Saya, Pena dan Mesin Tik


Oleh: Khairil Miswar 

Bireuen, 09 Februari 2015

Ilustrasi Mesin Tik. Sumber: aktualpost.info




Menurut cerita dari orang tua, sebelum masuk sekolah, saya sudah bisa membaca dengan lancar. Saya masuk sekolah dasar (Madrasah Ibtidaiyah) pada tahun 1987. Saya lahir pada tahun 1981, jadi saat masuk sekolah, usia saya baru enam tahun. Jika benar cerita orang tua saya, artinya saya sudah bisa membaca latin dan Arab (Alquran) sebelum usia enam tahun.
Sebelum sekolah, saya juga sudah dilatih oleh ayah saya untuk menghafal pelajaran bahasa Arab, seperti isim dhamir dan juga wazan fi’il. Berkat latihan yang diberikan ayah tersebut, saya berhasil mendapat nilai 9 pada pelajaran bahasa Arab di MTsN dan MAN. Hal ini pula yang mendorong saya untuk kuliah di jurusan bahasa Arab Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ar-Raniry. Namun sayang, karena satu dan lain hal, saya tidak dapat menyelesaikan kuliah di jurusan tersebut. 

Apa yang telah diberikan oleh ayah ketika saya masih kecil, sekarang saya praktekkan kembali pada anak saya. Alhamdulillah anak saya yang pertama sudah bisa membaca latin dan Alquran sebelum usia sekolah. Sekarang anak saya sedang menempuh pendidikan dasar di kelas 1 di SD Islam Terpadu Muhammadiyah, Bireuen. Alhamdulillah, puji syukur kepada Allah, saat ini (masih kelas 1) anak saya hampir menamatkan hafalan juz ‘amma. 

Ayah dan ibu saya (almarhumah) berprofesi sebagai guru. Ayah saya pernah menjadi guru di sekolah PGA (Pendidikan Guru Agama) dan juga guru Bahasa Arab di MAN Peusangan, Bireuen. Setelah menjabat sebagai kepala KUA Peusangan beberapa lama, beliau diangkat sebagai kepala seksi Urusan Agama Islam di Kantor Departemen Agama Aceh Utara (sekarang Kemenag). Ayah saya mengakhiri karirnya (pensiun) sebagai pengawas Pendidikan Agama Islam di Kemenag Bireuen sekira tahun 2007. 

Sama halnya seperti ayah, almarhumah ibu saya juga seorang guru. Ibu saya mengabdi sebagai guru (PNS) di beberapa sekolah. Tempat tugas beliau terakhir di SDN Balee Stui Peusangan, Bireuen. Ibu saya pensiun dari guru pada tahun 2012. Setelah pensiun, beliau menderita sakit (komplikasi) dalam waktu yang lumayan lama. Ibu saya meninggal dunia selepas azan shubuh, pada tanggal 08 Januari 2015, sekira pukul 06.00 WIB di RS PT. Arun NGL, Lhokseumawe. Allahmummagfirlaha warhamha.

Mulai Menulis

Seorang teman pernah bertanya kepada saya, “kapan kamu mulai menulis?” Ketika pertanyaan ini dihadapkan kepada saya, saya balik bertanya kepada teman saya tersebut. “Maksudnya menulis yang bagaimana?”. “Menulis atau menulis?” Menurut saya, pertanyaan seperti ini memang harus dipertegas dan diperjelas agar tidak menimbulkan salah paham. Masalahnya begini, saya sering membaca pengakuan beberapa penulis yang sengaja dicantumkan di blog pribadi mereka. Ketika membaca beberapa pengakuan penulis blog, terkadang saya merasa “geli sendiri”. Betapa tidak, sebagian mereka ada yang mengaku sudah menulis sejak SD (sekolah dasar), dan bahkan ada yang lebih “ekstrim” mengaku sudah mengenal dunia kepenulisan pada usia 5 tahun. Hebat sekali! Teriak saya dalam hati, ketika membaca pengakuan-pengakuan yang menurut saya irasional tersebut. Hal ini-lah yang membuat saya tidak langsung menjawab pertanyaan teman saya di atas.

