Semangat Perang Badar dalam Pilpres 2014


Oleh: Khairil Miswar

Bireuen, 01 Juni 2014

Tepatnya pada 9 Juli mendatang, masyarakat Indonesia akan kembali disibukkan dengan sebuah momentum besar untuk menentukan pemimpin Indonesia lima tahun ke depan. Dalam pileg yang digelar pada 9 April lalu, tidak ada satu partai pun yang berhasil memperoleh suara 20%. Kemenangan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) pada Pileg lalu hanya berkisar pada angka 18,95%, diikuti oleh Golkar 14,75%, Gerindra 11,81%, Demokrat 10,19%, PKB 9,04%, PAN 7,59%, PKS 6,79%, Nasdem 6,72%, PPP 6,53%, Hanura 5,26%, PBB 1,46%, dan PKPI 0,91% (http://nasional.kompas.com). Kondisi tersebut mengakibatkan seluruh partai politik peserta pemilu menjadi kewalahan untuk mengusung capres, karena persentase suara yang dicapai tidak memadai sehingga angka 20% untuk presidential treshold tidak terpenuhi. Suka atau pun tidak, kondisi tersebut memaksa partai-partai untuk bergentayangan mencari teman koalisi. 

Kesamaan platform, visi dan misi menjadi juru kunci lahirnya kata sepakat dalam menjalin koalisi. Aburizal Bakri yang sempat digadang-gadang sebagai capres dari Partai Golkar yang merupakan partai pemenang kedua pada pileg 2014 terpaksa mengalah dan menyatakan bergabung dalam gerbong koalisi Prabowo-Hatta yang sebelumnya telah berkoalisi dengan PPP, PKS, PAN dan PBB. Sementara itu, Jenderal Bintang Empat Wiranto yang sempat berpasangan dengan Hary Tanoe, akibat perolehan suara yang “minimalis” juga terpaksa “mengurut dada” dan akhirnya mengikuti jejak PKB dan Nasdem untuk bergabung dengan Pasangan Jokowi-JK yang diusung oleh PDI Perjuangan. Di pihak lain, Partai Demokrat, sampai dengan detik ini belum menentukan arah politiknya menjelang Pilpres mendatang. Namun demikian arah politik Partai Demokrat secara perlahan mulai terkuak dengan bergabungnya beberapa kader Demokrat ke dalam koalisi Merah-Putih (Prabowo-Hatta).

Dua pasangan capres/cawapres pasca pendaftaran ke KPU, Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK terus bergerilya mencari dukungan dan simpati publik. Alhasil, dukungan dari berbagai pihak pun mengalir kepada kedua pasangan tersebut dengan dideklarasikannya sejumlah dukungan di berbagai daerah. Menariknya lagi, seiring dengan penggalangan dukungan yang dilakukan oleh kedua capres/cawapres, kampanye hitam (black compaign) pun bermunculan bak jamur di musim hujan. Kampanye hitam tersebut menyerang kedua kubu capres secara bersamaan. Kondisi semakin tidak fair, ketika “aib” para capres yang dibumbui dengan berbagai pemutarbalikan fakta oleh pihak-pihak tertentu dijadikan sebagai komoditi politik yang saban hari disodorkan kepada publik.

Pernyataan Amin Rais

Di tengah badai black compaign yang terus berhembus tak tentu arah, sebagian publik mengaku “tercengang” dengan pernyataan Amin Rais dalam acara perayaan Isra Mi’raj di Mesjid Kebayoran Baru yang mengajak para pendukung Prabowo-Hatta untuk mewarisi semangat perang badar dalam Pilpres mendatang. Amin Rais juga menekankan bahwa untuk memenangkan Pilpres kita tidak boleh terjebak dalam drama perang Uhud. Sayangnya, statemen yang dilontarkan oleh Amin Rais ini mendapat tanggapan keras dari Gus Sholah, salah seorang tokoh Nahdatul Ulama (NU). Menurut Gus Sholah, pernyataan tersebut tidak pantas diucapkan oleh Amin Rais, karena perang Badar merupakan perang suci untuk menegakkan agama, sedangkan pilpres tidak bertujuan untuk menegakkan salah satu agama mana pun (http://pemilu.tempo.co). 

Ilustrasi Perang Badar. Sumber: takusahrisau.wordpress.com
Lantas apa yang salah dengan pernyataan Amin Rais? Sebagai umat Islam tentunya kita bisa memahami apa yang menjadi substansi statemen Amin Rais. Namun sayangnya, statemen Amin Rais tersebut telah ditafsirkan secara keliru oleh sebagian pihak sehingga muncul tuduhan bahwa statemen Amin Rais tersebut bermuatan SARA. Padahal, jika dicermati secara bijak, statemen yang disampaikan oleh Amin Rais hanyalah sebuah analogi-metaforis, sehingga tidak perlu ditaggapi secara “lebay” sehingga melahirkan kesimpulan yang keliru. Kata perang Badar dalam statemen Amin Rais tidak bisa dimaknai secara leksikal, tapi harus dipahami secara kontekstual. Substansi dari statemen Amin Rais adalah mengajak semua pihak, khususnya tim pemenangan Prabowo-Hatta agar bekerja dengan maksimal dan ikhlas dalam memenangkan pasangan tersebut. Spirit perang Badar akan melahirkan sikap ikhlas dalam melakukan perjuangan sehingga tujuan akan tercapai. Dalam konteks politik, spirit perang Badar sama halnya dengan jargon “kerja tanpa syarat”, di mana perjuangan (pemenangan) yang kita lakukan tidak dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan pragmatis. Berbeda halnya dengan mental perang Uhud, di mana konsentrasi pasukan terpecah akibat disibukkan dengan harta rampasan perang (kepentingan pragmatis) sehingga harus menerima kekalahan. Adalah wajar jika Amin Rais mencoba menanamkan mental perang Badar agar kaum muslimin, khususnya tim Prabowo-Hatta tidak terjebak dalam mental perang Uhud demi tercapainya kemenangan. Dengan demikian, menurut penulis, analogi yang dibuat oleh Amin Rais sudah sangat tepat.

