KEZUHUDAN ULAMA MASA LALU DAN KEBINGUNGAN ULAMA MASA KINI
Oleh : Khairil Miswar
Bireuen, 26 September 2013
Syaikh Al-Albani: Sumber: globalwr.blogspot.com |
“Dengan senantiasa berharap agar Allah Swt menambahkan karunianya kepadaku dan menjadikan nikmat ini tidak dicabut hingga kematian tiba, serta mewafatkanku sebagai muslim di atas sunnah yang aku telah bernazar untuk itu, kehidupanku ialah dakwah dan menulis“ (Syaikh Muhammad Nashiruddien Al Al-Bani).
Hati siapa yang tak bergetar mendengar kata-kata bijak yang terucap dari bibir seorang ulama besar yang mati-matian membela sunnah dan hidup dalam kezuhudan. Meski mendapat kecaman dari musuh- musuhnya tetapi beliau tetap sabar dan tawadhu`. Sikap wara` dan akhlak yang mulia membuat beliau selalu dikenang oleh generasi setelahnya. Beliau adalah seorang guru yang selalu dicintai oleh murid-muridnya dan disegani oleh para ulama yang seangkatan dengannya. Dialah Syaikh Muhammad Nashiruddien Al Al-Bani Rahimahullahuta`ala. Dia dilahirkan di Asyquderah (shkodera) Albania pada tahun 1914. Syaikh yang mulia ini dibesarkan di tengah keluarga yang serba kekurangan secara materi, namun sangat kaya ilmu, khususnya ilmu agama. Ayahnya, al-Haj Nuh, adalah lulusan lembaga pendidikan ilmu-ilmu syari'at di ibukota negara kesultanan Turki Usmani. Syaikh Al Bani wafat pada hari Jumat malam tanggal 1 Oktober 1999, di Yordania (dirangkum dari beberapa koleksi buku tentang Al-Albani ).
Beliau adalah sosok ulama yang tidak segan-segan merevisi pendapat ulama-ulama mujtahidin bila berdasarkan pengamatan dan penelitian beliau terdapat kesalahan, khususnya dalam mempergunakan hadis-hadits Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wassallam. Kendati banyak orang yang tidak menyukainya, namun tidak sedikit juga ulama-ulama dan kaum pelajar yang simpati terhadap dakwah beliau sehingga dalam majelisnya selalu dipenuhi oleh para penuntut ilmu yang haus akan ilmu yang sesuai dengan Alquran dan Sunnah.
Terlepas dari kontroversi tentang fatwa-fatwa beliau yang kadang menuai kritikan dari berbagai pihak. Namun dari segi keilmuan khususnya tentang ilmu hadits hampir tidak ada yang mampu menandingi beliau di masanya, demikian pengakuan dari Syaikh Abdul Aziz Bin Bazz dan Syaikh Shalilh Al Utsaimin.
Saya akan mencoba mengulas sedikit tentang sisi kehidupan beliau yang hampir tidak ada bandingannya dengan ulama masa kini. Syaikh Albani dikenal sebagai ulama yang hidup dalam kesederhanaan dan jauh dari kemewahan. Hidupnya dihabiskan untuk belajar dan mengajar khususnya ilmu hadits. Dalam mengajar syaikh ini tidak pernah mengharapkan gaji dan upah. Dia hanya berharap keridhaan dari Allah Subhanahu wa Ta'ala. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya Syaikh yang mulia ini tidak pernah mengharapkan bantuan materi dari manusia apalagi dari pemerintah. Dia menghidupi keluarganya dengan hasil keringatnya sendiri melalui usaha reparasi jam. Dikisahkan Syaikh ini membuka kedainya cuma dua jam dalam sehari, setelah mendapatkan sedikit uang kira-kira cukup untuk makan hari itu dia-pun menutup kedainya dan kembali ke pustaka untuk menela`ah kitab-kitab. Beginilah potret ulama sebenarnya yang sulit kita temukan penggantinya di masa seperti sekarang ini.
Ulama Masa Kini.
Sulit memang untuk menemukan ulama sekarang yang setanding dengan ulama tempo dulu baik dari segi keilmuwan maupun kezuhudan. Penting untuk dicatat, bahwa istilah ulama yang saya maksud dalam tulisan singkat ini lebih menjurus kepada tokoh agama. Artinya orang-orang yang faham dan menguasai ilmu syariat. Bukan ulama “warasatul anbiya” sebagaimana disebutkan dalam hadits Nabi, karena ulama “warasatul anbiya” tentunya akan terjauh dari perilaku-perilaku yang tak elok.
Jika kita telusuri jejak kehidupan ulama-ulama sekarang sangat jauh dengan tuntunan dari Nabi Saw. Ulama (tokoh agama) sekarang hampir mayoritasnya (tidak semua) hidup dalam “kemewahan” dan selalu sibuk dengan urusan duniawi. Kalau ulama dahulu menghabiskan hidupnya untuk belajar dan mengajar, tetapi ulama sekarang sibuk dengan bisnis pribadi masing-masing. Perilaku yang menurut saya sangat memalukan yang dilakukan oleh sebagian oknum ulama sekarang salah satunya adalah kebiasaan mengemis terutama kepada para penguasa yang terjadi di sebagian tempat di Indonesia.
