Orde Lawak

Oleh: Khairil Miswar

Foto: leicestermercury.co.uk

Bireuen, 22 November 2017

Selama 72 tahun kemerdekaannya, Indonesia telah melalui beberapa orde kepemimpinan politik. Di awal usia pertumbuhannya, Indonesia dipimpin oleh para revolusioner dan mantan pejuang yang kemudian dikenal sebagai Orde Lama. Dalam Orde ini, pekik nasionalisme dan syair-syair revolusi masih terus berdendang memekakkan telinga. Maklum, negara baru tumbuh dan bangkit dari cengkeraman kolonialisme.

Di bawah naungan Orde Lama yang identik dengan sosok Soekarno, Indonesia terus bergerak di tengah kemelut pemberontakan dari beberapa kelompok politik semisal PKI, RMS dan Darul Islam. Namun demikian, seperti dicatat A. Suprijatna (1987) dalam buku Bung Karno Milik Kita Yang Abadi, Soekarno telah sukses menumbuhkan sikap dan perasaan kebersamaan di benak seluruh elemen bangsa.

Pada masa itu, diskriminasi tentang ras dan agama sama sekali tidak terdengar. Namun demikian, sebagai sebuah kepimpinan politik, orde ini juga sempat mewariskan serpihan-serpihan luka bagi anak bangsa.

Pasca ambruknya Orde Lama setelah gerakan kudeta 1965, Orde Baru di bawah kendali Soeharto pun menancapkan kekuasaanya di Republik ini. Soeharto yang oleh pengagumnya digelari sebagai Bapak Pembangunan telah sukses menjalankan pemerintahan ala militeristik selama 32 tahun.

Goenawan Mohammad (1985) dalam pengantarnya di buku Mengapa Kami Menggugat, menulis bahwa Soeharto adalah pemimpin terlama dalam sejarah Indonesia, bahkan sejarah Nusantara. Di masa Orde Baru, kebebasan berekspresi menjadi barang langka dan pers pun terbelenggu, tidak bebas bergerak. Bahkan, lembaga-lembaga pers yang semestinya independen, seperti dicatat Goenawan juga tidak berfungsi sama sekali sebab ketua Dewan Pers. secara otomatis dirangkap oleh Menteri Penerangan yang notabene adalah perangkat penguasa.

Selama 32 tahun kepemimpinan militeristik represif yang diterapkan Soeharto, telah banyak luka yang mengguris hati anak bangsa di beberapa pelosok negeri. Aceh dan Papua adalah dua daerah yang menjadi saksi aksi-aksi militeristik ala Soeharto. Namun di sebalik itu, pada masa Orde Baru, kondisi sosial politik, keamanan dan ekonomi di permukaan tampak terkendali. Pemerintahan berjalan tertib tanpa kegaduhan karena semua perangkat negara terkontrol ketat oleh penguasa dengan pola sentralistik.

Dengan bangkitnya “perlawanan semesta” dari seluruh pelosok Indonesia melalui berbagai aksi demonstrasi plus kerusuhan di beberapa daerah, akhirnya Orde Baru pun tumbang.

Keruntuhan Orde Baru menjadi awal bergulirnya semangat reformasi. Cita-cita reformasi ini kemudian terimplementasi melalui pemerintahan selanjutnya di bawah kendali Gusdur, Megawati dan SBY selama dua periode.

Lawak

Secara umum, khususnya dalam pemerintahan SBY, stabilitas nasional cukup terkendali dan bahkan konflik panjang GAM-RI di Aceh pun dapat terselesaikan secara beradab.

Namun demikian, dalam periode ini, potensi “lawak” yang dimainkan oleh oknum politisi dan oknum perangkat negara telah mulai muncul. Di antara kasus yang paling mengemuka adalah “cicak versus buaya” yang melibatkan KPK dan Polri.

