Kekerasan Massa

Oleh: Khairil Miswar

Sumber: change.org

Bireuen, 08 Agustus 2017

Erich Fromm (2015), dalam bukunya yang fenomenal, The Anatomy of Human Destructiveness, menyatakan bahwa manusia dapat dikuasai oleh dorongan membunuh dan menyiksa. Bahkan manusia memiliki nafsu untuk membunuh. Manusia – masih menurut Fromm, adalah binatang yang mampu membunuh dan menghancurkan spesiesnya sendiri tanpa alasan yang masuk akal. Fromm juga memastikan bahwa agresi jahat merupakan ciri khas manusia dan bukan berasal dari insting binatang.



Penjelasan vulgar yang disajikan Fromm di atas, meskipun sebagiannya terbukti secara empiris, tapi teori tersebut tidak sepenuhnya benar. Artinya, teori-teori yang dikemukakan psikolog psikoanalisis asal Jerman ini masih layak diperdebatkan. Dalam banyak hal, pemikiran Fromm sendiri terbentuk melalui ragam pengalaman yang dialami dalam kehidupannya.

Menyebut agresi jahat sebagai ciri khas manusia tentunya tidak bisa diterima begitu saja, meskipun dalam kenyataannya banyak ditemui manusia-manusia jahat yang berperilaku sadis layaknya “binatang.” Tapi menjadikan sebagian kenyataan empiris ini sebagai sebuah kesimpulan absolut adalah tidak tepat.

Dalam perspektif Islam misalnya, menyebut agresi jahat sebagai ciri khas manusia adalah bertentangan dengan teks-teks suci, baik dalam Alquran maupun Al-Hadits. Dalam Islam, dinyatakan bahwa setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah. Artinya, setiap anak yang dilahirkan memiliki potensi kebaikan – bukan justru keburukan. Islam mempertegas bahwa dalam perkembangan selanjutnya, kondisi anak manusia ini akan ditentukan oleh lingkungannya.

Kondisi lingkungan inilah – khususnya melalui pendidikan, kepribadian seorang anak manusia akan terbentuk. Jika si anak hidup dalam lingkungan baik, maka potensinya untuk menjadi baik akan lebih besar. Demikian pula sebaliknya, seorang anak yang dibesarkan dalam lingkungan buruk dan minus pendidikan – dalam perkembangannya akan tampil sebagai sosok yang buruk pula.

Kekerasan

Sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin, Islam menolak perilaku kekerasan yang tidak pada tempatnya – tidak hanya terhadap manusia, tetapi juga terhadap hewan sekali pun.

Untuk menyembelih hewan qurban saja, dianjurkan menggunakan pisau yang tajam agar tidak menyakiti. Bahkan dalam perang sekali pun, Islam tidak mengenal perilaku sadisme yang melanggar batas-batas kemanusiaan.

Akhir-akhir ini, kekerasan demi kekerasan semakin masif terjadi di berbagai pelosok negeri. Sebagiannya bernuansa politis dan sebagian lainnya dilandasi pada alasan-alasan teologis (agama). Munculnya manusia-manusia berigas yang menjadikan kekerasan sebagai satu-satunya cara penyelesaian masalah semakin memperburuk wajah dunia. Bagi manusia-manusia beringas, nilai-nilai kemanusiaan hanya sebatas konsep mati nan abstrak yang tertera di buku pelajaran. Dan nafsu amarah telah mendorong mereka untuk terus menebar kerusakan di muka bumi.

Baru-baru ini, Indonesia dihebohkan dengan sebuah tragedi pilu yang menimpa seorang anak manusia di Bekasi. Media mengabarkan, seorang pria berusia 30 tahun tewas dihakimi karena dituduh mencuri di sebuah musalla. Massa yang telah tersulut amarah syaitaniyah – melalui video yang beredar – terlihat melakukan tindakan sadis dan biadab. Pria tersebut dibakar hidup-hidup oleh massa hanya karena sebuah dugaan yang belum terbukti. Akhirnya, pria yang baru saja melaksanakan shalat di musalla tersebut harus kehilangan nyawa di tangan insan-insan biadab nan beringas.