Tentang metode mengemis ini beraneka macamnya, saya ambil contoh di Aceh banyak berkeliaran orang-orang yang berpakaian putih memakai peci membawa mab yang berisi surat permohonan bantuan untuk dayah/pesantren tertentu. Walaupun pada saat ini Pemerintah Aceh sudah mendirikan badan dayah, tetapi perilaku ini masih ada sampai sekarang. Demikian juga di kantor-kantor pemerintahan khususnya di Badan Dayah di Aceh sering kita temui para oknum teungku sibuk dengan proposal, mondar-mandir dari satu ruang keruang lain agar proposalnya segera cair.
Syaih Albani dan Kitab-Kitab Hadits: Sumber: e-discovery.tk |
Menurut hemat saya, jika kebiasaan ini terus dilanjutkan oleh para teungku (oknum ulama) maka kharisma ulama akan hilang di mata umat. Pada akhirnya ulama dan masyarakat awam akan dipandang sama saja oleh umat. Jika syaikh Albani sibuk meneliti hadits dari satu kitab ke kitab yang lain, oknum ulama sekarang malah sibuk meneliti angka-angka yang tertera di budget proposal apakah sudah layak atau perlu ditambah. Sungguh mengherankan dan memalukan. Di mana kezuhudan dan kewara`an yang seharusnya dimiliki oleh para ulama sebagai pemimpin umat?
Giat bergerilya
Gerilya di sini mungkin sedikit meleset dari definisi sebenarnya. Pemandangan ini sudah lumrah dan sering kita saksikan hampir di setiap tempat. Khususnya di Aceh masih banyak kita dapati kotak-kotak amal yang diletakkan di sudut-sudut warung. Dari kejauhan terlihat biasa saja, tetapi jika kita perhatikan akan terlihat tulisan kecil yang sedikit menggelikan hati. Biasanya di kotak tersebut tertulis “bantulah dayah A”. Ini merupakan salah satu strategi gerilya yang dilakukan oleh oknum-oknum ulama sekarang untuk memperoleh belas kasihan dari orang lain.
Kita tentu sudah sering membaca buku-buku biografi ulama-ulama tempo dulu yang menceritakan tentang kezuhudan para ulama. Hampir tidak ada ulama masa lampau yang menggantungkan hidupnya kepada orang lain, apalagi sampai harus mengemis dan meminta-minta, baik kepada masyarakat apalagi kepada para penguasa.
Kita pasti sudah sering mendengar dan tidak asing lagi dengan nama Imam Abu Hanifah An-Nukman, seorang Imam Mujtahid yang pertama sekali meletakkan dasar-dasar ilmu fikih. Beliau hidup pada dua masa kerajaan besar Islam; Bani Umayyah dan Bani Abbasiah. Diceritakan suatu ketika, Khalifah Abu Ja`far Al-Mansur mengundangnya ke istana. Khalifah bertanya tentang banyak persoalan khususnya yang menyangkut dengan agama. Ketika Abu Hanifah bermaksud untuk pulang, Khalifah Al-Mansur menyerahkan sebuah kantong berisi uang 30 dirham. Abu Hanifah berkata; Wahai Amirul Mukminin, saya orang asing di kota Bagdad ini dan tidak punya tempat untuk menyimpannya. Aku titipkan saja uang ini di baitul mal, kelak jika memerlukannya saya akan meminta lagi kepada engkau. Ketika Imam Abu Hanifah wafat, ternyata di rumahnya ditemukan harta titipan orang yang jauh lebih besar daripada pemberian Khalifah. Pada saat khalifah mendengar berita tersebut dia berkata; semoga Allah merahmati Abu Hanifah, dia telah mengelabui kita, dia tidak ingin mengambil sesuatu pun dari kita.
Dikisahkan pula bahwa Imam Abu Hanifah berdagang pakaian untuk memenuhi kebutuhannya. Setiap akhir tahun ia menghitung laba yang ia dapat, lalu menyisihkan sekedarnya untuk mencukupi kebutuhan pribadi. Sisanya ia belikan barang untuk diberikan kepada para penghafal Al-Quran, ahli hadits, ahli fikih dan murid-muridnya (Hepi Andi Bastoni, 2006 ).
Jika kita bercermin kepada kisah ini kira-kira apa yang bisa kita simpulkan? Anda pasti punya jawaban yang bervariasi, bagi yang masih “punya hati”, mungkin akan merasa malu setelah membaca kisah ini, namun tidak sedikit yang berkilah dengan alasan macam-macam. Jika kita bandingkan kisah ini dengan kondisi (oknum) ulama kita masa kini, maka perbedaannya seperti langit dan bumi. Imam Abu Hanifah ketika diberi uang dia menolak, tetapi (oknum) ulama sekarang bukan menolak tapi malah balik meminta ketika si penguasa lupa memberi. Imam Abu Hanifah makan dari hasil usahanya sendiri dengan cara berdagang, kemudian setiap tahun sebagian dari hasil usahanya dia sumbangkan kepada murid-muridnya, tetapi (oknum) ulama sekarang malah mengutus murid-muridnya agar bergerilya mencari dana untuk pembangunan dayah/ pesantren.
Saya bukannya hendak menghina ulama sekarang, tetapi ini adalah fakta yang sering saya temui. Kenapa ulama dahulu semisal Abu Hanifah dan Syeikh Albani mampu hidup tanpa mengemis dan malah rajin bersedekah, sedangkan ulama sekarang hampir setiap tahun sibuk dengan proposal. Jawabannya ada pada diri kita masing-masing. Wallahu `Alam.
Artikel ini sudah dipublikasikan di Kompasiana
loading...
Post a Comment