Tipologi Khatib di Aceh


Oleh: Khairil Miswar 

Bireuen, 24 Januari 2014

Rasanya, anak kecil pun tahu bahwa menjadi khatib adalah sebuah profesi yang sangat mulia. Khatib ibarat sebuah lentera yang memancarkan cahaya untuk menerangi kegelapan yang melanda hati umat. Menjadi seorang khatib bukanlah hal mudah, tidak cukup dengan “bin salabin abra kadabra”. Seorang khatib tidak dilahirkan begitu saja, tetapi harus diciptakan melalui usaha yang giat. Untuk menjadi seorang khatib dibutuhkan ketekunan dan keseriusan dalam memahami sendi-sendi agama.

Secara sederhana istilah khatib dapat dimaknai sebagai orang yang menyampaikan khutbah. Dalam kehidupan sehari-hari, tentunya kita sudah sangat familiar dengan istilah khatib. Orang yang menyampaikan khutbah Jumat disebut khatib Jumat, demikian pula dengan orang yang menyampaikan khutbah hari raya disebut dengan khatib hari raya. Setidaknya kedua khatib tersebut sudah cukup dikenal di Aceh, meskipun pada prinsipnya pemakaian istilah khatib tidak hanya terbatas pada dua momen tersebut saja.

Setelah menyimak dan menganalisis gerak dan gaya khatib di Aceh dewasa ini, kiranya penulis dapat menyimpulkan bahwa secara garis besar ada tiga macam khatib yang menjalankan aktivitasnya di dunia ini, khususnya di Aceh. Mereka adalah khatib rupiah, khatib provokator dan khatib lillahi ta’ala. 

Pertama, khatib rupiah. Mereka adalah orang-orang yang berpofesi sebagai khatib dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi alias kebutuhan dapur. Biasanya khatib rupiah ini belajar ilmu agama dengan tujuan untuk menjual ayat-ayat Tuhan dengan harga murah. Mereka juga tidak segan menggadaikan hadits-hadits Nabi untuk meraup rupiah. Dalam melakukan aksinya, khatib rupiah ini sering tidak konsisten dan memposisikan diri secara dinamis sesuai dengan permintaan komunitas tertentu. Tujuannya agar keberadaan sang khatib bisa diterima oleh semua pihak. Jika dia berkhutbah di komunitas yang doyan maulid, dia katakan bahwa maulid hukumnya sunat. Sebaliknya, pada saat dia berkhutbah di komunitas yang anti maulid, dia katakan maulid itu haram. Kebenaran dalam pandangan khatib rupiah ini hanyalah kebenaran pragmatis, sesuai dengan rupiah yang mengalir ke saku celananya. Dalam menjalankan aksinya, khatib rupiah hanya mempertimbangkan aspek ekonomis.      
Kedua, khatib provokator. Mereka adalah orang-orang yang terganggu jiwanya dan merasa alergi melihat persatuan kaum muslimin. Mereka belajar ilmu agama hanya sebagai bahan untuk berdebat dan melecehkan orang lain. Dengan meniru gaya filosof, para khatib provokator tidak pernah berpikir untuk menyampaikan kebenaran kepada umat, tapi mereka hanya berusaha bagaimana caranya memenangkan perdebatan. Pola pikir seperti ini diadopsi dari para filosof dan pemuja akal yang berpangkal pada pemikiran Yunani.

Ilustrasi: Syakh Al-Qardhawi sedang Berkhutbah
Sumber: www.dakwatuna.com
Dalam berkhutbah di atas minbar, para khatib provokator hanya memperbincangkan masalah-masalah khilafiyah di hadapan umat. Di atas minbar mereka berbicara dengan suara lantang laksana panglima perang, seolah-olah yang dikatakannya adalah sebuah kebenaran, padahal hanyalah kedustaan belaka. Perkara-perkara yang telah disepakati oleh ulama dikatakannya sebagai khilaf, sebaliknya perkara yang masih diperdebatkan oleh ulama justru dikatakannya sebagai ijma’. Tidak hanya itu, para khatib provokator juga memporak-porandakan persatuan kaum muslimin dengan memunculkan stigma-stigma buruk kepada sesama umat Islam, semisal istilah “wahabi” yang notabene adalah hasil propaganda kafir Barat.

Para khatib provokator tidak segan-segan mengkafirkan umat Islam yang tidak sependapat dengannya. Perbuatan sunnah dikatakannya sebagai bid’ah dan perbuatan bid’ah justru dianggapnya sebagai sunnah. Orang-orang yang tidak merayakan maulid dicap sebagai orang yang tidak sayang kepada Nabi, namun anehnya orang yang tidak shalat oleh khatib provakator dianggap biasa saja, karena menurut khatib provokator, shalat tersebut bisa diqadha (diganti) pada waktu-waktu yang lain. 

Kecuali itu, para khatib provokator juga mengkampanyekan bahwa sekolah dan perguruan tinggi adalah sumber aliran sesat. Mereka juga mengklaim bahwa lulusan sekolah dan perguruan tinggi berpotensi menjadi kafir. Mereka tidak sadar bahwa statemen mereka tersebut berpunca dari konsep yang dibangun oleh Christiaan Snouck Hurgronje, seorang orientalis kenamaan dari negeri Belanda, dengan maksud untuk membodohi masyarakat Aceh. Menurut khatib provokator, ilmu agama hanya ada di “dayah” dan “pesantren”, padahal mereka sendiri tidak pernah mengenal pesantren dan juga tak pernah mengaji di dayah. Mereka mengharamkan orang lain untuk sekolah, padahal jika diteliti, anak-anak mereka justru bersekolah di Eropa dan Amerika, sungguh paradoks. 

Ketiga, khatib lillahi ta’ala. Khatib yang masuk dalam katagori ini, diakui ataupun tidak jumlahnya sangat terbatas jika dibanding dengan dua model khatib di atas. Sebelum menyampaikan ilmu kepada orang lain, khatib lillahi ta’ala terlebih dahulu belajar dengan tekun. Mereka tidak akan menyampaikan sesuatu yang belum terbukti benar. Mereka sangat berhati-hati dengan perkara-perkara syubhat. Mereka akan tetap menyampaikan kebenaran meskipun hal tersebut pahit. Dalam persoalan khilaf mereka saling memahami dan menghargai pendapat orang lain, apalagi jika pendapat tersebut disokong oleh dalil.

Khatib lillahi ta’ala tidak akan sembarangan menyandangkan gelar kafir kepada orang lain apabila tidak didukung dengan dalil-dalil yang kuat. Mereka sangat berhati-hati dalam menyatakan suatu perkara sebagai ijma’ kecuali jika telah jelas sebagai ijma’. Mereka memandang perbedaan furu’iyah sebagai kekayaan pemikiran dalam Islam, bukan sebagai alat untuk saling bermusuhan.

Setelah menyimak uraian singkat di atas, sudah saatnya para khatib di Aceh berkaca di cermin yang jernih dan melalukan muhasabah. Tanyakan kepada hati yang paling dalam, anda termasuk dalam katagori mana? Khatib rupiah atau khatib provokator? Wallahu A’lam.

Artikel ini sudah pernah diterbitkan di Atjehlink.com
loading...

No comments