Tragedi ini tidak hanya mengguncang rasa kemanusiaan insan beradab, tapi telah pula menyisakan luka panjang bagi keluarga yang ditinggalkan. Tidak hanya luka, tapi keluarga yang ditinggalkan juga akan mengalami trauma berkepanjangan. Korban meninggalkan seorang istri yang sedang mengandung enam bulan dan seorang bocah yang terus menerus menangis memanggil ayahnya.

Tentu tidak ada satu dalil pun yang dapat digunakan untuk menjustifikasi tindakan biadab ala “barbar” ini. Tindakan brutal ini tidak hanya mendobrak prinsip-prinsip humanisme, tetapi juga ditentang oleh agama manapun. Jika pelaku tindakan sadis ini seorang muslim, maka di akhirat nanti dia akan berlabuh ke dalam lubang neraka yang menganga.

Jika diselisik, tindakan brutal terhadap tertuduh pencuri bukan kali ini saja terjadi. Ada banyak sekali kasus yang tidak semuanya terekspos media. Di sebagian tempat, pola-pola kekerasan massa ini seperti “dibiarkan”, tanpa ada upaya serius dari aparat penegak hukum untuk melakukan pencegahan. Selalu saja massa bergerak lebih cepat, sebelum aparat hukum tiba di lokasi.

Dalam kondisi tertentu, muncul kesan bahwa pola-pola kekerasan massa ini telah dianggap sebagai sebuah fenomena yang wajar. Bahkan, ada segelintir massa yang memosisikan diri sebagai pahlawan sehingga keberingasannya semakin memuncak di tengah tepuk tangan para pendukungnya.

Menurut Hardiman (2005), “masyarakat yang tidak mempersoalkan kekerasan sudah kehilangan keberadabannya.” Apa yang disampaikan Hardiman ini tentunya layak direnungi – karena kekerasan massa adalah sebuah perilaku yang dapat merusak peradaban. Dalam dunia yang beradab, segala bentuk kekerasan ini tentunya tidak dapat diterima, karena ianya adalah sisa-sisa perilaku “primitif” yang sudah semestinya ditinggalkan.

Secara fitrah, manusia tidak mungkin membunuh dan menyiksa sesama manusia. Tapi, dalam kenyataannya, manusia-manusia miskin nalar justru menjadi pemangsa dan pembunuh terhadap sesamanya. Hal ini dilakukan dengan cara memposisikan korban kekerasan sebagai sosok “yang lain” agar mudah dilenyapkan.

Dalam melakukan kekerasan, seperti dijelaskan Hardiman – para korban kekerasan dipersepsi sebagai sosok lain yang terasing. Bahkan dalam kondisi tertentu, korban didehumanisasikan sehingga hanya menjadi objek. Artinya, korban kekerasan tidak lagi dianggap sebagai manusia, tetapi telah dipersepsikan menjadi musuh yang harus dihancurkan.

Dengan munculnya persepsi ini di kalangan massa, maka pola-pola kekerasan akan terus berlansung. Tidak ada rasa bersalah, karena yang dibunuh dan dibakar bukan lagi manusia, tapi hanya seorang pencuri. Tanpa disadari, persepsi desktruktif ini juga telah menjadikan para pelaku sebagai sosok “yang lain” – seorang pemangsa dan pembunuh.

Mengakhiri tulisan ini, kita mengajak semua pihak untuk tetap menghargai hukum dan tetap menjaga nilai-nilai kemanusiaan – sebagai garis pembeda antara kita dan hewan.

Artikel ini sudah terbit di Harian Waspada Medan

loading...

1 comment:

  1. Untuk mempermudah kamu bermain guys www.fanspoker.com menghadirkan 6 permainan hanya dalam 1 ID 1 APLIKASI guys,,,
    dimana lagi kalau bukan di www.fanspoker.com
    WA : +855964283802 || LINE : +855964283802 ||

    ReplyDelete