JANGAN PANIK!


Oleh: Khairil Miswar 

Bireuen, 01 Oktober 2012



Sumber: www.herlambangadhytia.com
Dalam Kamus Ilmiah Populer (Ramadhan, 2010: 325), kata panik diartikan sebagai sebuah sikap gugup mendadak yang dialami oleh seseorang. Sebagai manusia normal kita pasti sering mengalami penyakit “panik” ini. Penyakit panik yang penulis maksud bukanlah penyakit medis yang bisa disembuhkan dengan obat generik ataupun obat paten. Panik merupakan penyakit mental yang di alami oleh setiap orang. Penyakit mental inipun bukanlah penyakit seperti dugaan banyak orang. Pada umumnya ketika disebut penyakit mental, pikiran orang-orang akan tertuju kepada sesuatu yang aneh (baca: penyakit gila). Dalam tulisan ini, penulis tidak sedang membahas penyakit gila tersebut. Mental yang penulis maksud dalam tulisan ini lebih tertuju kepada kondisi kejiwaan seseorang yang pada prinsipnya merupakan sifat normal. 

Panik merupakan sikap dimana kondisi kejiwaan kita tidak sanggup menerima kenyataan yang kita alami, baik yang kita alami tersebut kenyataan manis (membahagiakan) maupun kenyataan yang pahit (menyusahkan). Kondisi kejiwaan kita terasa terganggu dengan kenyataan yang kita hadapi tersebut sehingga melahirkan sikap-sikap aneh dan tidak biasa pada diri kita. Sikap tersebut lahir secara tiba-tiba dan terkadang tanpa kita sadari. Ketika itu emosi kita terlepas dari ikatan sehingga tidak terkontrol dan bergerak bebas menembus batas-batas kewajaran. Dalam pandangan penulis inilah yang disebut dengan penyakit “panik”.

Sebenarnya sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin, Islam telah menyediakan rumus ampuh dalam menyikapi kondisi ini (baca: panik). Jika merujuk kepada catatan sejarah ketika agama Islam ini diturunkan di tanah Arab, ketika itu orang-orang Arab juga berada dalam suasana yang luar biasa panik. Sebelum Islam berlabuh di dalam hati mereka (baca: orang Arab) ketika itu kondisi kejiwaan orang-orang Arab Jahiliyah bertambah panik dengan kehadiran Islam sebagai agama baru bagi mereka. Kepanikan tersebut tercermin dari sikap mereka yang dengan keras kepala menentang ajaran suci ini (baca: Islam). Sampai-sampai akibat kepanikan mereka yang tidak terkontrol, mereka berusaha ingin menyingkirkan utusan Tuhan (Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam) yang pada prinsipnya di utus oleh Allah untuk menyembuhkan penyakit panik mereka yang sudah berada pada titik kronis. Ketika itu mereka masih menyembah berhala yang mereka buat sendiri dalam suasana serba panik. 

Pada perkembangan selanjutnya ketika Islam sudah tersebar luas di tanah Arab dan sekitarnya, penyakit panik ini beralih posisi menempati hati-hati orang munafiq semisal Abdullah bin Saba’ (mantan pendeta Yahudi dari Yaman). Akibat kepanikannya Abdullah bin Saba’ melakukan propaganda murahan kepada orang-orang dan menyebar fitnah sehingga pada suatu ketika Khalifah yang lurus Usman bin Affan Radhiallahu ' anhu terbunuh ditangan orang – orang munafiq yang panik tersebut. Tidak berhenti disitu, si Abdullah bin Saba’ dengan kepanikannya juga melakukan provokasi agar orang-orang bersifat ghuluw (berlebihan) kepada Khalifah Ar Rasyidin yang juga menantu Nabi – Ali Al Murtadha Radhiallahu ' anhu sehingga lahirlah sekte sesat bernama “Syi’ah”. Sebuah aliran keagamaan yang oleh mayoritas Ulama umat ini dinyatakan sesat, meskipun ada sebagian kalangan intelektual Islam semisal Said Agil Siradj menepis kesesatan mereka; dengan dalih persatuan umat. Dalam konteks ini, Said Agil juga dapat disebut “panik” atau minimal dibuat panik oleh ulah “Syi’ahmania” yang ada di Indonesia.

Panik Aceh

Dalam perjalanan sejarah Aceh masa lalu juga terdapat banyak kisah tentang anak-anak negeri yang menderita penyakit panik sehingga akhirnya bekerjasama dengan musuh dan mengkhianati bangsanya sendiri. Sebut saja Panglima Tibang dan Habib Abdurrahman, akibat kepanikan yang tidak terkontrol mereka telah berkhianat kepada bangsa Aceh. 