Ilustrasi anak-anak belajar menulis
Jika yang dimaksud adalah menulis dalam arti yang sebenarnya, yaitu merangkai huruf-huruf menjadi kata dan menyusun kata menjadi kalimat sederhana. Maka saya akan menjawab, bahwa saya sudah bisa menulis sejak sebelum sekolah (usia 5 tahun). Pada saat sekolah di MIN, saya sudah lancar menulis kalimat-kalimat menjadi paragraf. Saya juga menulis setiap pelajaran yang diberikan oleh guru saya. Menulis dalam katagori ini, tidak hanya terbatas pada huruf dan tanda baca, tapi saya juga menulis angka-angka dalam matematika dan juga menulis potongan-potongan kata dalam bahasa Arab. Tentunya saya tidak akan disebut sebagai penulis, hanya karena mampu menulis kata, kalimat dan angka-angka seperti di atas.

“Menulis seperti ini-kah yang di kamu maksud?” Tanya saya kepada teman saya. Teman saya menjawab: “bukan, tapi menulis karangan”. Kalau pertanyaannya menulis karangan, seperti artikel, opini, cerpen atau puisi, maka saya akan memberikan jawaban yang berbeda. 

Saya mulai menyukai dunia kepenulisan pada saat saya belajar di MTsN Matangglumpangdua (1993-1996). Pada jam belajar bahasa Indonesia, Pak Jafar – guru saya, sering memberikan tugas mengarang kepada siswa-siswanya. Pak Jafar juga menceritakan kisah-kisah para penulis novel dan roman, seperti HAMKA dan Motinggo Busye yang merupakan sastrawan tersohor. Beliau juga mengenalkan kami pada beberapa karya sastra di Indonesia, seperti puisi-puisi Chairil Anwar. Puisi “Aku Binatang Jalang” adalah puisi pertama yang berhasil saya hafal, meskipun saya tidak berani tampil untuk membaca puisi tersebut di depan kelas. Dari cerita-cerita Pak Jafar ini-lah saya “menaruh cinta” pada dunia kepenulisan.

Foto Hamka. Sumber: dinastyilmiawan.blogspot.com
Sejak saat itu-lah saya mulai menulis puisi-puisi ala remaja di buku catatan yang saya beri judul khusus “Puisi Khairi Miswar”. Namun demikian, saya tidak pernah bercita-cita ingin menjadi seperti Chairil Anwar, penyair legendaris itu. Saya hanya mencintai tulisan, dan tidak berminat menjadi penyair yang dengan “gagah” membaca puisi-puisinya yang penuh mimik di depan publik. Saya juga menulis puisi di album-album foto pribadi dan buku harian. Namun sayangnya, buku puisi-puisi saya waktu sekolah di MTsN sudah tidak diketahui rimbanya. Pada saat kuliah di Banda Aceh, buku tersebut saya tinggalkan di kampung.

Kecintaan saya pada kepenulisan terus berlanjut pada saat saya sekolah di MAN Peusangan (1996-1999). Sama seperti di MTsN, saya menulis hanya untuk koleksi pribadi, tidak pernah terbesit di pikiran saya untuk mengirimkan puisi-puisi tersebut ke koran atau majalah remaja.

Foto Chairil Anwar. Sumber: id.wikipedia.org
Pena dan Mesin Tik 
Pada saat masih sekolah di MTsN dan MAN, ketika ada ide yang muncul, saya langsung menulisnya di buku catatan atau buku harian. Untuk menulis puisi dan dan cerpen, saya memiliki pena khusus yang diberikan oleh ayah saya. Pena (balpoint) yang saya pakai untuk menulis saat itu bermerek “Hero”. Kelebihan pena ini, tulisannya tebal dan hitam pekat. Apabila tintanya habis, bisa langsung di isi ulang. Selain menggunakan pena Hero, saya juga punya kebiasaan untuk mengetik tulisan-tulisan tersebut menggunakan mesin Tik milik ayah yang disimpan di atas lemari. Saya menggunakan mesin Tik tanpa sepengetahuan ayah. Pada saat pulang sekolah, saya menggunakan kesempatan untuk mengetik tulisan sebelum ayah pulang dari kantor.

