Jak Sikula Vs Jak Beut


Oleh: Khairil Miswar 

Bireuen, 19 Mei 2014

Ilustrasi Sekolah. Sumber: markitca.blogspot.com
Meskipun terkesan usang dan sudah tidak relevan dengan perkembangan zaman, namun slogan hareum jak sikula (haram sekolah) masih santer terdengar hingga hari ini. Khususnya di Aceh, keyakinan ini terus “diwariskan” dari generasi ke generasi. Di samping itu, keyakinan bahwa jak sikula jeut keu kaphe (belajar di sekolah menjadi kafir) dalam perkembangannya telah berevolusi menjadi semacam "i'tiqad" yang diyakini kebenarannya oleh sebagian masyarakat Aceh. Dengan sendirinya dapat dipahami bahwa munculnya slogan hareum jak sikula merupakan manifestasi dari keyakinan jak sikula jeut keu kaphe yang ditransformasikan dalam bentuk “fatwa liar” oleh pihak-pihak yang “anti” pendidikan modern.

Dalam perkembangan selanjutnya, slogan hareum jak sikula telah melahirkan berbagai konsekuensi yang cenderung destruktif dengan timbulnya “pertarungan idiologis” antara lembaga pendidikan tradisional dan lembaga pendidikan modern – jak sikula vs jak beut, sebuah kondisi yang tak terelakkan. Dalam menjalankan aktivitasnya, para pihak juga terlihat saling memperkuat posisi masing-masing.

Di satu sisi, dayah sebagai representasi dari lembaga pendidikan tradisional tertua di Aceh sampai saat ini masih tetap memosisikan dirinya sebagai lembaga pendidikan yang memiliki “otoritas tunggal” dalam bidang keagamaan. Satu hal yang tidak dapat dipungkiri, bahwa dayah telah berhasil membangun sebuah image bahwa pemahaman agama yang benar hanya terdapat di dayah. Kondisi tersebut juga telah memunculkan sebuah keyakinan dalam benak sebagian masyarakat bahwa ulama dayah merupakan satu-satunya juru kunci yang memiliki otoritas untuk melakukan interpretasi terhadap teks-teks agama. Dengan kata lain, “fatwa” ulama dayah telah dianggap sebagai satu-satunya parameter untuk mengukur kebenaran terkait dengan persoalan-persoalan keagamaan.

Di sisi lain, sekolah (kampus) yang merupakan wujud dari lembaga pendidikan modern juga terus berupaya melahirkan lulusan-lulusan bermutu dan mampu mendedikasikan dirinya sebagai generasi yang berguna bagi bangsa, negara dan agama. Sebagaimana telah kita ketahui bersama bahwa di Aceh terdapat tiga bentuk lembaga pendidikan modern (sekolah), yaitu: sekolah umum, sekolah kejuruan dan sekolah agama. Ketiga bentuk sekolah tersebut memiliki komposisi pelajaran agama yang berbeda. Sekolah umum dan sekolah kejuruan memiliki komposisi pelajaran agama yang sangat minim dan terbatas. Berbeda halnya dengan sekolah agama yang komposisi pelajaran agama dan pelajaran umum lumayan seimbang. Demikian pula dengan lembaga pendidikan tinggi, di mana terdapat perbedaan yang jelas antara perguruan tinggi agama dengan perguruan tinggi umum.

Ditinjau dari perspektif historis, sebagaimana halnya lembaga pendidikan tradisional, lembaga pendidikan modern di Aceh juga didirikan oleh para ulama yang notabene adalah jebolan dayah, sebut saja Teungku Muhammad Daud Beureu’eh di Pidie dan Teungku Abdurrahman Meunasah Meucat di Matangglumpangdua. Sebagaimana telah dicatat oleh beberapa penulis sejarah, bahwa kelahiran lembaga pendidikan modern di Aceh, khususnya madrasah (sekolah agama) dimaksudkan sebagai sebuah medium untuk mencerdaskan anak bangsa yang tidak hanya paham agama, tetapi juga menguasi ilmu-ilmu umum dan teknologi sebagai modal untuk melahirkan kebangkitan umat Islam di Aceh. 

Hareum Jak Sikula

Setelah diselisik dari beberapa sumber, kuat dugaan bahwa slogan hareum jak sikula merupakan sebuah alat propaganda yang sengaja dimunculkan oleh para orientalis di masa lalu sebagai upaya untuk meredam perlawanan rakyat Aceh terhadap penjajah. Sebagaimana dikemukakan oleh para sejarawan, bahwa Cristian Snouck Hunggrojo, seorang orientalis kenamaan Belanda, telah melakukan berbagai penelitian dan kajian terkait karakteristik masyarakat Aceh untuk kemudian direkomendasikan kepada pemerintah kolonial.

