Pilih Kawin Paksa atau Terpaksa Kawin?
Oleh: Khairil Miswar
Bireuen, 15 Februari 2015
HAMKA. Sumber: www.rabithah-alawiyah.org |
“Gadis-gadis dan pemuda-pemuda zaman sekarang sangat menentang kawin paksa, lantaran itu maka kawin paksa tidak ada lagi, gantinya adalah kawin terpaksa, penutup malu” (HAMKA, 1982)
Dua kalimat pembuka sebagaimana tertera di awal tulisan ini, penulis kutip dari buku “Ghirah dan Tantangan Pada Islam”. Buku tersebut adalah kumpulan tulisan HAMKA yang kemudian dikumpulkan dan diterbitkan oleh Pustaka Panjimas. Sebagaimana telah kita kenal, HAMKA adalah salah seorang ulama besar di masanya yang banyak menghasilkan karya tulis, baik berupa buku-buku keagamaan, sejarah maupun karya di bidang sastra. Di antara karya sastranya yang populer adalah “Di Bawah Lindungan Ka’bah” dan “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck”.
Sebagai seorang ulama besar, tentunya HAMKA memiliki pengetahuan yang luas dan kompleks. Buku-bukunya yang bertema keagamaan banyak digemari publik dan telah dicetak berulang kali. Materi yang disajikan oleh HAMKA dalam berbagai bukunya, meskipun telah melampau zaman, namun masih tetap hangat dan lunak untuk dicerna. Kalimat-kalimat menarik dan penuh hikmah yang disuguhkan HAMKA dalam bukunya menjadikan tulisan-tulisannya tetap hidup dan menarik untuk disimak.
Potongan tulisan HAMKA terkait pergaulan muda-muda di era modern yang tersaji dalam bukunya “Ghirah dan Tantangan Pada Islam” sangat menarik untuk dikaji kembali, mengingat kondisi moral muda-mudi sekarang ini telah tercemar dan menyimpang dari ajaran Islam. Jika pada masa HAMKA saja moral muda-mudi telah rusak, bagaimana dengan sekarang? Tentu lebih tragis.
Kawin Paksa
Di Indonesia, istilah kawin paksa, bukanlah term baru yang muncul kemarin sore. Istilah dimaksud telah populer dan telah pula menemani kehidupan bangsa Indonesia dari zaman ke zaman. Terkait dengan “kawin paksa” juga turut disinggung oleh HAMKA dalam novel “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck”. Tidak hanya HAMKA, keberatan terhadap fenomena “kawin paksa” juga pernah dikisahkan oleh Kartini dalam surat-suratnya.
Di zaman lampau – masa mudanya ayah dan kakek-nenek kita dulu, istilah kawin paksa masih diartikan secara positif, meskipun “terkesan dipaksa”, namun pada kenyataannya para mempelai tidak pernah “merasa terpaksa” untuk melangsungkan perkawinan dengan jodoh pilihan orang tua mereka. Para pemuda-pemudi zaman dulu terlihat ridha (rela) dengan keputusan yang telah dibuat oleh orang tua, mengingat – tidak mungkin orang tua memilih orang jahat sebagai jodoh anaknya, sudah tentu mereka menghendaki anak-anaknya bahagia dalam menempuh kehidupannya.
Ilustrasi Kawin Paksa antara Datuk Maringgih dan Siti Nurbaya
Sumber: paratokohlampung.blogspot.com
|
Namun pada perkembangan selanjutnya, khususnya di era modern, istilah kawin paksa tersebut mulai ditafsirkan secara negatif – di mana para pemuda dan pemudi telah mengusung tema baru bahwa “jodoh kami adalah urusan kami”. Para pemuda-pemudi di zaman modern tidak menghendaki adanya campur tangan orang tua dalam masalah pemilihan jodoh, karena mereka merasa sudah mampu menentukan pilihan hidupnya tanpa campur tangan orang lain, termasuk orang tua. Sebagai tindak lanjut dari fenomena tersebut akhirnya muncul pula istilah “kawin lari” yang merupakan solusi apabila jodoh pilihannya tidak direstui oleh orang tua.
Meskipun kawin lari sempat menjadi “trend”, namun pada kenyataannya solusi tersebut juga melahirkan berbagai problem di kemudian hari, di mana ketika terjadi cekcok dalam keluarga, si istri akan menanggung resiko sendiri, hendak kembali kepada orang tua tidak mungkin lagi, setidaknya untuk mempertahankan “gengsi”. Kisah ini juga pernah terekam dalam sebuah lagu yang dipopulerkan oleh mendiang Nike Ardila.
