Jauh Panggang dari Api!


(Refleksi 9 Tahun Damai Aceh)

Oleh: Khairil Miswar 

Bireuen, 07 Agustus 2014

Ditandatanganinya Memorandum of Understanding (MoU) antara pihak Gerakan Aceh Merdeka dan Pemerintah RI di Helsinky yang dimediasi oleh CMI pada 15 Agustus 2005 silam merupakan titik awal dimulainya era baru di Aceh – setelah hampir 30 tahun Aceh larut dalam konflik panjang yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa, khususnya masyarakat sipil. Berdasarkan catatan sejarah, gejolak konflik Aceh tidak hanya terjadi pada era 1976-2005, namun jauh sebelumnya, Aceh juga telah diguncang oleh serentetan konflik bersenjata, baik secara vertikal maupun horizontal. Sebagaimana telah kita ketahui bersama, bahwa pada awal-awal kemerdekaan (1945-1946) telah terjadi konflik antara ulama dan ulee balang yang bermuara pada“Perang Cumbok”. Pada tahun 1953 di Aceh juga meletus pemberontakan DI TII yang dipimpin Teungku Muhammad Daud Beureu-eh. Konflik Aceh terus berlanjut setelah Dr. Hasan Muhammad Ditiro memproklamirkan berdirinya Acheh Soematra Libaration Front (ASNLF) pada 1976.

Riwayat konflik Aceh sebagaimana telah penulis uraikan di atas tentu tidak terlepas dari carut-marutnya kondisi politik di Aceh kala itu. Pertentangan politik, baik secara vertikal, maupun horizontal yang terjadi di masa lalu, telah mengakibatkan masyarakat Aceh hidup dalam kesengsaraan. Derita tersebut baru berakhir setelah kedua belah pihak (GAM dan RI) sepakat untuk berdamai pada 15 Agustus 2005.

Sumber: pena-aceh.blogspot.com
Secara khusus, perdamaian Aceh merupakan rahmat dari Allah Subhanahu wa Ta'ala, setelah sebelumnya – pada 26 Desember 2004 Aceh luluh lantak diterjang gempa dan tsunami. Mungkin ini adalah rahasia Allah Subhanahu wa Ta'ala yang tak pernah diduga oleh pakar politik manapun. Musibah Tsunami secara tidak langsung telah mendorong kedua pihak (RI dan GAM) untuk mengakhiri perselisihan yang telah berlangsung puluhan tahun. 

Di sisi lain, perdamaian Aceh juga merupakan prestasi tersendiri bagi Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang ketika itu menjadi penguasa di Republik ini. Mungkin faktor inilah yang dikemudian hari mendorong pihak Universitas Syiah Kuala (UNSYIAH) memberikan gelar Doktor Kehormatan (Honoris Causa) dalam bidang perdamaian kepada SBY. Hal ini wajar-wajar saja, mengingat ketika konflik melanda Aceh (1976-2005), telah terjadi beberapa kali pergantian kepemimpinan di Indonesia, dimulai dari Soeharto, Habibie, Gusdur dan Megawati. Namun nama-nama yang disebut barusan tidak mampu menyelesaikan konflik Aceh – bahkan di antara nama-nama tersebut ada yang justru memperparah konflik dengan menerapkan "Daerah Operasi Militer" (DOM) dan “Darurat Militer” di Aceh.

Aceh Pasca Damai 

Pasca penandatangan MoU Helsinky, meskipun kondisi keamanan telah mulai pulih, namun suhu politik di Aceh masih saja memanas. Seiring dengan lahirnya MoU Helsinky, masyarakat Aceh mulai dihadapkan dengan konflik horizontal antar sesama anak bangsa. Diakui ataupun tidak, pasca kelahiran MoU Helsinky beberapa komponen masyarakat Aceh telah terjebak dalam “perang kepentingan”.

Menurut hemat penulis, faktor utama yang menjadi pemicu timbulnya “perang kepentingan” di Aceh adalah “nafsu kekuasaan”. Akibat nafsu kekuasaan tersebut, rakyat Aceh yang pada awalnya (sebelum damai) relatif bersatu, namun pasca damai justru terpecah dalam berbagai faksi politik. 

Perpecahan pertama pasca damai terjadi pada saat pilkada 2006, di mana kala itu para pihak yang terlibat dalam perdamaian (GAM) terbelah dalam dua kubu politik, di mana para petinggi GAM memberikan dukungan politiknya kepada pasangan Hasbi-Humam (H2O), sedangkan kalangan akar rumbut dan mantan kombatan GAM memilih untuk memberi dukungan kepada Irwandi-Nazar.

Ketegangan terus berlanjut pada pemilu legislatif 2009, di mana sebelumnya telah terjadi perbedaan penafsiran terhadap keberadaan partai politik lokal di Aceh. Sebuah realita yang tidak dapat dipungkiri, pada awal-awal berdirinya partai lokal di Aceh, telah terjadi berbagai gesekan antara partai yang satu dengan partai yang lain. Satu hal yang amat disesali, bahwa Partai Aceh – sebagai sebuah partai yang memiliki kekuatan dominan (dari segi struktur) kala itu telah memproklamirkan diri sebagai pemangku kebenaran tunggal di Aceh, sehingga menimbulkan kesan, selain dari Partai Aceh adalah “pengkhianat”. 

