Politik Atas Nama
Oleh: Khairil Miswar
Bireuen, 24 Maret 2013
Ada yang atasnama Tuhan melecehkan TuhanAda yang atasnama negara merampok NegaraAda yang atasnama rakyat menindas rakyatAda yang atasnama kemanusiaan memangsa manusiaAda yang atasnama keadilan meruntuhkan keadilanAda yang atasnama persatuan merusak persatuanAda yang atasnama perdamaian mengusik kedamaianAda yang atasnama kemerdekaan memasung kemerdekaanMaka atasnama apa saja atau siapa saja,kirimlah laknat kalianatau atasnamaKu perangilah mereka!dengan kasih sayang!
(Sajak Atas Nama, KH Mustofa Bisri)
Bait-bait sajak di atas penulis kutip dari sebuah tulisan di Bangkapos.com yang terbit pada Rabu, 16 Februari 2011. Judul tulisan inipun penulis adopsi dari tulisan di Bangkapos.com karena penulis merasa tertarik dengan judul tersebut yang terlihat sederhana namun sangat bermakna.
Pukul 22:15 WIB, Jum’at (22/03/2013), Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Aceh mengetuk palu sidang Paripurna DPR Aceh. Ketukan palu Hasbi Abdullah tersebut menandakan disahkannya Qanun Aceh tentang Bendera dan Lambang Aceh, sementara di luar gedung DPRA seratusan orang dari Komite Peralihan Aceh dan Partai Aceh tampak antusias menyambut pengesahan ketiga Qanun Aceh khususnya Qanun tentang Lambang dan Bendera Aceh, demikian dilansir oleh The AtjehLink.com.
Ilustrasi. Sumber: dianprimabatam.blogspot.com |
Setelah membaca dan menghayati ucapan Mukhlis Abe, kira-kira apa yang terbayang di fikiran kita sebagai seorang rakyat yang nama kita disebut dan dicatut dalam ucapan Muklis tersebut? Ya…benar! Penulis juga berfikiran seperti anda. Inilah “Politik Atas Nama” yang coba dimainkan oleh para pemangku kekuasaan di negeri ini.
Lantas apa buktinya bahwa pernyataan tersebut sebagai bentuk dari politik atas nama? Sebuah bukti yang menurut penulis paling shahih dan otentik bahwa tidak semua rakyat Aceh sepakat dengan pengesahan bendera bintang bulan sebagai bendera Aceh dan Buraq Singa sebagai lambang Aceh adalah dengan tidak terdengarnya rakyat yang mengaminkan ucapan dari Muklis Abe sebagaimana tersebut di atas. Adapun pengibaran bendera bintang bulan di wilayah Aceh Utara oleh sebagian kecil masyarakat (The Globe Journal/ 23/03/2013) tidaklah menjadi bukti bahwa rakyat Aceh mendukung pengesahan bendera dan lambang tersebut, mengingat rakyat Aceh bukan cuma berada di Aceh Utara, tetapi rakyat Aceh tersebar di 23 Kabupaten Kota.
Bukti lainnya tentang tidak sepakatnya rakyat Aceh terkait pengesahan lambang dan bendera Aceh adalah dengan digelarnya aksi oleh puluhan mahasiswa yang tergabung dalam Gayo Merdeka sebagai bentuk penolakan terhadap Rancangan Qanun (Raqan) Lambang dan Bendera Aceh di depan Gedung DPRA. Aksi tersebut sebagaimana dilansir The AtjehLink berlangsung saat anggota dewan sedang mengadakan rapat pengesahan Raqan Lambang dan Bendera Aceh di Gedung DPRA. Gayo Merdeka menolak pengesahan Lambang dan Bendera Aceh tersebut karena menurut mereka qanun tersebut bisa memecah persatuan Aceh dan bangsa Indonesia.
