PADAMKAN BARA KONFLIK


Oleh: Khairil Miswar 

Bireuen, 02 April 2012

Ilustrasi
Aksi kekerasan menjelang pilkada 9 April mendatang terus meningkat dan membabi buta. Setelah sebelumnya ketika “calon independen” masih menjadi polemic serangkaian penembakan nampak menghiasai pemberitaan berbagai media massa di Aceh. Salah satu kasus yang masih terbayang dipikiran kita adalah tragedy penembakan terhadap para buruh di Bireuen. Kemudian kasus penembakan masyarakat di Setya Agung Aceh Utara dan serentetan kekerasan lainnya yang terjadi di se antero Aceh.

Gelombang kekerasan di Aceh dari hari ke hari terus meningkat dan kenal henti. Para korban yang menjadi sasaran kekerasan juga bervariasi, dimulai dengan buruh, masyarakat miskin, tim sukses kontestan pemilu dan bahkan anggota DPRK yang notabene adalah mantan anggota Gerakan Aceh Merdeka juga tak luput dari hujaman peluru tajam. Memang tidak ada perang di Aceh, tapi moncong-moncong senjata entah siapa pemiliknya terus mengintai sasaran untuk dijadikan mangsa. 

Aksi terakhir adalah pelemparan batu yang dilakukan oleh massa salah satu kandidat terhadap masyarakat yang akan mengikuti kampanye Irwandi di Landeng Lhoksukon (29 Maret 2012). Sebelumnya di Kabupaten Bireuen yang oleh sebagian orang diklaim sebagai basis kubu Irwandi Muhyan juga terjadi aksi pemukulan dan perusakan mobil yang dilakukan oleh massa salah satu kandidat dan yang menjadi korban adalah tim sukses Irwandi (23 Maret 2012). Aksi pemukulan terhadap tim sukses Irwandi juga terjadi di Lhoksukon Aceh Utara. 

Dalam amatan penulis, tindak kekerasan yang terjadi hari ini di Aceh bukanlah hal baru sehingga tidak lagi membuat masyarakat Aceh terkejut ketika mendengar berita tentang kekerasan tersebut. Seingat penulis, dulu pada pemilukada tahun 2006 yang dimenangkan oleh pasangan Irwandi – Nazar juga sempat terjadi berbagai tindak kekerasan. Bahkan di Kota Matang Glumpang Dua Peusangan salah satu kandidat (Humam Hamid) waktu itu (pilkada 2006) sempat dihujani pukulan yang dilakukan oleh timses kandidat lain. 

Pada pemilu legislatif tahun 2009 juga terekam beberapa aksi kekerasan seperti pengancaman, pemukulan dan juga pembakaran terhadap beberapa kantor milik partai peserta pemilu yang dilakukan oleh OTK. Pada tahun 2011 lalu timah panas juga sempat menewaskan seorang tokoh kombatan GAM di Bireuen yang dikenal dengan nama “Cagee”. 

Ketika itu (tahun 2006 dan 2009) mungkin sebagian dari tokoh politik, masyarakat dan juga penulis menganggap bahwa hal tersebut sangat lumrah terjadi karena Aceh baru saja keluar dari konflik bersenjata selama 30 tahun. Namun sayangnya aksi kekerasan terus berlanjut sampai hari ini. Haruskan kita memakai argument yang sama bahwa Aceh baru saja keluar dari konflik? Rasanya alasan tersebut sudah tidak logis dan kurang relevan untuk dikembangkan dalam konteks Aceh hari ini. 

Melihat situasi Aceh saat ini patut diduga bahwa deklarasi pemilu damai yang dilakukan beberapa waktu lalu hanya menjadi simbol yang miskin makna. Sifat hipokrit yang dimiliki oleh sebagian politisi di Aceh kian nampak jelas didepan mata. Situasi politik yang kian memanas beberapa bulan terakhir juga semakin membulatkan kesimpulan kita bahwa demokrasi di Aceh telah tiada. Demokrasi hanya tinggal tulisan dan ucapan yang keluar dari mulut-mulut politisi hipokrit. 

Aksi kekerasan yang dilakukan oleh para kontestan pemilu di Aceh semakin membingungkan rakyat dalam menentukan pilihannya pada saat pemilu nantinya. Jika sebelum menang saja sudah bersikap arogan, siapa berani menjamin setelah menang nantinya mereka akan mampu memakmurkan rakyat. Sifat haus kekuasaan dan menghalalkan segala cara sepertinya telah membutakan mata dan menumpulkan akal pikiran mereka. 

Jika aksi-aksi kekerasan tersebut dibiarkan begitu saja tanpa ada proses hukum bukan tidak mungkin kekacauan dalam skala besar akan kembali terjadi di Aceh. Pihak Kepolisian dan Pemerintah Aceh yang merupakan perpanjangan tangan dari pemerintah pusat harus sesegera mungkin menyikapi persoalan ini jangan sampai berlarut-larut. Siapapun pelaku kekerasan harus ditindak dengan tegas agar rasa aman yang sedang dinikmati oleh masyarakat Aceh tidak rusak hanya karena ulah sebagian kontestan yang ingin menang sendiri. 

Terlepas apa yang menjadi motif aksi-aksi teror dan kekerasan tersebut yang jelas aksi-aksi kekerasan di Aceh harus segera berakhir. Kita sudah bosan dengan perang dan kekerasan. Jangan sampai aksi-aksi teror yang terjadi selama ini menjadi benih yang dapat merusak suasana damai yang sedang dirasakan oleh masyarakat Aceh. Wallahul Musta’an.

Artikel ini sudah pernah diterbitkan di Harian Pikiran Merdeka


loading...

No comments