Waktu itu, saya sempat mengetik habis sebuah tulisan berjudul “Ramdas” yang berjumlah 15 halaman pada kertas ukuran kuarto buram yang berwarna agak kekuningan, milik ayah saya. Tulisan ini mengisahkan tentang seorang lelaki India Kleng bernama Ramdas yang memeluk Islam di kampung saya. Dia datang ke kampung saya bersama istri dan tiga anaknya. Oleh ayah saya, Ramdas dan istrinya di-syahadatkan dan memeluk Islam. Setelah memeluk Islam, nama Ramdas di ganti menjadi Anwar. Karena sudah menjadi kebiasaan orang Aceh, suka memplesetkan nama orang, seperti Ismail yang dipanggil Ma’e, Syama’un menjadi Ma’un, Ya’kub menjadi Mak Akob, dll. Akhirnya nama Anwar juga mengalami nasib yang sama dan berubah menjadi Bang Nuw’ek. 

Foto Motinggo Busye. Sumber: id.wikipedia.org
Lagi-lagi, sayang sejuta kali sayang, tulisan tentang Bang Nuw’ek ini telah musnah terbakar pada saat saya kuliah di Banda Aceh. Rumah saya di Darussalam dan puluhan rumah kos lainnya hangus dilalap api pada masa konflik pada tahun 2002. Tidak hanya “Novel Ramdas” yang terbakar, tapi seluruh isi rumah, pakain dan catatan saya ikut terbakar. Tragisnya lagi, ada sekitar 60 buku bacaan (tentang agama dan bahasa Arab) milik ayah yang saya angkut ke Banda Aceh juga tinggal kenangan dan telah menjadi abu. Yang berhasil saya selamatkan saat itu hanyalah album foto yang berisi foto-foto saya waktu di kampung. Waktu itu saya berpikir untuk menyelamatkan foto terlebih dahulu, karena kalau foto sempat terbakar, tidak akan bisa diganti dengan foto lain, seperti foto pada saat masih bayi, tidak mungkin saya bisa berubah menjadi bayi lagi untuk difoto kembali. 

Bagi saya, fotografi dan tulis-menulis adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Pada saat sekolah di MTsN saya sudah memiliki tustel pribadi yang saya beli dari hasil menjual telur ayam seharga 150 ribu, bermerek Cannon. Sayangnya, tustel saya ini juga ikut terbakar. Saya juga punya kebiasaan mendengar musik pada saat menulis. Ide untuk menulis, banyak muncul pada saat saya mendengar musik bernuansa melayu. Sayangnya, kaset lagu Malaysia yang berjumlah hampir 100 lebih juga ikut terbakar, tidak berhasil saya selamatkan. Kaset-kaset itu juga saya beli dari hasil menjual telur ayam di kampung.

Mendaftar di Jurusan Bahasa dan Sastra

Kegemaran menulis yang terus memuncak pada saat sekolah di MTsN dan MAN, akhirnya mendorong saya untuk mendaftar kuliah di FKIP Unsyiah Banda Aceh melalui tes UNPTN, jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia pada tahun 1999. Satu bulan sebelumnya, saya juga mendaftar kuliah di Jurusan Bahasa Arab IAIN Ar-Raniry. Pada saat yang sama saya juga mendaftar kuliah di Program Diploma Dua Pendidikan Guru Madrasah Ibidaiyah (PGMI) IAIN Ar-Raniry. Alhamdulillah, syukur yang tak terhingga kepada Allah, saya lulus di tiga jurusan tersebut. Namun, kegembiraan yang tadinya memuncak berubah menjadi kebingungan (istilah sekarang galau). Saya menjadi bingung untuk kuliah di mana.

Di antara puisi yang tersisa
Kadang-kadang jadi malu membacanya
Setelah berkonsultasi dengan ayah, akhirnya saya memutuskan untuk kuliah di Jurusan Bahasa Arab IAIN Ar-Raniry dan di jurusan Diploma Dua PGMI, juga di IAIN. Dengan sangat terpaksa, saya “meninggalkan” jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Ada dua hal yang menjadi pertimbangan saya saat itu. Pertama, bahasa Arab adalah bahasa asing yang sulit dipelajari tanpa guru, sedangkan bahasa Indonesia, bisa dipelajari melalui buku-buku tanpa perlu bantuan guru. Kedua, selain memilih jurusan bahasa Arab, saya juga memilih kuliah di Diploma Dua PGMI dengan alasan saat itu banyak dibutuhkan PNS dari jurusan tersebut. 

