Aneuk Pusue

Oleh: Khairil Miswar 

Banda Aceh, 04 Februari 2016

Ilustrasi
Sumber Foto: citizenimages.kompas.com

Nampaknya saya tidak perlu berpanjang-panjang kalam apalagi berputar-putar pada istilah. Semakin panjang semakin bosan, semakin memutar semakin bingung. Langsung saja ke pokok persoalan. Bagi masyarakat Aceh Pantai Timur nampaknya sudah paham betul dengan judul ini. Untuk kawasan Pantai Barat Selatan, saya tidak tahu apakah mereka memakai istilah yang sama atau berbeda. Yang jelas, aneuk pusue ini jika dimelayukan atawa diindonesiakan akan memiliki makna yang serumpun dengan anak ketapel (pusue = ketapel), lebih kerennya peluru ketapel yang berasal dari batu-batu kecil.

Pusue biasanya dibuat dari potongan pohon yang berbentuk huruf ‘V” alias kaye meujeuramphak (terbelah). Atau bisa juga dibuat dari batang pohon berbentuk bulat yang kemudian di pahat membentuk huruf “V”. Untuk pelontar, kami biasa menggunakan karet hitam yang biasa digunakan untuk mengikat barang. Bisa pula dari potongan ban dalam sepeda motor. Bisa juga menggunakan pentil (puntei) ban sepeda. Kadang-kadang kami juga menggunakan karet kecil-kecil yang warna-warni itu. Karet-karet itu kami “sulam” (sambung) sehingga kuat. Untuk neuduek aneuk (selonsong peluru) biasa kami gunakan kulit sepatu rusak atau pun karet yang agak lebar.

Bagi kami di Pantai Timur, pusue ini biasa kami gunakan untuk “menembak” si burung pipit (tuloe) di sawah ketika musim padi tiba. Kami juga menggunakan pusue untuk menembak tupai-tupai yang mengganggu kelapa atau pun boh pisang yang ada di kebun. Kalau lagi marah, kami juga menggunakan pusue untuk membuat benjol kepala “lawan-lawan” kami, tapi itu dulu ketika kami masih pakai “celana pendek.” Bagi masyarakat kampung yang belum tersentuh “modernisasi”, pusue merupakan salah satu senjata ampuh untuk melakukan perlawanan atau pun sebagai alat mempertahankan diri. Memang tidak ada riwayat yang mencatat bahwa aneuk pusue itu mematikan, tetapi meskipun demikian aneuk pusue ini mampu membuat lawan-lawan kita kecut nyali, karena takut kepalanya benjol. Lihat saja bagaimana tentara-tentara Israil itu ketakutan dengan batu-batu kecil yang dilempar oleh pejuang Palestin.

Saya kira beberapa baris pengantar di atas sudah memadai untuk menjelaskan tentang aneuk pusue, baik dari segi ontologis, epistimologis dan aksiologis (kurang lebih begitu). Selanjutnya, saya akan mengajak siapa pun yang bersedia membaca tulisan ini untuk memahami filosofi aneuk pusue dalam pengertian metaforis.

Filosofi Aneuk Pusue

Ayah saya pernah berpesan kepada saya: “bek sagai-sagai kapeuget droe keu aneuk pusue gop” (jangan sekali-kali kamu menjadi anak ketapel orang). Pesan ini tentunya tidak bisa dipahami secara tekstual, karena ia akan melahirkan pengertian yang “menyesatkan.” Aneuk pusue yang dimaksud di sini bermakna metaforis. Tapi, saya tidak tahu apakah pesan ini masuk dalam katagori hadih maja atau tidak, tersebab banyak hadih maja yang tidak saya hafal. Jika ia masuk maka masuklah, jika tidak maka tidaklah, sebab ia bukan substansi yang perlu kita diskusikan.

