Menggugat Mekanisme Dukungan Calon Independen


Oleh: Khairil Miswar

Bireuen, 11 Maret 2012

Meskipun beberapa waktu lalu sempat terjadi polemik panjang tentang keterlibatan calon independen dalam pemilukada di Aceh, namun fatwa Mahkamah Konstitusi (MK) telah memberi angin segar kepada para kandidat yang maju melalui independen dengan dikabulkannya permohonan judicial review terhadap pasal 256 Undang-Undang No. 11 Tentang Pemerintahan Aceh atau yang lazim disebut dengan UUPA. 

Sudah lumrah, yang namanya keputusan hukum tentunya tidak mampu memuaskan semua pihak. Ada pihak yang tersenyum ketika mendengar keputusan tersebut, namun ramai pula yang merasa jengkel dan tidak puas. Hal ini dibuktikan dengan adanya penolakan dari sebagian kalangan dengan cara melakukan lobi-lobi agar keputusan tersebut ditinjau kembali, namun sayang mereka kurang beruntung jika tak mau dikatakan “gagal”. 

Terjadilah apa yang terjadi, para kandidat non partai secara serentak menyalurkan keinginan mereka untuk maju melalui jalur independen. Bagai “uro raya kleng” (istilah yang sulit diterjemahkan), para kandidat secara massal mendeklarasikan dirinya untuk ikut dalam pesta demokrasi yang bernama Pilkada. Langkah pertama yang mereka lakukan adalah melakukan penyerbuan keseluruh pelosok desa untuk mencari dukungan dengan cara mengumpulkan KTP dari masyarakat. 

Layaknya pasukan elit para tim sukses (timses) melakukan gerak cepat menerobos setiap lorong dan jalan setapak, tak perduli jalan berlumpur dan panas menyengat dengan sigap mereka melangkah mencari orang-orang yang bisa diajak bekerjasama untuk mengumpulkan KTP. Tanpa sadar transaksipun terjadi, dari masalah biaya foto copy sampai masalah honor (baca: upah kerja). Transaksi ini sangat wajar dan manusiawi sebab proses pengumpulan KTP bukanlah hal yang mudah, butuh tenaga ekstra untuk menjumpai satu-persatu calon sasaran (baca: pemilik KTP). Kemampuan meyakinkan juga menjadi modal yang tak kalah penting dalam misi ini. Jika tak mampu meyakinkan hampir bisa dipastikan misi ini akan gagal. Jangankan orang cerdas, orang tololpun tidak akan menyerahkan KTP nya sembarangan. 

Salah satu pihak yang diuntungkan secara financial pada musim ini (baca: pengumpulan KTP) adalah pihak penyedia jasa foto copy. Mereka (baca: toko foto copy) kebanjiran order sampai-sampai ada mesin foto copy rusak (macet) akibat kelebihan kapasitas. 

Dalam pandangan penulis, proses memperoleh dukungan melalui metode pengumpulan KTP memiliki beberapa kelebihan sekaligus segudang kelemahan. Diantara kelebihannya antara lain; (1) terjadi interaksi antara tim sukses calon (kandidat) dengan masyarakat yang bisa mempererat silaturahmi diantara mereka, (2) masyarakat bisa mengenal sosok kandidat melalui penjelasan yang diberikan oleh tim sukses pada saat mengambil KTP, (3) para kandidat melalui timsesnya dapat mengetahui respon masyarakat terhadap pencalonan dirinya (baca: kandidat) apakah positif (mendukung) atau negatif (menolak), (4) penyedia layanan foto copy yang selama ini mungkin kekurangan order dan terancam tutup akan terbantu dengan banyaknya KTP yang masuk sehingga mereka (pihak foto copy) bisa bertahan hidup, (5) tim sukses yang selama ini mungkin menganggur bisa terbantu dengan adanya kandidat yang memakai jasa mereka (timses) sehingga mereka bisa memperoleh sedikit tambahan penghasilan melalui honor sekedarnya yang diberikan oleh kandidat, setidaknya cukuplah untuk ngopi dan beli rokok. 

Disamping beberapa kelebihan yang penulis sebutkan diatas, banyak juga kekurangan dari metode pengumpulan KTP yang terjadi selama ini. Diantara kekurangan tersebut; (1) Terjadinya jual beli KTP antara sebagian masyarakat dengan sebagian kandidat. Hal ini terjadi karena sebagian kandidat merasa sulit mendapatkan KTP dari masyarakat, sebagai jalan pintas bisa saja sebagian dari kandidat menawarkan sejumlah uang kepada para pemilik KTP agar mudah mendapatkan KTP, (2) Seorang masyarakat bisa saja menyerahkan KTP untuk semua kandidat dengan alasan tidak enak sehingga terjadi double dukungan antara satu kandidat dengan kandidat lain, (3) Ada sebagian timses yang memanfaatkan isu – isu tertentu untuk mendapatkan KTP secara ilegal, misalnya meminta KTP kepada masyarakat untuk mengurus proposal ataupun rumah bantuan sehingga masyarakat tidak segan – segan menyerahkan KTP kepada mereka (timses) dengan harapan mendapat rumah bantuan, (4) Verifikasi factual yang dilakukan oleh panitia penyelenggara di tingkat desa tidak semuanya berjalan sesuai aturan. Penulis yakin tidak semua panitia di desa bekerja secara professional disebabkan beberapa factor diantaranya factor emosional antara panitia tersebut dengan kandidat. Misalnya ada kandidat yang berasal dari desa A yang maju sebagai calon. Hampir dapat dipastikan bahwa panitia di desa A tersebut memiliki kecenderungan untuk meloloskan kandidat tersebut disebabkan factor satu kampung atau factor keluarga dll, (5) KTP pada dasarnya digunakan sebagai alat bukti dukungan, tetapi kenyataanya orang yang menyerahkan KTP belum tentu mendukung kandidat tersebut sehingga tujuan dasar (sebagai bukti dukungan) menjadi tidak tercapai alias gagal.

Sebenarnya jika diteliti lebih lanjut masih banyak lagi kekurangan – kekurangan lain yang tidak mungkin semuanya kita sebutkan disini. Paparan diatas hanya sebagai gambaran dari beberapa kejadian yang sering kita jumpai dilapangan. Penulis berkesimpulan bahwa metode penggalangan dukungan melalui KTP perlu ditinjau kembali karena sudah tidak efektif dan memiliki segudang kekurangan. Wallahu a’lam.

Artikel ini sudah pernah diterbitkan di Harian Aceh


loading...

No comments