Dalam sejarah Aceh modern, bencana gempa tsunami 26 Desember 2004 lalu menjadi saksi bagaimana paniknya masyarakat Aceh dalam menghadapi situasi serba – genting tersebut. Namun kepanikan yang terjadi pada saat tsunami tersebut merupakan kepanikan natural yang tidak dapat dihindari oleh siapapun. 

Setelah GAM dan RI menandatangani nota kesepahaman di Helsinky pada 15 Agustus 2005 lalu yang melahirkan sebuah produk bernama “MoU Helsinky” sebagian orang Aceh ketika itu juga dilanda panik yang tak terbendung. Masyarakat Aceh larut dalam gemuruh damai setelah tiga puluh tahun dilanda perang (konflik RI – GAM) yang memakan korban tak terhitung jumlahnya. Ketika beduk damai ditabuh, GAM turun gunung dan petani kembali ke ladang setelah sekian lama lahan mereka terbengkalai akibat perang. Para pedagang kembali tersenyum, mereka bisa kembali berniaga tanpa ada gangguan dari kedua belah pihak. 

Pada perkembangan selanjutnya, pada pilkada 2006 akibat kepanikan (fanatisme rakyat) terhadap kondisi Aceh ketika itu berhasil mengantarkan para mantan GAM hampir di seluruh Aceh menuju singgasana pemerintahan baik di level provinsi maupun sebagian kabupaten/kota di Aceh. Fenomena ini berlanjut pada tahun 2009 dimana mayoritas kursi DPR baik di provinsi dan sebagian besar kabupaten/kota berhasil dikuasai oleh mantan pejuang GAM. Bagaikan jamur di musim hujan, pada prosesi pilkada 2012 pasangan yang di usung oleh PA (mantan GAM) juga berhasil meraup suara dengan jumlah yang fantastis.

Beberapa kepanikan yang penulis sebutkan diatas khususnya di Aceh menurut penulis masih berada pada kondisi normal sehingga tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Namun perlu kita ketahui bahwa ketika penyakit panik tersebut mencapai titik klimaks terkadang dapat melahirkan adegan-adegan aneh diluar batas kewajaran. Sebagai contoh aksi pemukulan yang menimpa mantan Gubernur Aceh Irwandi Yusuf beberapa waktu lalu (terserah siapa pelakunya), menurut penulis merupakan ekses yang diakibatkan oleh kondisi panik yang telah menembus batas-batas kemanusiaan. Perilaku tersebut dalam pandangan penulis terjadi karena gejolak emosi yang tidak terkendali sehingga berubah menjadi “panik syndrome” yang mengakibatkan pelakunya kehilangan kesadaran.

Satu lagi (sekedar contoh), aksi sebagian oknum “Satgas Baret Merah” yang terjadi di beberapa tempat di Aceh juga mencerminkan sikap panik dan tidak mampu mengendalikan emosi sehingga terjadi aksi-ksi aneh yang ketika menyaksikan kelakuaan tersebut kita cuma bisa tersenyum sambil menggelengkan kepala.

Rumus Menghadapi Panik

Sebagai umat akhir zaman, Allah telah menetapkan bahwa Islam adalah agama terakhir sekaligus agama paripurna untuk kita anut sepenuhnya. Allah juga telah menegaskan bahwa cuma agama Islam yang di ridhai oleh Allah sehingga melahirkan konsekwensi bahwa selain agama Islam statusnya ilegal alias tidak direstui oleh Allah. Islam sebagai agama samawi terakhir telah menyediakan konsep dan rumus ampuh dalam menghadapi kondisi panik yang sudah kita bicarakan di atas. Singkatnya dapat penulis sebutkan bahwa, ketika kita dilanda kesedihan (bencana, kesulitan ekonomi, di serang penyakit,dll) sebagai umat Islam kita dituntut bersabar dan tidak perlu panik dalam menyikapi kondisi tersebut sehingga nilai iman kita menjadi berkurang di sisi Allah.

Sebaliknya ketika kita mendapatkan kebahagian (kaya mendadak, tiba-tiba menjadi penguasa, memperoleh kemenangan duniawi, dll) sebagai muslim kita dituntut untuk bersyukur atas nikmat tersebut. Jangan sampai kita lalai dan panik sehingga saham dosa kita bertambah yang akhirnya mendorong kita untuk berlabuh di neraka – na’uzubillah. Wallahul Musta’an.

Artikel ini sudah pernah diterbitkan di The Aceh Traffic.com
loading...

No comments