Penulis Tanpa Muka


Oleh: Tin Miswary

Foto: caricatoonzbyjohn


Seperti pemuda kebanyakan. Penampilannya gagah. Pakaiannya rapi, necis pula.

Kemana pun dia melangkah, senyumnya selalu merekah. Seperti bunga-bunga tersiram hujan.

Langkahnya garang, mirip-mirip Che Guevera, gerilyawan Cuba yang terkenal itu. Ketika bicara, suaranya berapi-api, penuh semangat. Meskipun kadang-kadang dibuat-buat agar tampak gagah. Tapi, justru terlihat lucu. Dan dia sadar akan kelucuan itu. Tapi, apa boleh buat, kegagahan lebih penting dari kelucuan.

Dalam tubuhnya mengalir darah bangsawan. Darah raja-raja. Mungkin karena itu ia tampak garang dan penuh percaya diri berhadapan dengan orang-orang kebanyakan. Darah raja Tuan! Darah penguasa yang disegani anak-anak negeri. Darah bukan sembarang darah. Keturunan terhormat. Terkadang gila hormat pula.

Namanya Turki. Unik memang. Nama sebuah negeri yang mengangkangi Asia dan Eropa. Negeri yang pernah berjaya di masa lampau. Dipimpin oleh para khalifah nan perkasa. Menguasai banyak negeri-negeri Asia dan Eropa. Negeri berjasad Eropa, tapi bergaya Asia. Ambiguitas yang menarik.

Tidak begitu jelas, kenapa dia diberi nama Turki oleh orangtuanya. Mungkin karena kekaguman!

Sebagai generasi turunan bangsawan, untuk mempertahankan identitas, dia menggunakan gelar Teuku di pangkal namanya. Jadilah dia Teuku Turki. Double Ti kata anak sekarang, anak modern yang sudah hafal bahasa asing. Anak-anak yang pagi petang ikut kursus dan dipaksa cerdas dalam kurungan literatur yang menjemukan.

Ini zaman sudah modern, raja-raja sudah ditelan bumi. Kerajaan pun tiada lagi. Tapi Teuku Turki tetap saja merasa dirinya sebagai raja. Paling tidak, menjadi raja di hadapan teman-temannya yang sejak dilahirkan tidak   pernah mewarisi darah raja, bermimpi pun tidak.

Seperti kita, tiada hak berbangga, sebab moyang kita bukanlah raja. Atau mungkin, moyang kita dulu hanya budak-budak para raja. Mungkin pula budak dari moyangnya si Turki.

Begitulah takdir berlaku tanpa ada diskusi. Tanpa kita punya andil di dalamnya.

Turki tumbuh dalam keluarga yang tidak kaya dan tidak pula miskin. Sederhana.

Ayahnya Teuku Mahkamah, ibunya Cut Malikah. Turki anak tunggal. Manja dan besar kepala. Apalagi dia tahu dirinya keturunan penghulu negeri. Segumpal keangkuhan adalah warisan utama yang didapatkannya dari Teuku Mahkamah dan Cut Malikah. Keduanya anak bangsawan yang selamat dari perburuan di masa lalu.

******

Di kemudian hari setelah bersekolah tinggi-tinggi, Turki pun tampil sebagai seorang penulis di kotanya. Penulis hebat. Demikian sanjungan teman-temannya. Ketika ia dipuji, mukanya pun bercahaya, bahunya meninggi dan senyumnya meledak.

“Teuku Turki memang penulis hebat,” kata Do Raman suatu hari. “Terima kasih, Do, sebab itu kamu harus banyak membaca,” jawab Turki dengan nada merendah setengah angkuh. Serupa angkuhnya para pencuri uang zakat yang menjual nama Tuhan.

Do Raman bukan keturunan raja. Ayah dan ibunya pun ia tak kenal. Ia besar bersama neneknya. Ada kabar, ayah ibunya ditembak serdadu karena menyembunyikan pemberontak di rumahnya. Peristiwa itu terjadi ketika Do Raman berumur 5 tahun.

Do Raman berteman dengan Turki sejak kecil, menjadi sahabat, meski tak seimbang.

Dalam dua puluh tahun pertemanan mereka, Do Raman hanya menjadi pendengar, sementara Turki tukang hikayat. Turki punya banyak cerita, tentang kemegahan nenek moyangnya dan kesuksesannya menjadi penulis terkenal.