Mungkin akan timbul pertanyaan, kenapa harus memakai semboyan perang Badar? Sebagai seorang muslim tentunya hal tersebut adalah lumrah dan sah-sah saja mengingat dalam semboyan tersebut terkandung aspek historis sehingga mampu menumbuhkan semangat tim sukses Prabowo-Hatta yang mayoritasnya adalah muslim. Mungkin akan muncul pertanyaan lain, bukankah pasangan Jokowi-JK juga muslim? Jawabannya tentu mereka juga muslim. Namun apakah statemen yang disampaikan oleh Amin Rais secara otomatis akan berkonsekwensi pada timbulnya anggapan bahwa pasangan Jokowi-JK sebagai bukan muslim? Tentunya sangat naïf jika kita berkesimpulan demikian. Lantas bagaimana jika ada orang yang mengajak agar kita mewarisi sifat-sifat kenabian, apakah secara otomatis kita akan menjadi nabi hanya karena mewarisi sifat-sifat kenabian? Tentu tidak.

Sikap Umat Islam

Terlepas dari berbagai isu yang berkembang akhir-akhir ini, namun di satu sisi koalisi yang dibangun oleh Prabowo-Hatta didominasi oleh partai-partai berbasis Islam, seperti PPP, PAN, PKS dan PBB sehingga sangat wajar ketika jargon-jargon Islam menjadi dominan dalam setiap perbincangan yang dilakukan oleh timses Prabowo-Hatta. Sebagai umat Islam, kita tidak perlu phobi dengan statemen-statemen tersebut sehingga memunculkan kecurigaan bahwa pasangan tersebut telah memainkan isu SARA. Sebagaimana pernah dikemukakan oleh Rhoma Irama dalam sebuah wawancara di sebuah stasiun televisi, bahwa setiap agama memiliki subjektivitas masing-masing. Apalagi pernyataan Amin Rais disampaikan di mesjid yang pendengarnya umat Islam, tentu statemen tersebut tidak menjadi aneh. Jika memang penyampaian konsep-konsep agama dianggap sebagai SARA, maka yakinlah bahwa hak-hak agama akan terabaikan.

Di sisi lain, koalisi pengusung Jokowi-JK didominasi oleh partai-partai berbasis nasionalis, seperti PDI-P, Nasdem, PKB dan Hanura. Adapun PKB, meskipun berbasis Islam, namun idiologi partai yang dipimpin oleh Muhaimin Iskandar tersebut berazaskan kebangsaan sehingga dapat digolongkan ke dalam barisan nasionalis. Dengan demikian, sangat wajar ketika jargon-jargon berbau Islam menjadi minim terdengar karena didominasi dengan isu-isu kebangsaan. 

Penulis bukannya ingin mempertentangkan antara Islam dan nasionalis, tetapi timbulnya berbagai perbedaan dalam setiap tindakan dan statemen di masing-masing pasangan capres adalah hal yang wajar disebabkan komposisi koalisi yang berbeda. Di samping itu, tidak menjadi aneh ketika ada sebagian pihak yang justru menganalogikan Pilpres 2014 bak pertarungan idiologis antara PNI dan Masyumi di masa lalu. Meskipun tak persis sama, namun kedua kubu pasangan yang akan bertarung pada Pilpres mendatang memiliki keterkaitan historis dengan kubu-kubu politik di masa lalu.

Di akhir tulisan ini, penulis mengajak kita semua untuk berpikir jernih dan tidak terjebak dalam kepentingan pragmatis sehingga masa depan Indonesia ke depan menjadi suram. Ajang Pilpres adalah panggung demokrasi yang harus kita sikapi dengan bijak, bukan arena perang yang membuat kita saling serang satu sama lain. Namun satu hal perlu diingat, bahwa umat Islam memiliki kontribusi besar dalam mendirikan negeri ini, tentunya dengan tidak menafikan keterlibatan umat agama lain. Dengan demikian, kepentingan umat Islam ke depan harus menjadi prioritas dan parameter dalam menentukan pilihan pada Pilpres mendatang. Mari bergandeng tangan menuju Indonesia yang Baladatun Thaiyyibatun Warabbun Ghafur. Wallahul Musta’an.

Artikel ini sudah pernaj diterbitkan di Harian Waspada Medan


loading...

No comments