TSUNAMI ACEH; MOMENTUM UNTUK BERTAUBAT, BUKAN UNTUK BERSEDIH
Oleh: Khairil Miswar
Bireuen 26 Desember 2012
Ilustrasi Tsunami. Sumber: www.youtube.com |
Pada hari itu tidak ada pendekar yang mampu menahan dahsyatnya gelombang tsunami yang menghantam apa saja yang ada dihadapannya. Pada hari itu tidak ada dukun yang sanggup membaca mantra untuk melemahkan makhluk Allah yang bernama tsunami. Pada hari itu juga tidak ada demonstrasi yang mampu memprotes kekuasan Allah – Sang Penguasa Tunggal jagat raya. Pada hari itu setiap mata hanya bisa memandang dan mulut cuma mampu berteriak, jantung berdebar, sedangkan kaki menjadi lemas dan kaku tak bergerak.
Hiruk pikuk teriakan dan tangisan anak manusia seakan memecah jagad raya menyambut datangnya taqdir Tuhan bersama ganasnya gelombang. Bersykurlah bagi mereka yang mati dalam keadaan beriman.
Tsunami Sebagai Pelajaran
Tsunami sebagai sebuah bukti kekuasaan Allah, yang mungkin datang sebagai cobaan bagi orang-orang beriman, dan juga mungkin sebagai bala (bencana) bagi yang tidak beriman. Tsunami hendaknya menjadi pelajaran bagi kita semua. Setiap perilaku maksiat yang selama ini telah membuat kita larut sudah semestinya kita tinggalkan. Gempa tsunami yang menghilangkan ratusan ribu nyawa di Aceh adalah pelajaran paling berharga yang mungkin tidak tercatat di buku-buku pelajaran.
Sumber: www.tsunami2004.net |
Sudah saatnya kita melakukan muhasabah guna menuju hidup yang lebih baik, hidup yang penuh dengan amal shalih, bukan hidup yang sia-sia dan berlumur dosa.
Tak Perlu Bersedih
Rasa gembira, sedih dan takut merupakan sifat yang telah dianugerahkan oleh Allah kepada manusia. Setiap manusia akan merasakan sifat-sifat tersebut dalah kesehariannya secara bergantian.
Allah tidak pernah melarang kita untuk bersedih, hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Rasul dalam sebuah hadits ketika putranya Ibrahim meninggal dunia, Rasul bersabda: “Kedua mata boleh mencucurkan air mata, hati boleh bersedih, hanya kita tidaklah mengatakan kecuali apa yang diridhai oleh Rabb kita. Dan kami dengan perpisahan ini wahai Ibrahim pastilah bersedih” (H.R Bukhari No. 1220). Dalam hadits tersebut jelas terlihat bahwa Rasulpun pernah bersedih ketika orang yang disayanginya pergi menghadap sang Khaliq.
Namun demikian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam melarang keras umatnya untuk meratapi orang yang telah meninggal sebagaimana hal tersebut sudah dijelaskan dalam beberapa hadits shahih diantaranya diriwayatkan oleh Ibnu Majah (No. 1581), Muslim (No. 1530) dan Bukhari (No. 1211). Meratapi orang yang telah meninggal adalah perilaku orang-orang Jahiliyah yang sudah semestinya kita tinggalkan.
Seiring perjalanan waktu yang sudah mencapai delapan tahun kita berharap tidak ada lagi kesedihan dan tangisan. Ikhlaskan kepergian mereka menghadap Allah, suatu saat kita juga akan menyusul mereka. Lupakan semua cerita pilu yang membuat kita tersungkur layu dan putus asa. Kita semua adalah milik Allah, kita harus siap menerima segala keputusan Allah meskipun pahit sekalipun.
Dalam pandangan penulis peringatan tsunami yang dilakukan secara berlebihan merupakan hal yang tidak perlu dipertahankan, karena hal tersebut dapat mengulang kesedihan yang berkepanjangan.
Tidak ada gunanya kita bermuram durja atas musibah yang telah menimpa kita. Sebagai seorang hamba selayaknya kita selalu bermunajat kepadaNya seraya berdoa bagi mereka yang telah pergi mendahului kita. Allah telah menjanjikan pahala yang besar bagi kita yang sabar dalam menghadapi setiap musibah. Dalam sebuah hadits Rasulullah bersabda: “Jika anak seorang hamba meninggal, Allah berfirman kepada para malaikatNya: Kalian telah mencabut anak hambaKu. Mereka menjawab; Ya. (Allah) berfirman; Kalian telah mencabut buah hatinya. Mereka menjawab; Ya. (Allah) bertanya: Apa yang dikatakan hambaKu. Mereka menjawab; Dia memujiMu dan mengucapkan istirja'. Allah berkata: Bangunlah untuk hambaKu satu rumah di syurga dan berilah nama dengan Baitulhamd” (H.R Tirmidzi No. 942).
Hadist diatas seyogyanya dapat menjadi penyemangat bagi kita untuk tetap sabar dan tabah ketika ujian menerpa. Dalam hadits lain, Rasul bersabda: “Apabila Allah menghendaki kebaikan kepada hambaNya, maka Allah menyegerakan hukumannya di dunia dan apabila Allah menghendaki keburukan kepada hambaNya maka Allah menahan dosanya sehingga dia terima kelak di hari Kiamat” (H.R. Tirmidzi No. 2319).
Momentum untuk Bertaubat
Hendaknya momentum tsunami delapan tahun lalu dapat menggugah hati kita untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah seraya beristigfar memohon ampunan dari Allah atas dosa-dosa yang telah kita lakukan selama ini, apakah disengaja ataupun tidak. Selain bertujuan sebagai ujian, bencana juga merupakan sebuah teguran dari Rabbul ‘Alamin agar kita tidak lupa tentang hakikat hidup di dunia yang fana ini. Sudah saatnya kita berlomba-lomba menunju magfirah dan meninggalkan pesta dunia yang telah membuat hati kita menjadi buta.
Ampunan Allah sangat luas dan tanpa batas, Rasul bersabda: “Sekiranya kalian melakukan kesalahan hingga kesalahan kalian mencapai langit dan bumi, kemudian kalian bertaubat, niscaya taubat kalian akan di terima” (H.R. Ibnu Majah No. 4238). Dalam hadits lain Rasul juga bersabda: “Semua bani Adam pernah melakukan kesalahan, dan sebaik-baik orang yang salah adalah yang segera bertaubat” (H.R. Ibnu Majah No. 4241).
Semoga saja momentum tsunami tidak hanya menjadi cerita pilu yang kita peringati sepanjang masa, namun hendaknya tsunami menjadi spirit bagi kita untuk senantiasa bertaubat dan mendekatkan diri kepada Allah ‘Azza Wajalla. Wallahul Musta’an.
Artikel ini sudah pernah diterbitkan di Atjehlink.com
loading...
Post a Comment