaman Allah yang dipegang oleh Mu’tazilah adalah untuk membuktikan keadilan Tuhan sehingga setiap manusia dapat merasakan balasan dari Tuhan terhadap segala perbuatannya. Menurut Mu’tazilah, orang mukmin yang berdosa besar lalu mati dan tidak sempat bertaubat maka ia tidak akan mendapat ampunan dari Allah. Di akhirat tidak ada syafa’at, sebab syafa’at bertentangan dengan Al-Wa’du dan Al-Wa’id. Tuhan akan membalas kebaikan manusia dan menjatuhkan siksa terhadap kejahatan yang dilakukan oleh manusia.[27]
4. Al Manzilah bainal Manzilatain
Yang dimaksud dengan tempat di antara dua tempat oleh kaum Mu’tazilah adalah tempat bagi orang fasiq, yaitu orang mukmin yang melakukan dosa besar tetapi tidak musyrik, maka mereka akan ditempatkan di suatu tempat antara surga dan neraka. Orang fasiq ini tidak akan keluar dari neraka yang agak dingin dan tidak pula masuk ke dalam surga yang penuh kenikmatan.[28]
5. Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Menurut Mu’tazilah, orang yang menyalahi pendirian mereka dianggap sesat dan harus dibenarkan dan diluruskan. Oleh karena itu Mu’tazilah tidak segan-segan membunuh siapa saja yang bertentangan dengan paham mereka, seperti yang terjadi pada peristiwa Quran Makhluk.[29] Mu’tazilah juga membolehkan melakukan pemberontakan terhadap pemimpin yang melakukan maksiat.[30]
E. Kesimpulan
Mu’tazilah adalah aliran teologi yang bersifat rasional dan sempat menjadi mazhab resmi negara pada masa pemerintahan Daulah Abbasiyah dibawah kepemimpinan Khalifah Al-Makmun, Al-Mu’tashim dan Al-Watsiq. Aliran Mu’tazilah memiliki lima ajaran dasar yang disebut dengan Ushulul Khamsah, yang terdiri dari At-Tauhid, Al-‘Adlu, Al-Wa’du dan Al Wa’id, Al-Manzilah baina Manzilatain, dan Amar Ma’ruf Nahi Munkar. Pemimpin tertua Mu’tazilah adalah Washil bin ‘Atha. Tokoh-tokoh Mu’tazilah lainnya, di antaranya: Abu Hudzail, Al-Nazzam dan Ali Al-Jubai-i.
F. Daftar Pustaka
Muhammad Ahmad, Tauhid-Ilmu Kalam, Bandung: Pustaka Setia, 1998
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran, Sejarah, Analisa dan Perbandingan,
Jakarta: UI-Press, 1986
-------, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid II, Jakarta: UI-Press, 1986
Afrizal, Ibn Rusyd: Tujuh Perdebatan Utama dalam Teologi Islam, Jakarta: Erlangga, 2006
Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, Penjelasan Ringkasan Matan Al-Aqidah Ath Thahawiyah, Aqidah Ahlussunnah Waljama’ah, terj. Abdurrahman Nuryaman, Jakarta: Pustaka Sahifa, 2011
Endnote:
[1]Muhammad Ahmad, Tauhid-Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia, 1998), hal. 163.
[2]Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran, Sejarah, Analisa dan Perbandingan, (Jakarta: UI-Press, 1986), cet. 5, hal. 42.
[3]Muhammad Ahmad, Tauhid-Ilmu Kalam…, hal. 163.
[4]Muhammad Ahmad, Tauhid-Ilmu Kalam…, hal. 163.
[5]Muhammad Ahmad, Tauhid-Ilmu Kalam…, hal. 163-164.
[6]Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran, Sejarah, Analisa…, hal. 38.
[7]Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran, Sejarah, Analisa…, hal. 40.
[8]Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid II, (Jakarta: UI-Press, 1986), cet. 6, hal. 38.
[9]Muhammad Ahmad, Tauhid-Ilmu Kalam…, hal. 164.
[10]Afrizal, Ibn Rusyd: Tujuh Perdebatan Utama dalam Teologi Islam, (Jakarta: Erlangga, 2006), hal. 30.
[11]Muhammad Ahmad, Tauhid-Ilmu Kalam…, hal. 164.
[12]Muhammad Ahmad, Tauhid-Ilmu Kalam…, hal. 165.
[13]Muhammad Ahmad, Tauhid-Ilmu Kalam…, hal. 165.
[14]Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya…,hal. 38.
[15]Muhammad Ahmad, Tauhid-Ilmu Kalam…, hal. 165.
[16]Muhammad Ahmad, Tauhid-Ilmu Kalam…, hal. 166.
[17]Muhammad Ahmad, Tauhid-Ilmu Kalam…, hal. 166.
[18]Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, Penjelasan Ringkasan Matan Al-Aqidah Ath-Thahawiyah, Aqidah Ahlussunnah Waljama’ah, terj. Abdurrahman Nuryaman, (Jakarta: Pustaka Sahifa, 2011), cet. 3, hal. 245.
[19]Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya…, hal. 38.
[20]Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya…, hal. 39.
[21]Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran, Sejarah, Analisa…, hal. 48.
[22]Muhammad Ahmad, Tauhid-Ilmu Kalam…, hal. 167.
[23]Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, Penjelasan Ringkasan Matan Al-Aqidah…, hal. 245.
[24]Muhammad Ahmad, Tauhid-Ilmu Kalam…, hal. 167.
[25]Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya…, hal. 38-39.
[26]Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran, Sejarah, Analisa…, hal. 47.
[27]Muhammad Ahmad, Tauhid-Ilmu Kalam, hal. 167.
[28]Muhammad Ahmad, Tauhid-Ilmu Kalam…, hal. 168.
[29]Muhammad Ahmad, Tauhid-Ilmu Kalam…, hal. 168.
[30]Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, Penjelasan Ringkasan Matan Al-Aqidah…, hal. 245.
Tulisan ini adalah makalah kuliah penulis di Program PPs UIN Ar-Raniry. Sudah dipublikasikan di Kompasiana
loading...
Post a Comment