Narkoba di Aceh

Oleh: Khairil Miswar

Narkoba di Aceh
Ilustrasi: cartoonstock.com


Bireuen, 28 Oktober 2019

Kasus narkoba di Indonesia, meskipun sudah terbilang klasik, namun terus saja menjadi objek pemberitaan media dari masa ke masa. Tidak hanya media nasional yang beredar luas di seluruh pelosok tanah air, tapi juga media lokal dan bahkan media online sebagai sumber informasi alternatif juga turut merilis berbagai peristiwa terkait narkoba, mulai dari konsumen, distributor sampai produsen yang merupakan biang keladi utama bagi eksistensi narkoba di dunia. Berita-berita dimaksud terkait dengan aksi penangkapan, penggeledahan dan bahkan penghukuman terhadap para pelaku.

Di level nasional, kasus terbaru terkait narkoba menimpa seorang pelawak senior di Indonesia, Nunung. Dalam konteks lokal, khususnya perkembangan narkoba di Aceh, beberapa waktu lalu beberapa warga Aceh dikabarkan ditangkap di Bandara Sultan Syarif Kasim Riau karena kedapatan membawa narkoba jenis sabu dengan berat total 4,1 kg. Seperti dirilis acehtribunnews.com (30/06/2019) narkoba tersebut disembunyikan dalam sepatu masing-masing pelaku. Para pelaku kononnya dijanjikan imbalan sebesar 7 juta rupiah untuk melakukan aksinya. Menurut rencana para pelaku, narkoba tersebut akan diselendupkan ke Surabaya. Mirisnya tujuh dari delapan pelaku yang ditangkap tersebut masih berusia remaja.

Baca juga: Kekasih Gelap Itu Bernama Narkoba

Sebelumnya dua orang wanita asal Aceh juga ditangkap di Bandara Hang Nadim Batam. Keduanya juga menyembunyikan narkoba dalam sepatu dengan total 1,032 gram. Pada 2016 lalu, seorang kakek berusia 68 tahun juga ditangkap karena menjual narkoba jenis ganja.

Pada 2018, Kompas (03/09/2018) juga mengabarkan bahwa seorang kakek berusia 63 tahun asal Aceh ditangkap di Sumatera Selatan karena membawa narkoba jenis sabu. Dia mengaku nekat melakukan aksinya karena membutuhkan biaya untuk acara pernikahan anaknya.

Baru-baru ini salah seorang oknum anggota DPRK Aceh Timur dari salah satu partai politik nasional juga diamankan pihak kepolisian karena kedapatan membawa sabu-sabu (Serambi Indonesia, 26/10/2019). Uniknya lagi seperti dicatat sebuah media lokal, bahwa saat ini satu dari seratus pelajar diyakini terlibat narrkoba. Tidak hanya itu, 68% dari 6.400 napi di Aceh saat ini juga tersangkut dalam kasus narkoba, sekitar 75% bisnis narkoba dikendalikan dari balik penjara dan 21 warga Aceh saat ini dituntut hukuman mati karena kasus tersebut.

Baca juga: Jihad Lawan Narkoba

Tidak hanya masyarakat umum, para oknum penegak hukum juga tidak terlepas dari jeratan narkoba. Pada 2011 saja seperti dirilis beritasatu.com, 40 anggota polisi Aceh dipecat karena kasus narkoba. Menurut Kapolda Aceh saat itu, ratusan polisi di Aceh terlibat dalam mengedarkan dan memakai narkoba. Baru-baru ini tiga anggota polisi di Nagan Raya juga dipecat karena narkoba (aceh.antaranews.com/29/05/2019).

Merujuk pada catatan di atas dapat disimpullkan bahwa aksi pelanggaran hukum di Aceh didominasi oleh kasus narkoba. Dengan kata lain, persoalan narkoba di Aceh adalah perkara serius dan mendesak yang harus segera diurus dibanding dengan sejumlah persoalan lainnya.

Narkoba di Aceh dan Motif Pelaku

Sebuah peristiwa baik itu keteraturan atau pun pelanggaran tentunya tidak muncul dengan sendirinya, tetapi diawali oleh rantaian sebab yang kemudian memicu munculnya aksi-aksi dimaksud. Jika keteraturan timbul karena kepatuhan, maka sebaliknya pelanggaran hadir sebagai bentuk penolakan terhadap aturan yang telah disepakati atau minimal ditetapkan oleh otoritas politik, agama atau pun hukum.

Dalam konteks peredaran narkoba di Aceh, jika mengacu pada beberapa informasi yang telah tersaji di awal tulisan ini, maka faktor ekonomi tampaknya menduduki posisi pertama dalam rangkaian motif yang menggerakkan pelaku untuk menjalan aksinya. Hal ini dapat dengan mudah dilacak dari tingginya upah yang didapat oleh para pelaku. Disebut tinggi karena upah tersebut berjumlah puluhan kali lipat dari UMP yang ditetapkan pemerintah. Namun ditinjau dari segi risiko seperti tertangkap, tertembak atau dihukum mati; nilai upah tersebut justru terbilang rendah.