Kawin Terpaksa
Sebagai antonim dari kawin paksa adalah kawin terpaksa. Fenomena kawin terpaksa dalam konteks kekinian tidak lagi menjadi hal yang tabu. Mencermati perilaku muda-mudi akhir-akhir ini, seolah memberikan isyarat kepada kita bahwa term “terpaksa kawin”, baik secara langsung ataupun tidak telah menggusur term “kawin paksa”. Bayang-bayang kawin paksa yang sedianya sangat ditakuti oleh muda-mudi, seiring dengan perkembangan zaman telah hilang dalam panggug sejarah.
Sebagaimana telah kita saksikan bersama melalui berbagai media, bahwa hampir di setiap tempat terjadi praktek mesum dan hamil di luar nikah. Khususnya di kota-kota besar, praktek prostitusi juga semakin merajalela, di mana kehormatan tidak lebih mahal dari sebungkus rokok dan setumpuk ikan asin. Para pekerja seks komersial telah menjadikan profesinya sebagai sebuah media ampuh untuk meraup rupiah, tanpa rasa malu sedikit pun. Demikian pula para lelaki hidung “belang-beling”, demi menyalurkan syahwatnya lebih memilih sistem “cash” (habis main langsung bayar) ketimbang melalui proses pernikahan yang halal, karena dianggap terlalu ribet dan menyulitkan.
Bagaimana dengan Aceh?
Aceh sebagai satu-satunya provinsi di Republik ini yang dengan izin Undang-Undang telah diberi hak untuk menjalankan Syariat Islam, ternyata juga tidak terlepas dari berbagai perilaku menyimpang yang dilakoni oleh muda-mudi akhir-akhir ini. Malam minggu tak ubahnya bagai “parade militer” – di mana para muda-mudi tampak berpelukan di atas kendaraan, tanpa rasa malu dan bahkan dengan bangganya memacu syahwat di jalan raya.
Fenomena hubungan pra-nikah alias pacaran tanpa sadar telah “membudaya” di tanah rencong. Perilaku pacaran dalam pandangan sebagian muda-mudi Aceh bahkan seolah telah menjadi “syarat” yang harus dilalui sebelum melangsungkan sebuah perkawinan. Pada prinsipnya, pacaran itu tidak-lah terlarang selama tidak melanggar batas-batas yang telah ditetapkan dalam syariat, yaitu sebagai media ta’aruf (perkenalan). Namun pemandangan yang kita saksikan hari ini, fenomena pacaran yang dilakoni oleh muda-mudi Aceh telah keluar dari garis-garis syariat dan bahkan telah mencabik-cabik eksistensi Syariat Islam di bumi Aceh.
Menyikapi fenomena tersebut, orang tua memiliki peran penting dalam mendidik anak-anaknya agar tidak terjebak kepada perilaku-perilaku menyimpang semisal zina yang jelas-jelas terlarang dalam syariat. Lihat saja berapa banyak lahir anak-anak produk zina, meskipun tidak semuanya terungkap oleh media. Anak zina tidak hanya lahir di kota-kota besar semisal Medan dan Jakarta, tapi praktek tersebut sebenarnya juga terjadi di pelosok-pelosok kampung. Kasus-kasus tersebut mudah saja lenyap dari perbincangan, terlebih lagi di sebagian tempat, muda-mudi yang telah mengalami “kecelakaan” langsung dikawinkan, sehingga masalah menjadi selesai, atau lebih tepatnya “dianggap selesai”.
Perayaan Valentine’s Day, yang turut mempengaruhi muda-mudi saat ini, di samping berperan sebagai media perusak moral, juga menjadi modal guna mempercepat kawin terpaksa. Di satu sisi, kawin paksa yang berlaku di masa lalu merupakan salah satu langkah untuk menutup pintu zina. Dan ketika pintu zina itu dibuka, maka kawin terpaksa-lah yang terjadi.
Namun demikian, bukan maksud penulis untuk mendukung “kawin paksa”, tapi berbagai fenomena yang telah penulis kemukakan di atas setidaknya telah membuktikan kekhawatiran HAMKA, di mana perilaku “kawin paksa” telah punah dan berganti dengan “kawin terpaksa”, tentunya sebagai penutup malu. Kalau sudah begini mau apa lagi? Wallahu A’lam.
Artikel ini sudah diterbitkan di Harian Waspada Medan
loading...
Post a Comment