Berbeda dengan Turki, Do Raman lahir sebagai manusia tanpa masa lalu dan belum tentu pula punya masa depan. Neneknya seorang bisu yang ditinggal mati kakeknya. Tidak punya keluarga, tidak ada saudara. Hanya Nek Rakibah  keluarga satu-satunya yang dimiliki Do Raman. Sebab itu, dia tidak punya cerita tentang kemegahan. Dia juga tidak pernah sekolah, tapi bisa membaca.

Turki yang mengajarkannya membaca. Mungkin inilah jasa Turki yang paling besar bagi Do Raman, seorang pemuda berbaju lusuh, bertampang jelek, tapi serius. Do Raman punya cita-cita besar. Ingin jadi penulis terkenal seperti Turki.

“Sulit bagimu untuk bisa menjadi penulis Do,” kata Turki suatu hari. “Lagi pula, kamu tidak sekolah, apa yang mau kau tulis.” “Menulis itu” – sambung Turki, “harus terlebih dahulu banyak membaca, harus punya relasi dengan para redaktur, kalau tidak, mau kau bawa ke mana tulisanmu.”

Do Raman hanya menunduk mendengar ceramah khas ala Turki yang sepintas terlihat bijak, tapi tujuannya hanya untuk membunuh mental pemuda kampung seperti Do Raman.

Turki tidak mau orang yang selama ini menjadi pendengar budiman di hadapannya, suatu saat akan menjelma sebagai tukang hikayat seperti dia. Ini tidak boleh terjadi, gumam Turki dalam hati. Obesesi Do Raman harus dipatahkan sebelum ia tumbuh menjulang.

Do Raman, meski tak sekolah, dia orang yang cerdas. Kalau dia benar-benar belajar, dia pasti mampu. Aku tahu betul tingkat kecerdasan si Do. Lagi pula, aku yang selama ini memberikannya buku-buku untuk dibaca di waktu luang. Aku selalu memaksanya membaca, meskipun di atas pundak kerbau dan di sawah sekali pun. Agar ia tetap menjadi pengagumku. Tentu akan mustahil dia mengagumiku, tanpa mampu membaca tulisan-tulisanku.

Turki terus bergumam tanpa suara.

Sambil matanya melirik-lirik dan tangan menyentuh dagu, Turki terus saja bergumam dalam hati. Do Raman masih saja menunduk, mungkin malu, atau mungkin pula marah cita-citanya teradang oleh ceramah Turki yang terkesan sok tahu.

“Tapi aku akan mencoba,” sahut Do Raman tiba-tiba sambil menatap wajah Turki. “Ya sudah, habiskan kopi, aku mau balik ke kota,” jawab Turki dengan wajah murung sambil berdiri memanggil penjaga warung. Ada kekecewaan besar di wajah Turki. Si Do Raman, pendengar budiman paling taat sudah mulai melawan!

Dengan mengendarai mobil yang baru dibelinya setahun lalu dari hasil menjual buku-buku, Turki pun beranjak pergi, tanpa mengucapkan salam seperti biasa. Tinggal Do Raman sendiri menyeruput sisa kopi yang rasanya semakin pahit. Sepahit kata-kata Turki, guru sekaligus sahabatnya yang selalu berlagak layaknya tuan besar.

Jam dinding bundar berkaligrafi Arab di pojok kedai Bang Li menunjukkan pukul lima sore, Do Raman pulang. Marah bercampur dendam mengiringi langkah Do Raman yang semakin lama semakin cepat.

*****

Lima tahun berselang, tulisan pertama Do Raman terbit di sebuah harian lokal bertajuk “Penulis Tanpa Muka.”

Turki yang telah menggapai sukses dan menjadi penulis terkenal di kotanya juga ikut membaca tulisan perdana Do Raman. Sampai tulisan itu habis dilahapnya, dia tidak tahu jika tulisan menusuk itu hasil karya sahabatnya yang selama ini menjadi tukang dengar hikayat si Turki.

Tapi, rasa penasaran di benak Turki tidak bisa ia tutupi. Ia kembali membaca ulang tulisan yang dirasakannya menusuk ulu hati.

Siapa Teuku Abdul Rahman? Tanya Turki pada diri sendiri. Seperti ia tahu betul tentang diriku. Apa dia si Do Raman yang memang pernah bercita-cita jadi penulis? Tidak mungkin.

