Antara Polisi Baik dan Polisi Jahat
Oleh: Khairil Miswar
Bireuen, 24 Mei 2013
“Gagah, ganteng, keren dan pemberani”, demikianlah pendapat sebagian orang ketika mereka mendengar nama polisi disebut, namun di sebalik pujian tersebut ada pula sebagian pihak yang menggambarkan polisi sebagai “tukang tilang, kasar, sok pintar, ego dan suka menggertak”. Kedua pandangan di atas jika disatukan maka bisa ditarik benang merah bahwa ada dua model polisi yang lahir dan hidup di tanah air kita Indonesia, yaitu model polisi baik dan model polisi jahat.
Seorang polisi dikatakan baik jika dia “menyadari” bahwa dirinya adalah polisi. Konsekwensi dari rasa sadarnya tersebut adalah dia akan menjalankan fungsinya sebagaimana mestinya. Sebagai pengayom masyarakat dia akan bersikap santun dan ramah; sebagai penegak hukum dia tidak akan melanggar hukum; dan sebagai perwira dia akan menjadi teladan bagi bintara dan tamtama.
Sedangkan seorang polisi itu dikatakan jahat jika dia “hilang kesadaran” alias melupakan fungsinya dan malah menjadi koruptor, gembong narkoba, bandar judi, petugas pungli, pemeras bule (turis) ataupun perampok bank dan tindakan-tindakan melanggar hukum lainnya.
ILustrasi. Sumber: tegalcyber.org |
Jika diukur secara kuantitas, dapat disimpulkan bahwa jumlah polisi baik di Indonesia lebih banyak jika dibanding dengan jumlah polisi jahat yang hanya segelintir saja. Menurut penulis, selama seorang polisi itu tidak terbukti melakukan pelanggaran hukum maka dia harus dimasukkan dalam katagori polisi baik, adapun kejahatan yang dilakukan secara tertutup dan tidak tebukti secara hukum – Wallahu A’lam.
Demikian juga, jika seorang polisi telah terbukti melakukan kejahatan, meskipun dia dikenal sebagai orang baik, tetap saja harus digolongkan ke dalam katagori polisi jahat. Berdasarkan rumus ini, maka lahirlah kesimpulan sebagaimana penulis sebutkan di atas bahwa; mayoritas polisi di Indonesia adalah baik. Namun ramainya jumlah polisi baik tidak akan berarti apa-apa jika mereka justru membiarkan para polisi jahat terus bergentayangan. Bisa disimpulkan bahwa citra kepolisian di mata publik sangat ditentukan oleh baik tidaknya perilaku seorang polisi itu sendiri.
Tragedi Sabang
Serambinews.com (23/05/13) memberitakan bahwa seorang perwira polisi berpangkat Komisaris Polisi (Kompol) membuat geger warga Sabang yang hendak menyaksikan pelaksanaan hukuman cambuk yang digelar di Halaman Masjid Agung Kota Sabang, menjelang shalat Zuhur, Kamis (23/05/2013) siang. Perwira polisi itu datang dengan pengawalan ketat, lalu menurunkan seorang terdakwa judi (maisir) dari panggung, yang merupakan oknum polisi di Sabang. Semua pihak yang ada di lokasi tersebut hanya tercengang dan tak bisa berbuat apapun (http://aceh.tribunnews.com).
Ilustrasi. Sumber: www.kaskus.co.id |
Berpijak pada informasi yang disajikan oleh beberapa media sebagaimana penulis kutip di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Perwira Polisi Sabang yang berpangkat Kompol tersebut masuk dalam katagori “Polisi Jahat” sebagaimana telah disinggung di awal tulisan ini. Perwira tersebut telah hilang kesadaran dan lupa bahwa dirinya adalah seorang polisi yang seharusnya menjadi penegak hukum, bukan malah mencabik-cabik hukum dengan kekuatan yang ia miliki.
Terkait dengan pelaksanaan hukuman cambuk bagi pelanggar Syariat Islam khususnya pelaku maisir (judi) telah jelas diatur dalam Qanun No. 13 tahun 2003. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sikap perwira polisi di Sabang yang telah menggagalkan eksekusi merupakan pelecehan terhadap qanun Syariat Islam, khususnya qanun tentang maisir. Di samping itu pernyataan perwira polisi Sabang bahwa anggota polisi tidak bisa dicambuk dan akan dihukum sendiri oleh pihak Kepolisian adalah pernyataan konyol dan merupakan sebuah bentuk penghinaan terhadap pelaksanaan Syariat Islam di Aceh.
Jika setiap instansi dibenarkan membatalkan eksekusi dan memberi hukuman sendiri kepada anggotanya, lantas akan dikemanakan qanun-qanun Syariat Islam yang ada di Aceh? Jika hal ini dibiarkan maka jangan heran jika suatu saat akan ada kepala sekolah yang menggagalkan eksekusi hanya karena ada guru yang kena cambuk, demikian juga Gubernur, Bupati, Camat dan instansi lainnya juga akan membatalkan eksekusi jika ada anggota atau anak buahnya yang dicambuk. Logikanya, jika memang polisi boleh menggagalkan eksekusi, kenapa instansi lain tidak?
Namun demikian, kita bisa membayangkan jika sekiranya aksi penggagalan eksekusi seperti yang terjadi di Sabang dilakukan oleh seorang tukang becak ataupun masyarakat awam, apa yang akan terjadi? Tentu si pelaku tersebut akan diserang dan diamuk massa, bahkan bukan tidak mungkin si pelaku juga akan dibunuh ataupun dibakar hidup-hidup karena dianggap telah menghina pelaksanaan Syariat Islam. Resiko paling ringan yang diterima oleh pelaku adalah ditangkap polisi dan dijebloskan ke penjara. Tapi, ketika aksi penggagalam tersebut dilakukan oleh seorang perwira polisi, semua pihak (di tempat kejadian) hanya diam membisu dan tidak mampu melakukan apa-apa.
Di samping itu, menurut penulis pernyataan yang disampaikan oleh Kapolres Sabang bahwa aksi tersebut bukanlah pembubaran tetapi terjadi karena kurangnya koordinasi adalah pernyataan yang sama sekali tidak logis dan terkesan buang badan. Jika aksi tersebut dilakukan oleh polisi berpangkat rendah alias bintara atau tamtama mungkin masih bisa dimengerti (bukan berarti membenarkan), tapi anehnya perilaku ini dipraktekkan oleh seorang wakapolres yang seharusnya menjadi contoh bagi anak buahnya.
Kita berharap kepada pihak Kepolisian, khususnya Kapolda Aceh untuk melakukan langkah terbaik agar citra kepolisian yang telah mulai pulih dalam beberapa waktu terakhir tidak lagi tercoreng akibat perilaku segelintir polisi jahat atawa yang dalam istilah Nanan Sukarna disebut dengan “Polisi Brengsek”. Jangan biarkan para polisi di Aceh menggrebeg Syariat Islam. Wallahu A’lam.
loading...
Post a Comment