“Serambi Preman”


Oleh: Khairil Miswar 

Bireuen, 14 Juni 2013

Ilustrasi Preman. Sumber: www.antarakalteng.com
Akhir-akhir ini aksi premanisme kian marak terjadi di bumi Aceh. Terlepas siapa pelaku aksi premanisme tersebut, yang jelas perilaku para preman di Aceh telah mencoreng irama damai yang sedang mengalun merdu di Aceh. Aksi premanisme di Aceh adalah sebuah aib yang tidak pantas ditutupi, apalagi aksi tersebut telah tercium oleh publik melalui pemberitaan di beberapa media yang ada di Aceh.

Pada April 2012 Kepala Dinas DKP Pidie diancam tembak oleh empat pria terkait masalah proyek (http://aceh.tribunnews.com, 21/04/12). Pada 16 Mei 2013 dikabarkan bahwa seorang panitia tender di Aceh Jaya diculik dan disekap selama 13 jam (http://aceh.tribunnews.com, 18/05/13). Pada 23 Mei 2013 juga tersiar kabar bahwa sekumpulan orang yang berasal dari berbagai daerah di Aceh melakukan perusakan terhadap kantor DPKKA yang menurut informasi juga disebabkan masalah proyek (http://aceh.tribunnews.com, 29/05/13). Sebelumnya, pada April 2013 seorang caleg perempuan dari PNA di Jantho juga diancam tembak (http://aceh.tribunnews.com, 25/04/13). Kemudian, pada 26 April 2013 seorang kader PNA tewas ditembak di Pidie (http://aceh.tribunnews.com, 27/04/13). Dua kasus yang disebut terakhir ini terkait dengan masalah politik.

Dalam perkembangan selanjutnya, aksi premanisme di Aceh terus berlanjut, meskipun sebagian dari preman tersebut telah diringkus oleh pihak Kepolisian. Namun para preman tampak tak gentar dan terus melanjutkan aksinya. Pada 11 Juni 2013 kembali diberitakan bahwa seorang pekerja asing di PT Medco diculik oleh gerombolan bersenjata di pedalaman Aceh Timur (http://news.detik.com, 12,06/13). Pada pemberitaan selanjutnya dinyatakan bahwa pekerja asing itu sudah dibebaskan oleh para penculik (atjehlink.com). Uniknya setelah pekerja asing tersebut bebas, muncul pula aksi premanisme dengan gaya yang berbeda yang juga berlokasi di Aceh Timur. Dikabarkan bahwa seorang supir truk interculer ditembak OTK (http://atjehlink.com).

Aksi premanisme tidak hanya terjadi di pusat-pusat kota di Aceh, tetapi aksi tersebut juga menjalar sampai ke pelosok desa dan dusun di Aceh. Sebagian dari aksi premanisme tersebut berhasil direkam oleh media yang kemudian terpublish dan menjadi konsumsi publik, khususnya para pecinta koran yang saban hari nongkrong di kedai kopi. 

Pembicaraan tentang premanisme di Aceh tidak hanya menjadi isu yang diperbincangkan oleh kalangan elit di Aceh, tetapi topik tersebut juga telah menjadi makanan ringan bagi masyarakat kalangan bawah, khususnya masyarakat pedesaan, meskipun intesitas perhatian mereka (masyarakat desa) terhadap masalah tersebut sedikit rendah jika dibanding dengan perhatian yang dicurahkan oleh kalangan elit. Hal ini wajar-wajar saja mengingat sasaran aksi premanisme akhir-akhir ini lebih dominan menimpa kalangan elit (pejabat, pengusaha, politisi).

Menyikapi maraknya aksi premanisme di Aceh, ada sebagian pihak yang menganggap perilaku itu wajar-wajar saja terjadi di daerah yang baru saja dilanda konflik bersenjata dan tidak ada pengaruhnya terhadap perdamaian yang sedang berlangsung di Aceh. Menurut mereka aksi-aksi premanisme tersebut hanyalah kriminal biasa yang juga terjadi di daerah lain di Indonesia. 

Di samping itu, ada pula sebagian pihak di Aceh yang dengan berbagai argumen menyatakan bahwa aksi teror dan premanisme yang terjadi di Aceh merupakan sebuah skenario untuk merusak perdamaian yang telah terajut di Aceh. 

Di sebalik dua asumsi di atas, hadir pula mazhab lain yang melalui ijtihad politiknya menghukumi bahwa aksi premanisme di Aceh didalangi oleh pihak-pihak yang merasa tidak puas dengan penguasa sehingga mereka tersisih dari pusaran politik hasil karya sahabat-sahabat mereka tersebut. Mungkin ada sebuah filosofi yang mereka anut; “jih lam AC di duek, ké meu rukok tan”. Filosofi seperti ini bisa saja memicu seseorang untuk melakukan tindakan apa saja, termasuk aksi premanisme sebagai bentuk protes kepada rekan-rekan “saboh bantai èh” yang kini telah melupakan mereka.

Terlepas apa motif para preman tersebut, yang jelas aksi premanisme di Aceh harus segera dihentikan. Lemahnya penegakan hukum di Aceh juga menjadi sebab utama tumbuh dan suburnya aksi premanisme di Aceh. Di samping itu, rendahnya pemahaman agama yang dimiliki oleh para preman juga menjadi faktor utama majunya gerakan premanisme di Aceh.

Perlu diketahui bahwa, jika penegakan hukum lemah, maka aksi kriminal dan premanisme justru akan menanjak naik. Pihak Kepolisian sebagai tonggak utama penegakan hukum tidak boleh berdiam diri dan duduk manis saja melihat jurus-jurus yang dimainkan oleh preman. Polisi jangan hanya berani dalam menindak pelanggar lalu lintas yang kebetulan lupa memakai helm, tetapi juga harus “gagah” dalam menumpas aksi premanisme yang dilakukan oleh pihak-pihak “saket ulee” di Aceh. Namun demikian, penulis juga memberikan apresiasi kepada pihak Kepolisian yang telah bekerja maksimal dalam mengungkap aksi premanisme di Aceh. 

Di samping itu, ulama di Aceh juga harus berperan aktif dalam penumpasan aksi premanisme di Aceh, tentu saja dengan metode-metode tersendiri yang memang pantas dilakukan oleh para ulama. Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) jangan hanya bersuara ketika ada aliran sesat, sedangkan dalam persoalan lain malah memilih diam membisu dan bahkan membatu. Persoalan umat bukan saja aliran sesat, aksi premanisme juga menjadi masalah besar bagi umat yang mesti mendapat perhatian dari para ulama.

Di akhir tulisan ini penulis mengajak semua pihak untuk menjauhkan diri dari perilaku premanisme yang dapat merusak damai dan juga menodai nama Aceh yang dikenal dengan julukan “Serambi Mekkah”. Jangan sampai para preman di Aceh menurunkan pamflet “Serambi Mekkah” dan mengibarkan pamflet “Serambi Preman”. Wallahul Musta’an.

Artikel ini sudah pernah diterbitkan di Atjehlink.com
loading...

No comments