Alhamdulillah pada tahun 2001 saya berhasil menyelesaikan kuliah di Diploma Dua PGMI, dan syukur yang tak terhingga kepada Allah pada tahun 2003, saya lulus PNS dengan ijazah tersebut. Pada saat itu, kuliah saya di bahasa Arab belum selesai dan terpaksa non aktif, karena saya harus bekerja di Bireuen.

Menerbitkan Tulisan

Meskipun saya sudah menyukai dunia kepenulisan sejak MTsN (tahun 1993), namun saya tidak pernah menerbitkan tulisan saya di media manapun. Bahkan pada saat kuliah di Banda Aceh, saya juga sering menulis di komputer rental, datanya saya simpan di disket dan flash disk. Meskipun sudah mengenal komputer sejak tahun 1999, saya baru memiliki komputer sendiri pada tahun 2004, saat saya sudah menjadi PNS. 

Catatan lama yang tersisa
Pada saat itu (1993-2006), saya belum memiliki rasa percaya diri untuk menerbitkan tulisan di media. Namun demikian, selama tahun 2006-2008 – melalui organisasi Jeumpa Mirah, saya sering menulis press rilease (siaran pers) untuk saya kirimkan ke beberapa media lokal. Siaran pers tersebut berisi protes dan juga sikap lembaga kami (Jeumpa Mirah) terhadap berbagai kebijakan pemerintah, khususnya di Aceh. Pada tahun 2009, saya juga sering menulis siaran pers serupa atas nama Partai SIRA Bireuen (salah satu partai lokal di Aceh) guna menyikapi berbagai kekerasan politik yang terjadi di Aceh. Kebetulan waktu itu, saya sebagai ketua Dewan Pimpinan Wilayah Partai SIRA di Kabupaten Bireuen. Sampai dengan tahun 2010, saya baru sebatas mengirimkan tulisan ke media berupa siaran pers, bukan tulisan dalam bentuk artikel atau opini.

Pada tahun 2007, saya memang pernah mencoba mempublikasikan dua artikel di media internal organisasi (SIRA). Saat itu di Bireuen sedang berlangsung Pemilihan Bupati (Pilbup). Artikel pertama yang saya publikasikan berjudul “Bireuen dan Hembusan Angin Surga”, dimuat di Tabloid SUWA yang dikelola oleh rekan saya, Taufik Al-Mubarak. Artikel kedua berjudul “Demi Nurdin, Rafli pun Menangis”, saya publikasikan di www.sirareferendum.org (media milik Sentral Informasi Referendum Aceh). Setelah itu, saya tidak pernah lagi mengirimkan tulisan ke media mana pun.

Puisi di Album foto
 Baru pada tahun 2011, saya kembali mencoba mengirimkan tulisan ke media. Tulisan pertama yang saya kirimkan berjudul “Percikan Noda di Sorban”, diterbitkan pada 1 Februari 2011 di Harian Aceh yang kebetulan salah seorang redakturnya adalah teman saya, Taufik Al-Mubarak. Setelah itu, keinginan untuk mengirimkan tulisan ke media semakin kuat. Alhamudillah, puluhan tulisan saya diterbitkan di kolom Opini dan kolom Analisis Harian Aceh selama dua tahun (2011 dan 2012). Sayangnya, pada pertengahan tahun 2012, Harian Aceh tidak lagi terbit. Saat itu saya sempat “berkabung”. Bagi saya, Harian Aceh telah memberikan motivasi yang sangat luar biasa kepada saya untuk terus menulis. 

Pada pertengahan tahun 2012, saya mulai mengirimkan tulisan ke Harian Pikiran Merdeka (terbit di Aceh). Saat itu, beberapa tulisan saya juga berhasil diterbitkan di Harian Pikiran Merdeka. Sama halnya dengan Harian Aceh, Harian Pikiran Merdeka yang salah satu pengelolanya adalah wartawan senior, Ariadi. B. Jangka, hanya mampu bertahan satu tahun dan akhirnya tidak lagi terbit. Ketika dua Harian lokal tersebut sudah tidak lagi terbit, saya sempat “kecewa”. Saya sempat berpikir, apakah saya harus berhenti menulis? Buat apa menulis, kalau tidak diterbitkan? Pertanyaan-pertanyaan ini terus menghantui saya.

