Lidah Manusia adalah Alarm Perang


Oleh: Khairil Miswar

Foto: wattpad.com


Bireuen, 02 Februari 2018

Thomas Hobbes seperti dikutip Madung (2013) dalam bukunya Filsafat Politik, menyebut bahwa “lidah manusia adalah alarm perang dan sekaligus terompet provokasi.” Dalam konteks kekinian, apa yang dikatakan Hobbes ini bisa kita saksikan sendiri saban hari. Gejolak sosial sering kali diawali oleh tidak bijaknya mulut dan lidah manusia dalam mengeluarkan statemen. Akibat pernyataan-pernyataan bernada “provokatif” dan sindirian-sindiran lepas kontrol, akhirnya reaksi publik pun meledak dan tak terbendung.

Baru-baru ini, seperti dirawi oleh sejumlah media, Kapolri (mungkin oknum?) telah mengeluarkan sebuah pernyataan yang tidak hanya “ahistoris”, tapi juga menjadi pemantik emosi publik. Gelombang protes pun merebak liar menyisir beranda-beranda media sosial. Kecamanan pun mengalir deras dan “menghantam” sang Kapolri yang mungkin “keseleo lidah.”

Seperti dikutip tempo.co (01/02/18), Kapolri dalam pidatonya yang tersebar luas via media sosial mengimbau kepada jajaran kepolisian untuk melakukan kerjasama dengan ormas Nahdatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah sebab kedua ormas tersebut adalah pendiri negara. Sementara ormas lain justru berpeluang merontokkan negara. Dalam pidatonya tersebut, Kapolri juga menegaskan bahwa NU dan Muhammadiyah adalah ormas yang tetap konsisten sampai saat ini.

Terlepas pidato ini disampaikan secara tertutup, atau pun dianggap sudah “kedaluarsa”, tapi yang jelas statemen semacam ini tentunya akan menjadi “blunder” di kemudian hari.

Menyembunyikan informasi di zaman android seperti saat ini sama saja seperti orang menyembunyikan durian, semakin disembunyikan maka baunya pun akan semakin menyebar.

Jangankan pidato yang didengar oleh khalayak, perkembangan tetasan es di Antartika pun dengan mudah saja bisa diakses oleh publik melalui perangkat android. Dengan demikian, Kapolri tidak perlu bersikap apologis atas ketergelincirannya.

Adapun pembelaan sebagian kalangan yang menyebut penyebaran pidato Kapolri tersebut tidak tepat jika diterjemahkan dalam konteks hari ini merupakan pembelaan yang tidak tepat. Dibicarakan dalam konteks kapan pun, pernyataan tersebut tetap saja terkesan menafikan keberadaan ormas selain NU dan Muhammadiyah. Dengan demikian, lumrah saja jika kemudian beberapa ormas mengajukan keberatan atas pernyataan yang terkesan “tidak menghargai” keberadaan dan peran ormas lain.

Aksi keberatan di antaranya datang dari Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) yang menyebut pernyataan Kapolri telah memberi kesan bahwa hanya ormas NU dan Muhammadiyah yang mendapat “legitimasi” dari negara, khususnya dari pihak Kepolisian (republika.co, 31/01/18). Menyikapi gerakan protes dari beberapa ormas, akhirnya seperti dirilis beberapa media, Kapolri pun menyampaikan permohonan maafnya.

Komunikasi Bijak

Dedy Mulyana (2005) menyebut bahwa komunikasi yang efektif adalah komunikasi yang hasilnya sesuai dengan harapan pesertanya (pendengar). Menyimak keterangan dari Mulyana ini, maka pola komunikasi yang dilakoni oleh Kapolri beberapa waktu lalu terbilang cukup efektif, sebab pernyataan yang disampaikannya (tampaknya) sesuai dengan harapan para hadirin. Tapi, komunikasi yang efektif belum tentu bijak, apalagi jika hanya dilatari oleh kehendak pendengar yang terbatas dan “menafikan” kehendak masyarakat luas.