Baca juga: Pemuda Mabuk

Dalam konteks kebutuhan ekonomi, motif itu pun terklasifikasi minimal ke dalam dua level. Pertama adalah motif untuk memenuhi kebutuhan primer yang mendesak seperti kebutuhan makan, minum dan tempat tinggal. Meskipun belum ada riset, namun hampir dapat dipastikan keberadaan motif pada tingkat ini secara kuantitatif terbilang kecil. Kedua, motif untuk pemenuhan kebutuhan yang tidak hanya sekunder tapi juga tersier atau dalam istilah kekinian – kepentingan gaya-gayaan dan kemewahan hidup. Motif disebut terakhir, lagi-lagi meskipun belum ada riset, namun kuat dugaan jika motif dalam level ini menduduki posisi puncak.

Dalam praktiknya dua bentuk kebutuhan (kebutuhan utama dan kebutuhan tambahan/kemewahan) tersebut dapat terpenuhi dengan cepat melalui bisnis narkoba yang terkadang tidak membutuhkan modal besar, tapi hanya cukup dengan modal nekat, khususnya bagi kurir. Seperti halnya berjudi, kesuksesan kali pertama biasanya akan memicu pelaku untuk terus mengulang aksinya di masa mendatang. Kondisi ini turut didukung oleh kenyataan yang dialami oleh beberapa mafia besar, di mana mereka bisa tampil sebagai sosok terhormat dalam masyarakat yang hidup bergelimang harta dan kemewahan.

Gerakan Anti Narkoba di Aceh

Sejauh ini penegakan hukum terhadap para pengguna dan pengedar narkoba sudah sangat serius dilakukan oleh otoritas terkait. Hal ini dibuktikan dengan tertangkapnya sejumlah pengedar narkoba di Indonesia, khususnya di Aceh. Kondisi penjara yang penuh sesak dengan pelaku narkoba juga menjadi bukti paling autentik bahwa penegakan hukum sudah terlaksana dengan baik.

Selanjutnya, pendekatan pendidikan juga sudah dilakukan oleh beberapa pihak dengan melakukan berbagai seminar, pelatihan dan bahkan penyuluhan tentang dampak negatif dari narkoba. Dalam konteks sosiologis berbagai upaya juga sudah ditempuh. Beberapa gampong di Aceh bahkan sudah membentuk satgas anti-narkoba.

Pendekataan keagamaan yang dianggap sebagai “paling ampuh” khususnya di Aceh yang masyarakatnya dikenal religius pun sudah terlaksana dengan baik melalui balai-balai pengajian, khutbah Jum’at dan ceramah-ceramah keagamaan. Namun sayangnya berbagai aksi pemberatasan narkoba yang telah dilakukan di Aceh tersebut belum juga menunjukkan hasil yang memuaskan. Satu pelaku ditangkap, puluhan pelaku lainnya bermunculan. Bahkan aksi ini juga melibatkan orang tua yang sudah sepuh, perempuan dan juga kalangan remaja. Kondisi runyam ini tentunya memerlukan evaluasi dari semua pihak.

Remaja dan Bisnis Narkoba

Keterlibatan remaja dalam bisnis narkoba menjadi penanda betapa suramnya masa depan Aceh. Kita tentu tidak bisa membayangkan bagaimana kondisi Aceh dua puluh tahun yang akan datang jika peredaran narkoba terus bergerak masif. Tentunya kita harus sadar bahwa kondisi yang terjadi hari ini adalah cerminan masa depan. Apa yang disemai hari ini akan dipetik kemudian.

Di tengah kondisi pelik seperti saat ini, orangtua adalah pihak pertama yang harus bertanggung jawab terhadap anak-anaknya agar tidak terjerat dalam jaringan narkoba, baik sebagai pengguna maupun pelaku bisnis. Jika pun generasi “tua” sudah sulit “disembuhkan” maka tugas kita semua, khususnya orangtua adalah melindungi generasi muda agar mereka terbebas dari pengaruh narkoba demi menyelamatkan masa depan Aceh. Wallahul Mus’ta’an.

Artikel ini sudah terbit di Harian Waspada Medan.


loading...

1 comment:

  1. Oakley Titanium Sunglasses - Tintedo Brands
    Tintedo Brands. Oakley 2017 ford fusion energi titanium Titanium Sunglasses. ford focus titanium Description. A microtouch titanium stylish Sunglasses from Tintedo Brands. titanium max trimmer Tintedo Brand is a unique type of Sunglasses, Sunglasses  Rating: titanium earrings sensitive ears 4.5 · ‎34 reviews · ‎$99.99 · ‎In stock

    ReplyDelete