Sekarang kita balik bertanya kepada pihak eksekutif dan legislatif Aceh, rakyat mana yang mendukung bendera dan lambang Aceh yang telah disahkan oleh DPRA tersebut? Pantaskah DPRA mengatasnamakan rakyat atas sesuatu yang mereka (rakyat) sendiri tidak tahu-menahu tentang penting atau tidaknya lambang dan bendera itu disahkan?
Yang dibutuhkan oleh rakyat Aceh hari ini bukanlah bendera, tapi setumpuk ikan segar untuk mereka masak buat anak-anak mereka yang setiap hari menyumpal perut dengan mie instan plus ikan asin kering yang sudah berlumut. Jika tuan-tuan DPRA ragu dan tidak percaya, silahkan turun ke lapangan dan tanyakan kepada rakyat anda; “wahai rakyat! kamu pilih burak singa atau sepeda butut?” Tentu rakyat akan menjawab bahwa mereka lebih membutuhkan sepeda butut untuk mengantarkan anak-anak mereka ke sekolah, mereka (rakyat) tidak mungkin memilih burak singa yang wujudnya tidak pernah mereka lihat meski dalam mimpi sekalipun. Anda tanya lagi; wahai rakyat! Kamu pilih Wali Nanggroe atau wali yatim?” Tentu rakyat akan memilih wali yatim (baca: bantuan) untuk menafkahi anak-anak mereka yang sampai hari ini masih kekurangan gizi.
Bendera (atas nama) Aceh
Makna dari Bendera Aceh yang diciptakan oleh DPRA adalah; warna merah dasar melambangkan jiwa keberanian dan kepahlawanan, garis putih melambangkan perjuangan suci, garis hitam melambangkan duka cita perjuangan rakyat Aceh, bulan sabit berwarna putih melambangkan lindungan cahaya iman dan bintang putih bersudut lima melambangkan rukun Islam (AtjehLink.com).
Menurut penulis, tentang makna bendera Aceh yang diterjemahkan oleh DPRA tidak penting untuk dikritisi, namun yang butuh perhatian kita adalah tentang bentuk (deskripsi) bendera tersebut yang menurut penulis merupakan sebuah bentuk pemaksaan kehendak untuk melegalkan simbol organisasi tertentu. Adalah tidak benar kalau dikatakan bahwa seluruh rakyat Aceh sepakat dengan bentuk bendera tersebut.
Secara hukum DPRA memang mewakili rakyat Aceh khususnya dalam perumusan lambang dan bendera Aceh. Namun menurut penulis, DPRA hanya mewakili rakyat dalam hal pelimpahan suara dalam pemilihan umum, rakyat menyerahkan mandat kepada wakil-wakilnya untuk duduk sebagai wakil mereka di DPRA. Namun menurut penulis, DPRA belum mampu mewakili rakyat dalam hal aspirasi sehingga lahirlah qanun-qanun yang berseberangan dengan keinginan rakyat.
Diakui ataupun tidak, bendera yang telah disahkan oleh DPRA berpeluang besar memecah belah rakyat Aceh yang baru saja merasakan manisnya damai. Jujur saja, ketika konflik berkecamuk di Aceh, penulis adalah salah satu dari ratusan ribu dan bahkan jutaan orang Aceh yang dengan ikhlas mendukung dan sepakat dengan aksi-aksi yang dilakukan oleh GAM, khususnya dalam hal pembebasan Aceh dari Indonesia. Namun demikian, kita tidak bisa menafikan bahwa ada sebagian kecil rakyat Aceh kala itu yang tidak sepakat dengan GAM sehingga mereka bersedia menjadi informan bagi pemerintah Indonesia. Kita semua tahu, mereka (para mantan informan yang anti GAM) masih ada di Aceh meskipun jumlah mereka sedikit. Jika kita memang sepakat dengan damai dan rindu dengan persatuan rakyat Aceh, maka simbol-simbol yang dapat memecah belah rakyat Aceh harus dihilangkan dan diganti dengan simbol-simbol lain yang mampu mempersatukan rakyat Aceh.