Walaupun aneh, beginilah model tulisan saya waktu itu
Akhirnya – meskipun sempat ragu, saya mencoba mengirimkan artikel ke media Serambi Indonesia. Artikel pertama saya tidak dimuat, saya sempat kecewa. Setelah beberapa kali mencoba, akhirnya tulisan saya untuk pertama kalinya terbit di kolom Opini Harian Serambi Indonesa, dengan judul “Akai Beulanda”, pada 07 Juli 2012. Tidak hanya di Serambi, saya juga mencoba mengirimkan tulisan ke Harian Waspada Medan yang terbit di Sumatera Utara. Alhamdullah, untuk pertama kalinya, artikel dengan judul “Fenomena Atheisme dan Komunisme di Indonesia” terbit di kolom opini Harian Waspada Medan pada 08 AGustus 2012.

Akhirnya, semangat saya untuk menulis kembali memuncak. Sejak juli 2012 sampai sekarang (2015), beberapa tulisan saya berhasil terbit di Harian Serambi Indonesia, Harian Waspada Medan, Majalah Santunan, Tabloid Modus dan beberapa media online lokal seperti Atjehpost.co, AtjehLink.com, Acehtraffic.com dan Theglobejournal.com. Beberapa tulisan saya juga sempat terbit di hidayatullah.com. Namun sayangnya, tulisan saya baru terbit di media lokal dan sampai sekarang saya belum pernah mengirim tulisan ke media Nasional, seperti Kompas dan Republika. Insya Allah, saya akan terus mencoba.

Menulis Buku

Selain menulis artikel untuk media, pada tahun 2011-2012 saya juga sempat menulis sebuah naskah buku tentang Aceh. Karena isinya dianggap sedikit “kontroversial”, beberapa penerbit menolak naskah saya. Pada tahun 2013 saya juga telah menyelesaikan satu naskah buku lagi, tapi kedua naskah tersebut belum diterbitkan. Sampai sekarang (2015), saya masih mencari-cari penerbit, jika tidak ada penerbit yang bersedia, insya Allah akan saya terbitkan sendiri.

Saya mengakui, bahwa tidak semua orang, khususnya di Aceh, sepakat dengan isi tulisan saya, namun hal tersebut tidak akan menghalangi saya untuk terus menulis. Jika Allah panjangkan umur saya, Insya Allah saya akan terus menulis, menulis dan menulis. Bagi saya, menulis adalah ibadah! Wallahu A’lam. 

*Maaf tulisan ini sedikit panjang dan tidak teratur. Hanya ingin berbagi pengalaman saja.

Tulisan ini sudah dipublikasikan di Kompasiana
loading...

1 comment:

  1. Alhamdulilah... Abang mengenang dengan baik sang guru, saya suka alenia ini>> Saya mulai menyukai dunia kepenulisan pada saat saya belajar di MTsN Matangglumpangdua (1993-1996). Pada jam belajar bahasa Indonesia, Pak Jafar – guru saya, sering memberikan tugas mengarang kepada siswa-siswanya. Pak Jafar juga menceritakan kisah-kisah para penulis novel dan roman, seperti HAMKA dan Motinggo Busye yang merupakan sastrawan tersohor. Beliau juga mengenalkan kami pada beberapa karya sastra di Indonesia, seperti puisi-puisi Chairil Anwar. Puisi “Aku Binatang Jalang” adalah puisi pertama yang berhasil saya hafal, meskipun saya tidak berani tampil untuk membaca puisi tersebut di depan kelas. Dari cerita-cerita Pak Jafar ini-lah saya “menaruh cinta” pada dunia kepenulisan.>> [saya sangat mengenali guru bahasa Indonesia yang bang Khairil Miswar sebutkan Pak Jafar, BELIAU AYAH SAYA, he he he maaf sedikit sentimental.... sangat menyentuh perasaan ketika orangtua saya dikenang orang. Terimakasih. Insya Allah menjadi ilmu yang bermanfaat, amin].

    ReplyDelete