Dalam tulisan sederhana ini, saya akan coba menafsirkan filosofi aneuk pusue ini dalam konteks kekinian. Namun sebelumnya, perlu juga dijelaskan bahwa aneuk pusue di sini memiliki makna yang hampir serupa dengan “kambing hitam” atau “kelinci percobaan” atau pun “korban” dalam pengertian yang tidak disadari oleh pelakunya. Artinya, menjadi aneuk pusue berarti menjadi “kambing hitam”, “kelinci percobaan” atau “korban” yang kita sendiri tidak sadar akan posisi kita tersebut. Singkatnya, agar tidak bingung (saya tidak suka membuat orang bingung), aneuk pusue adalah orang-orang yang sudah “terhipnotis” untuk melakukan sesuatu yang tidak disadarinya sehingga akhirnya merugikan dirinya sendiri.

Dalam konteks politik, kita melihat ada tim sukses kandidat yang rela melakukan apapun untuk memenangkan calon yang diusungnya. Tanpa segan-segan dia mengkampanyekan janji-janji politik yang kadang-kadang tidak rasional kepada masyarakat. Kadang-kadang si timses ini juga tidak segan-segan melakukan “teror” agar idolanya mendapat kekuasaan. Tapi apa yang terjadi? Setelah idolanya duduk di kursi empuk, si timses ini justru memakai siloep situek (sandal dari pelepah pinang), padahal dulu dia telah menabur banyak janji kepada masyarakat, ternyata untuk membeli silop jeupang (sandal jepit) untuk dirinya saja dia tidak mampu. Bahkan pasca kampanye terkadang si timses ini juga dikejar-kejar hutang, sedangkan idolanya yang sudah duduk di “puncak” dengan santai saja berkata: “kapreh ile anggaran golom cair” (tunggu dulu dana belum cair). Si timses ini tidak sadar kalau dirinya telah dijadikan aneuk pusue oleh “tuannya”.

Filosofi aneuk pusue ini juga berlaku pada gerakan oknum aktivis (mengaku diri sebagai aktivis). Kita tentu sering melihat aksi-aksi demonstrasi yang katanya dimotori oleh aktivis “ini-itu”, tetapi isu yang diangkat justru bertolak belakang dengan kemaslahatan rakyat banyak dan terkadang justru melakukan justifikasi terhadap “kedhaliman” penguasa. Dengan “pongahnya” para aktivis gadungan ini menjual nama rakyat dan bahkan melelangnya dengan harga murah. Kita juga sering mendengar istilah “demo tandingan”, di mana massa satu kepentingan dipaksa berhadapan dengan massa kepentingan lain, sedangkan “tuan” kedua massa ini hanya menyimak dari udara. Mereka hanya mencermati berbagai kemungkinan, untuk kemudian melepas diri dan memutus rantai sanad dengan massa yang telah dijadikannya sebagai aneuk pusue. Ketika aktivis gadungan dan “massa bayaran” gagal menjalankan aksinya, maka si tuan tinggal berkata goodbye! Lagi-lagi aneuk pusue yang harus menanggung beban.

Saya rasa, dua contoh di atas sudah cukup untuk memahamkan kita akan makna aneuk pusue. Dalam segala situasi, aneuk pusue akan selalu menjadi korban dan ia dijadikan sebagai raket bak pisang oleh tuannya. Sedangkan yang meraup keuntungan hanyalah “ma pusue” alias pemilik ketapel. Dalam konteks pusue bit-bit alias ketapel benaran, kita tentu sudah melihat sendiri, tidak ada satu pun pemilik ketapel yang peduli dengan aneuk pusue alias batu-batu kecil yang telah dihempaskan, entah di sawah, di pohon atau pun di hutan. Tidak ada seorang pun dari mereka yang akan “memungut” batu-batu kecil itu. Satu batu terbang, ia akan mencari batu yang lain. Akhirnya, aneuk pusue akan terpinggir dalam kesendirian. Tidak kamu patis silahkan dicoba. Wallahu Waliyut Taufiq.[]

Artikel ini bisa juga diakses di khairilmiswar.com
loading...

No comments