Lambang (atas nama) Aceh
Lambang Aceh berbentuk gambar yang terdiri dari singa melambangkan adat bak Poteu Meureuhom, bintang lima melambangkan rukun Islam, bulan mempunyai arti cahaya iman, perisai melambangkan Aceh menguasai darat, laut dan udara. Selanjutnya rencong melambangkan reusam Aceh, buraq melambangkan hukum bak Syiah Kuala, rangkaian bunga artinya qanun bak Putroe Phang, daun padi arti kemakmuran, jangkar berarti Aceh daerah kepulauan, huruf ta dalam bahasa arab bermakna pemimpin Aceh adalah umara dan ulama yang diberi gelar Tuanku, Teuku, Tengku dan Teungku. Gambar kemudi melambangkan kepemimpinan Aceh berasaskan musyawarah dan mufakat oleh majelis Tuha Peuet dan Tuha Lapan. Semboyan Hudep Beu Sare Mate Beu Sajan dalam tulisan Jawi bermakna kerukunan hidup rakyat Aceh (AtjehLink.com).
Dari kutipan di atas tentang lambang Aceh, penulis tertarik untuk membahas tentang buraq, perisai dan huruf ta. Disebutkan bahwa buraq melambangkan hukum bak Syiah Kuala, menurut penulis ini adalah tafsiran Jaka Sembung yang tidak nyambung. Apa hubungannya antara buraq dengan Syiah Kuala. Jika memang hukum itu disandarkan kepada Syiah Kuala, kenapa gambar buraq tidak diganti dengan foto Syiah Kuala saja? Lagi pula, kapan DPRA berjumpa dengan buraq sehingga faham betul dengan bentuk buraq? Sepanjang pengetahuan penulis, tidak ada seorangpun muslim baik dari kalangan salaf maupun khalaf yang menggambar bentuk burak kecuali orang-orang Yahudi yang sengaja menciptakan gambar buraq dengan bentuk kuda bersayap dan berwajah wanita dengan maksud melecehkan Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wassallam. Tentang bentuk buraq adalah perkara gaib, sebaiknya pihak DPRA (meskipun sudah disahkan) segera bertaubat karena meyakini bentuk buraq tanpa dukungan dalil syar’i dapat merusak keimanan seseorang.
Kemudian perisai, diterjemahkan bahwa Aceh menguasai darat, laut dan udara. Dalam pandangan tauhid terjemahan seperti ini adalah bathil dan sesat bahkan menyesatkan. Yakin dan percayalah bahwa cuma Allah saja yang menguasai dan mengatur jagad raya ini termasuk Aceh. Jika memang benar dengan perisai tersebut Aceh mampu menguasai darat, laut dan udara, kenapa ketika Tsunami Aceh tidak dipakai saja perisai tersebut agar tidak ada masyarakat Aceh yang menjadi korban Tsunami?
Selanjutnya, huruf ta dengan bahasa Arab dilambangkan bahwa pemimpin Aceh adalah umara dan ulama yang diberi gelar Tuanku, Teuku, Tengku dan Teungku. Ini lagi-lagi terjemahan Jaka Sembung yang perutnya Kembung dan sangat tidak nyambung. Dalam bahasa Arab untuk menyebut pemimpin sering dipakai istilah Amir (Umara). Jika memang pemimpin Aceh itu adalah Ulama dan Umara kenapa tidak dilambangkan dengan “Alif berbaris dhammah” saja sehingga dibaca ‘U”, bukannya ta yang jauh panggang dari api.
Demikianlah sekulumit bentuk-bentuk politik atas nama yang dijalankan oleh DPRA demi memuaskan keinginannya tanpa memperhatikan keinginan rakyat dan mengabaikan hak-hak Allah. Kita berharap DPRA dapat bercermin diri sembari memohon ampunan kepada Allah atas kekhilafaannya karena mengatasnamakan rakyat demi melegalkan setiap kebijakannya yang justru berseberangan dengan keinginan rakyat itu sendiri. Wallahu Waliyut Taufiq.
Artikel ini sudah pernah diterbitkan di Atjehlink.com
loading...
Post a Comment