Kepala Turki pun dipenuhi keraguan. Ia mencoba mendebat diri sendiri. Tidak mungkin Do Raman. Dia bukan keturunan bangsawan. Dia bukan teuku. Ini orang lain yang memata-matai diriku selama ini. Tapi…

*****

Keesokan harinya, Turki bergegas kembali ke desa tempat ia dilahirkan. Turki menghabiskan waktu 5 jam untuk bisa sampai rumah orang tuanya. Setelah berbasa basi sejenak bersama ibu-bapanya, Turki pun menuju kedai Bang Li, tempat ia biasa berhikayat bersama Do Raman.

“Ada si Do?” Sambil menyaring kopi dengan sebelah tangan terangkat ke atas dan ketiak terbuka lebar, Bang Li menjawab dengan suara sedikit parau: “Si Do sudah tidak di sini lagi.” “Sejak kapan,” tanya Turki penasaran. “Sejak kau tinggalkan lima tahun lalu,” sahut Bang Li sambil mendekat ke arah Turki.

“Kira-kira satu minggu sejak kau tinggalkan, neneknya, Mawa Rakibah meninggal. Sempat beberapa hari si Do singgah di kedaiku ini. Katanya dia akan merantau ke seberang. Ke Malaysia.”

Mendengar informasi dari Bang Li, Turki pun terduduk layu. Dia tidak menjawab sepatah kata pun. “Mau kopi,” sela Bang Li. “Ya kopi susu,” sahut Turki sambil menarik batangan rokok dari sakunya.

Semburan asap rokok membumbung tinggi ke udara. Tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya. Sepi! Sunyi! Senyap! Larut dalam diam. Bisu sebisu-bisunya. Do Raman, si pendengar hikayat paling setia telah pergi. Ada kesedihan di mata Turki, tapi ia sembunyikan.

Diperamnya rasa itu. Bukankah dia harus tetap gagah. Seorang penulis terkenal tidak boleh lesu. Harus bersemangat!

Jangan-jangan memang dia Teuku Abdul Rahman, penulis cerpen Penulis Tanpa Muka. Sebab itulah mungkin dia meninggalkan kampung agar aku tidak bisa lagi menjumpainya.

Turki mulai tertuju pada tujuan utamanya mencari Do Raman. Hendak menanyakan kepastian tentang tulisan “Penulis Tanpa Muka” – yang sepertinya ditujukan bagi si penulis terkenal itu.

Kenapa dia begitu marah padaku? Sampai menyebut diriku sebagai penulis tanpa muka. Turki mulai menyidik diri sendiri.

Tulisan itu begitu menusuk. Setidaknya demikianlah yang dirasakan si Turki, penulis terkenal yang selalu tampak angkuh di hadapan teman-temannya. Tapi, Turki tetap saja larut dalam kebimbangan. Tidak dapat dia pastikan apakah Teuku Abdul Rahman itu benar-benar si Do Raman, atau mungkin orang lain?

Kembali Turki membuka potongan Koran dari saku celanannya. Dibacanya kembali paragraf terakhir tulisan itu. Dalam guntingan Koran itu tertulis:

“Di hadapan orang yang tak mengenalmu, kau tampil layaknya jawara yang serba tahu. Tulisan-tulisanmu disambut sorak-sorai oleh mereka-mereka yang sepertimu. Tanpa rasa malu engkau menjilati kehendak ramai. Agar tulisan-tulisanmu dipuji, tak segan engkau menjadi oportunis munafik menjijikkan. Kau jual agamamu! Kau gadaikan darah bangsamu! Demi sebuah nama besar. Tidak ada satu prinsip pun kau junjung. Tiada satu nilai pun kau pegang. Tulisan-tulisanmu memang bergelora – apologetia dan syahdu tidak pada tempatnya…penulis terkenal! Kau tak lebih dari penulis tanpa muka.”

Paragraf terakhir cerpen pembawa sial karya Teuku Abdul Rahman benar-benar membuat Turki merasa terhina. Diremasnya Koran lusuh itu. “Berengsek!"

Bireuen, 05 Desember 2017

Sudah terbit di Harian Serambi Indonesia


loading...

1 comment:

  1. Untuk mempermudah kamu bermain guys www.fanspoker.com menghadirkan 6 permainan hanya dalam 1 ID 1 APLIKASI guys,,,
    dimana lagi kalau bukan di www.fanspoker.com
    WA : +855964283802 || LINE : +855964283802 ||

    ReplyDelete