Pasca “lengsernya” SBY, perjalanan Orde Reformasi terus dilanjutkan oleh Joko Widodo yang sukses memenangkan pertarungan politik pada Pilpres 2014 lalu. Di bawah kepemimpinan Jokowi, publik dihadapkan pada rupa-rupa fenomena sosial politik dan “tragedi hukum” yang menggelikan, baik dari kubu loyalisnya sendiri, maupun dari pihak “oposisi” yang sampai saat ini terus melakukan berbagai “gerakan” kritik dan pressure atas segala tindakan dan kebijakan Jokowi.

Dalam periode kepemimpinan Jokowi saat ini, gerakan lawak ala “politisi” semakin liar tak terkendali. Kondisi serupa ini cukup mengkhawatirkan semua pihak, di mana hukum menjadi lelucon di hadapan oknum politisi-politisi “badut” yang telah bercerai dengan rasa malu.

Kasus terbaru dan terheboh “abad” ini sebagaimana telah kita lihat – dilakoni oleh oknum Ketua DPR-RI, Setya Novanto. “Tragedi tiang listrik” yang diperankan Novanto telah melahirkan “kemuakan nasional” di kalangan publik. Dan, opera lawak ala Novanto ini bukan yang pertama. Sebelumnya, ia juga sempat menghadirkan kelucuan yang tak patut ketika dirawat di sebuah rumah sakit, di mana alat-alat medis yang dipergunakan telah pula membuat publik tertawa terpingkal.

Tidak hanya itu, ulah Setya Novanto juga telah mengurung kita dalam keheranan massal, di mana terkesan ada pembiaran terhadap trik-trik “lawak” yang dimainkan Novanto.

Baru-baru ini, Novanto dikabarkan tertidur pada saat dilakukan pemeriksaan. Akibatnya, ocehan publik pun menggelinding liar dengan menyebut cita-cita Novanto menuju amnesia akan segera terwujud.

Praktik-praktik lawak tak bermutu yang diperankan Novanto telah membuat hukum kehilangan wibawa. Secara tidak langsung, gerakan lawak serupa ini juga telah memunculkan kesan diskriminatif dalam penegakan hukum, di mana pelanggaran hukum yang dilakukan oleh oknum politisi semakin sulit disentuh dan perangkat hukum pun seperti “terkecoh” dengan lenggak-lenggok lawak politisi.

Novanto yang menurut kabar terindikasi terlibat dalam praktik korupsi telah membuat publik terguris hatinya. Ironisnya lagi, secara psikologis, tidak hanya Novanto – para koruptor di negeri ini telah sengaja menari-nari dalam penderitaan publik. Meskipun tanpa reaksi, publik sudah terlihat lelah dengan sikap koruptor yang saban hari mencuri uang rakyat. Luka dalam diam adalah kata yang paling tepat untuk menggambarkan suasana batin rakyat Indonesia saat ini.

Kondisi ini persis dengan syair kepedihan dari rakyat Rajputana, India, tempo dulu yang hidup di bawah merajalelanya rentenir, seperti disitir Hazil dalam Biografi Nehru (1950): “Kami jang mengenal kau, hai lintah darat. Mengetahui segala isi lubuk hatimu keparat. Kau hisap darah rakjat dengan tiada disaring dahulu. Tapi, ingatlah, kau tak dapat minum melulu.”

Sebagai rakyat yang terus hidup di bawah bayang-bayang koruptor tentunya kita sepakat dengan syair ini. Koruptor adalah rentenir kapitalistik abad modern yang senantiasa mengisab darah rakyat tanpa henti.

Di akhir tulisan ini, kita hanya bisa berharap agar praktik lawak para koruptor segera berakhir. Untuk itu pemerintah harus menunjukkan kembali wibawanya di hadapan para pencoleng uang negara. Jika tidak, maka bukan tidak mungkin kepemimpinan politik periode Jokowi-JK akan dicatat sebagai Orde Lawak.

Artikel ini sudah terbit di Harian Waspada Medan



loading...

1 comment:

  1. Untuk mempermudah kamu bermain guys www.fanspoker.com menghadirkan 6 permainan hanya dalam 1 ID 1 APLIKASI guys,,,
    dimana lagi kalau bukan di www.fanspoker.com
    WA : +855964283802 || LINE : +855964283802 ||

    ReplyDelete