Sebagaimana telah kita ketahui bersama bahwa salah satu trik yang dilakukan oleh Belanda untuk melanggengkan kolonialisasi di Aceh adalah dengan membuat sekat antara golongan adat dengan ulama. Bukan tidak mungkin bahwa slogan hareum jak sikula juga sengaja diembuskan oleh pihak kolonialis sebagai sebuah proses pembodohan terhadap masyarakat Aceh. Sayangnya, secara tidak sengaja slogan tersebut disambut oleh sebagian anak negeri dan kemudian dijadikan sebagai alat propaganda untuk menolak pendidikan modern.

Jak Sikula Jeut Ke Kaphe

Adalah fakta yang tidak dapat diingkari bahwa, pada saat munculnya lembaga pendidikan modern di masa penjajahan Belanda, terdapat kesenjangan di antara penduduk pribumi, di mana kalangan bangsawan mendapat perhatian khusus dari Belanda sehingga memudahkan bagi anak-anak bangsawan untuk memperoleh pendidikan di sekolah-sekolah yang didirikan oleh Belanda tersebut. Sebaliknya, rakyat jelata (non bangsawan) sangat sulit untuk mengakses pendidikan di sekolah-sekolah Belanda.

Di samping itu, dari berbagai sumber sejarah, dapat diketahui bahwa sebagian besar lulusan sekolah Belanda pada saat itu dalam kesehariaanya telah “terpengaruh” dengan budaya Eropa, baik dalam hal berpakaian maupun pergaulan. Bagi masyarakat Aceh, budaya Belanda (Eropa) identik dengan budaya “kafir” sehingga segala sesuatu yang berbau Eropa dianggap sebagai “kafir”. Munculnya keyakinan jak sikula jeut keu kaphe tentunya tidak terlepas dari kondisi tersebut.

Keyakinan bahwa Jak sikula jeut keu kaphe dalam konteks kekinian telah menjadi semacam stereotip yang terus “dipegang teguh” oleh sebagian masyarakat Aceh. Kondisi ini juga turut didukung oleh beberapa “catatan hitam” dengan munculnya berbagai kerusakan moral di lembaga pendidikan modern (sekolah/kampus). Dalam bidang keagamaan, khususnya di lembaga pendidikan tinggi (kampus) juga semak dengan berbagai persoalan “mengerikan” dengan lahirnya berbagai pemikiran yang dianggap aneh semisal Sekularisme, Liberalisme dan Pluralisme. Kondisi tersebut secara tidak langsung telah menjadi argumen tersendiri bagi sebagian pihak untuk tetap mempertahankan stereotip "usang" bahwa jak sikula jeut ke kaphe. 

Menyikapi hal demikian para tradisionalis pun melakukan berbagai upaya dengan dalih penyelamatan akidah umat. Sebagian kalangan menyatakan bahwa akidah umat hanya dapat diselamatkan dengan meninggalkan jak sikula dan beralih kepada jak beut (pergi mengaji). Menurut penulis, klaim seperti ini tidak sepenuhnya benar. Artinya, tidak secara otomatis lulusan sekolah (kampus) itu menjadi kaphe hanya karena mendapat pendidikan di lembaga modern. Kaphe atau tidaknya seorang pelajar/siswa/mahasiswa itu sangat tergantung kepada pribadi masing-masing. Buktinya, fenomena kerusakan moral yang terjadi akhir-akhir ini tidak hanya muncul di lembaga pendidikan modern (sekolah/kampus), tapi sebagiannya justru tumbuh dan berkembang di lembaga pendidikan tradisional (pesantren).

Gebrakan Dayah di Aceh 

Keyakinan jak sikula jeut keu kaphe pada perkembangan selanjutnya telah mendorong lembaga pendidikan tradisional (dayah) untuk mendirikan sekolah dan perguruan tinggi di lingkungan dayah. Kuat dugaan hal tersebut dilakukan sebagai sebuah upaya protektif untuk menyelamatkan generasi muda agar tidak terkontaminasi dengan pemikiran modern.

Ilustrasi. Sumber: beritadaerah.co.id
Di samping itu, menurut penulis, Islamisasi lembaga pendidikan umum adalah sebuah agenda mendesak yang harus segera direalisasikan agar stereotip jak sikula jeut keu kaphe bisa hilang secara perlahan. Dengan adanya Islamisasi lembaga pendidikan umum, maka kesan sekuler yang selama ini disematkan kepada lembaga pendidikan modern akan hilang dengan sendirinya sehingga jak sikula dan jak beut bisa berjalan ber-iringan. Wallahu Waliyut Taufiq.

Artikel ini sudah dipublikasikan di Kompasiana
loading...

No comments