Tak lama berselang, pada tahun 2011, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan dari beberapa masyarakat Aceh yang meminta dihapuskan pasal 256 UUPA tentang calon independen. Meskipun keputusan MK bersifat final dan mengikat, namun Partai Aceh (PA) dengan tegas menyatakan menolak keputusan MK tersebut. Konflik internal PA kembali menyeruak dengan tidak dicalonkannya kembali Irwandi Yusuf sebagai calon Gubernur dari PA. Suhu politik kala itu terus memanas yang berakibat terjadinya beberapa bentrokan antara pendukung PA dan Irwandi pada Pilgub 2012. 

Pada era pemerintahan Zaini Abdullah dan Muzakkir Manaf (Zikir) yang terpilih sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh pada 2012 juga terjadi berbagai ketegangan. Ketukan palu Hasbi Abdullah (ketua DPR Aceh) pada 22 Maret 2013 telah menghasilkan Qanun No. 3 Tahun 2013 Tentang Bendera dan Lambang Aceh. Namun orang-orang yang menamakan dirinya sebagai Gayo Merdeka justru menolak kehadiran bendera dan lambang yang disahkan oleh DPRA tersebut. Menurut Gayo Merdeka, bendera dan lambang tersebut dapat mengundang perpecahan di Aceh.

Sebelumnya, pada 2 November 2012 DPR Aceh juga telah mengesahkan Qanun Wali Nanggroe. Pasca pengesahan tersebut juga muncul beberapa protes dari sebagian pihak dengan alasan yang beragam, di antaranya protes dari beberapa masyarakat suku di Aceh yang aspirasi mereka tidak terakomodir dalam Qanun Wali Nanggroe (WN) sehingga mereka menyatakan menolak Qanun tersebut karena dianggap diskriminatif. 

Suhu politik di Aceh kembali memanas pada pemilu legislatif 2014, di mana telah terjadi “pertarungan hebat” antara PA dan PNA. Berbagai aksi anarkhis pun terjadi, seperti pengancaman terhadap caleg, penurunan bendera parpol, pemukulan terhadap lawan politik, pembakaran, perusakan alat peraga kampanye dan segudang atraksi lainnya. Tidak hanya itu, pada momen Pilpres 2014 lalu juga telah membuat PA “terbelah” ke dalam dua kubu. Muzakkir Manaf sejak dini telah menyatakan dukungannya kepada Prabowo Subianto, sementara di detik-detik terakhir pelaksanaan Pilpres, kubu Zaini Abdullah dan Zakaria Saman memberi dukungan kepada Jokowi/JK yang disinyalir sebagai sebuah bentuk rasa terima kasih kepada Yusuf Kalla sebagai sosok penggagas damai Aceh.

Antara Harapan dan Kenyataan

Dari ulasan singkat di atas, dapat disimpulkan bahwa faktor hawa nafsu telah membuat kita terjebak dalam “perang kepentingan”, sehingga visi dari perdamaian itu sendiri menjadi tidak tercapai dan jauh panggang dari api. Tanpa terasa, tepatnya pada 15 Agustus 2014, damai Aceh telah memasuki usia 9 tahun. Namun kenyataan yang kita hadapi hari ini justru bertolak belakang dengan harapan yang pernah kita gantungkan ketika damai itu digagas. 

Persentase penduduk miskin di Aceh, jika dilihat dari tahun 2005 sampai dengan tahun 2013 cenderung turun, yaitu sejumlah 28,69% pada tahun 2005 dan terus menurun dengan angka 17,60% pada tahun 2013. Namun pada tahun 2014 persentase penduduk miskin kembali meningkat menjadi 18,05% (aceh.bps.go.id). Harian Analisa juga merilis bahwa pertumbuhan ekonomi Aceh terus melemah dan anjlok ke level terendah (analisadaily.com, 06/05/14). Sementara itu, kondisi kesehatan masyarakat Aceh saat ini juga belum menggembirakan. Hal tersebut antara lain dapat dilihat dari masih tingginya angka kematian ibu dan anak (dk-insufa.info, 28/01/13). Tidak hanya itu, mutu pendidikan di Aceh sampai saat ini juga masih terbilang rendah (sinarharapan.co, 16/05/14).

Di sisi lain, masih banyak butir-butir Mou Helsinky yang merupakan asas utama perdamaian Aceh juga belum sepenuhnya terealisasi. Di Usia perdamaian yang pada 15 Agustus 2014 genap sembilan tahun, kita hanya bisa berharap agar Aceh bisa terus berbenah dan tidak lagi terjebak dalam “perang kepentingan” demi terciptanya Aceh yang Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur. Wallahul Musta’an.

Not: Tulisan ini pernah dikirim kepada Panitia Peringatan Damai Aceh 2014 yang diselenggarakan Pemerintah Aceh, tapi sayang tulisan ini kalah saing.

Artikel ini sudah dipublikasikan di Kompasiana
loading...

No comments