Dalam bukunya, Mulyana juga menyebut bahwa setiap orang memiliki gambaran berbeda mengenai realitas di sekelilingnya. Dan, masih menurut Mulyana, ketika data yang kita peroleh dari penginderaan tidak lengkap, maka dalam kondisi ini, persepsi merupakan loncatan langsung pada kesimpulan. Berpijak pada teori ini, maka gejolak yang muncul akibat pernyataan Kapolri dapat dipahami sebagai loncatan persepsi pada kesimpulan, di mana sebagian kalangan langsung memberikan penilaian final, bahwa Kapolri telah “menafikan” keberadaan ormas selain NU dan Muhammadiyah.

Kesimpulan sebagian kalangan ini dapat dimengerti sebab mereka tidak memiliki akses informasi yang memadai terkait pernyataan Kapolri. Hal ini ditambah lagi dengan kondisi rekaman pidato tersebut telah lebih dahulu dipotong sehingga publik tidak dapat menyerap informasi yang utuh. Namun demikian, kesimpulan dan persepsi publik ini tidak dapat disalahkan sebab pernyataan tersebut tersebar dalam kondisi masyarakat yang sensitif pasca maraknya aksi-aksi umat Islam akhir-akhir ini.

Sementara itu, sampai saat ini belum diketahui secara pasti tujuan dari pernyataan Kapolri tersebut. Apakah statamen tersebut hanya untuk memuaskan pendengar, atau memiliki tujuan-tujuan tertentu. Dugaan ke arah ini tentunya masih terbuka lebar.

Dalam kajian komunikasi politik seperti disebut Dan Nimmo (2005), dikenal istilah retorika demonstratif yang bertujuan memperkuat baik buruknya seseorang atau lembaga tertentu. Dalam retorika demonstratif ini, seorang pembicara biasanya menggunakan berbagai argumen untuk memperkokoh keberadaan lembaga tertentu dan dalam waktu bersamaan dimaksudkan untuk menafikan peran dari person atau pun lembaga lainnya. Dan semoga saja, pernyataan Kapolri beberapa waktu lalu tidak termasuk dalam kategori ini.

Polri sebagai insitusi negara tidak sepatutnya mengeluarkan pernyataan yang dapat memicu ketegangan publik, meskipun dalam pertemuan-pertemuan terbatas sekali pun. Meskipun NU dan Muhammadiyah merupakan ormas terbesar di Indonesia, tidak lantas kemudian “menafikan” peran dari ormas lainnya. Idealnya, Kapolri dapat menciptakan suasana kondisif agar ormas-ormas di Indonesia dapat bersinergi dalam menjaga keutuhan NKRI, bukan justru saling berbenturan sehingga energi bangsa terus terkuras.

Adapun terkait keberadaan ormas-ormas radikal yang disebut-sebut bisa mengancam keutuhan NKRI, pihak kepolisian harus melakukan identifikasi secara cermat guna menghindari klaim yang tidak berbasis data. Hal ini penting diperhatikan sehingga pola generalisasi dapat dihindari sedini mungkin.

Di akhir tulisan ini kita juga berharap agar Kapolri dapat menjadi inisiator terciptanya komunikasi bijak sehingga stabilitas nasional tetap terjaga. Komunikasi bijak ini sekaligus akan menjadi alat kontrol agar lidah kita tidak lagi menjadi “alarm perang” dan “terompet provokasi” seperti disinggung Hobbes.

Artikel ini sudah diterbitkan Harian Waspada Medan 


loading...

2 comments:

  1. Untuk mempermudah kamu bermain guys www.fanspoker.com menghadirkan 6 permainan hanya dalam 1 ID 1 APLIKASI guys,,,
    dimana lagi kalau bukan di www.fanspoker.com
    WA : +855964283802 || LINE : +855964283802 ||

    ReplyDelete