Ada Apa Dengan Duduk Kangkang?


Oleh: Khairil Miswar 

Bireuen 12 Januari 2013

Baru-baru ini Aceh dihebohkan dengan larangan “duduk kangkang” yang kononnya dicetuskan oleh Walikota Lhokseumawe, Suadi Yahya. Beberapa media di Aceh dalam beberapa hari terakhir menjadikan isu ini sebagai topik utama dalam pemberitaannya. Isu larangan duduk kangkang ini ternyata juga telah menarik minat tokoh-tokoh nasional untuk ikut nimbrung dalam menyikapi kebijakan walikota tersebut. Sudah lumrah, sebuah kebijakan selalu saja ditanggapi secara pro-kontra oleh masyarakat.

Pada prinsipnya dengan diberikannya hak otonomi khusus, Aceh memiliki beberapa keistimewaan khususnya dalam bidang agama dan adat istiadat. Dengan demikian Aceh memiliki kewenangan untuk melahirkan qanun (perda) sesuai dengan kebutuhannya, termasuk ke dalamnya qanun tentang syari’at Islam.

Penerapan syari’at Islam di Aceh memiliki landasan historis yang cukup kuat, hal ini dibuktikan dengan karakteristik masyarakat Aceh yang memiliki rasa keagamaan yang cukup tinggi. Masyarakat Aceh dikenal sebagai masyarakat yang sangat fanatik terhadap Islam. Hal ini wajar-wajar saja karena Aceh merupakan daerah pertama di Nusantara yang menjadi pusat penyebaran agama Islam.

Duduk Kangkang

Kebijakan Walikota Lhokseumawe yang melarang duduk kangkang bagi wanita kabarnya didasarkan kepada penerapan syari’at Islam dan juga sebagai bentuk penghormatan kepada adat istiadat Aceh. Dua hal ini menjadi landasan utama bagi walikota untuk menerapkan aturan tersebut di Lhokseumawe. Menurut Walikota, duduk kangkang bagi wanita tidak sesuai dengan syari’at Islam dan juga adat-istiadat Aceh. 

Ilustrasi. Sumber: www.islampos.com
Keinginan Walikota Lhokseumwe untuk melarang para wanita duduk mengangkang saat dibonceng sepeda motor sah-sah saja jika ditinjau dari segi hukum karena hal tersebut dibolehkan oleh undang-undang, dan Walikota memiliki otoritas untuk membuat aturan tersebut di wilayah yang dipimpinnya.

Namun menurut penulis, meskipun kebijakan tersebut dibolehkan oleh undang-undang karena menyangkut keistimewaan Aceh dalam bidang agama, namun seyogyanya Walikota harus bersikap arif dalam membuat sebuah peraturan sehingga aturan tersebut nantinya dapat berjalan maksimal. 

Terkait pelarangan duduk kangkang menurut penulis tidak ada sangkut-pautnya dengan syari’at Islam dan juga adat-istiadat Aceh. Jika dikatakan bahwa duduk kangkang bagi wanita menyalahi adat-istiadat maka hal ini pada prinsipnya bertentangan dengan fakta sejarah dimana para wanita pada masa lampau di Aceh senantiasa mempraktekkan duduk kangkang dalam keseharian mereka. Sebut saja Cut Nyak Dhien, Cuk Nyak Muthia, Laksanama Malahayati, Ratu Safiatuddin Syah dan segudang wanita Aceh lainnya merupakan pimpinan perang yang pastinya senantiasa menggunakan kuda sebagai alat transportasi utama kala itu. 

Memang dalam referensi sejarah tidak ada penjelasan detil tentang penggunaan kuda oleh para wanita Aceh. Namun akal menuntun kita untuk menyimpulkan bahwa para wanita ketika itu tidak memiliki kendaraan lain selain kuda. Mereka tidak mungkin memimpin sebuah peperangan dengan hanya berjalan kaki mengingat lokasi pertempuran itu sendiri berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Logikanya, tidak mungkin para wanita tersebut menunggang kuda dengan cara menyamping, bisa dipastikan bahwa mereka menunggang kuda dengan cara mengangkang, karena posisi inilah yang masuk akal. Jika penunggang kuda mengangkang, maka penumpang dibelakang juga mesti mengangkang. Sejarah tidak pernah mencatat bahwa aksi menunggang kuda dengan cara mengangkang yang dilakoni oleh wanita Aceh waktu itu mendapat teguran dari pemimpin adat. Hal ini membuktikan bahwa duduk mengangkang tersebut tidak menyalahi adat Aceh.

Di sisi lain Walikota juga mengklaim bahwa duduk kangkang tidak sesuai dengan syari’at Islam. Dalam pandangan penulis, klaim walikota inipun bertentangan dengan fakta sejarah. Sebagaiamana kita ketahui bersama bahwa kondisi Arab masa lampau sama persis dengan Aceh dan juga negara-negara lainnya di dunia. Ketika itu belum ada kendaraan seperti kereta api apalagi bis kota. Penduduk dunia waktu itu hanya memakai binatang sebagai alat transportasi, salah satu binatang yang lazim digunakan adalah kuda. 

Jazirah Arab yang terkenal dengan padang pasir juga menggunakan kuda sebagai alat transportasi. Selain kuda orang-orang Arab zaman dulu juga menggunakan keledai dan unta dalam menempuh sebuah perjalanan. Dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa Siti Aisyah Radhiallahu 'anha mengendarai unta ketika memimpin peperangan Jamal. Dalam riwayat lain juga disebutkan bahwa Shafiyah binti Abdul Muthalib Radhiallahu 'anha adalah seorang pejuang wanita yang sangat mahir dalam menunggang kuda. Shafiyah terlibat dalam beberapa peperangan besar melawan kaum musyrik. Ketika itu pedang dan kuda menjadi teman Shafiyah dalam berjihad dijalan Allah. Sangat tidak rasional jika Shafiyah menunggang kuda dengan cara menyamping. Dengan demikian pernyataan Walikota Lhokseumawe bahwa mengangkang bertentangan dengan syari’at Islam adalah tidak sesuai dengan fakta sejarah. 

Selain bertentangan dengan fakta sejarah, pernyataan Walikota juga tampak kontradiktif, menurut walikota, bagi pengendara sepeda motor boleh duduk kangkang, sedangkan bagi penumpang di belakang tidak di izinkan kangkang. Jika memang duduk kangkang itu diklaim bertengan dengan adat dan agama, maka pembolehan kangkang terhadap pengendara juga sebuah kesalahan. Kesimpulannya jika memang hendak diterapkan, maka larangan duduk kangkang itu harus meliputi kedua pihak, baik pengendara maupun penumpang. Dalam hal ini terlihat jelas bahwa konsep yang diajukan Walikota Lhokseumawe sangat rapuh dan kontradiktif. 

Jika pelarangan duduk kangkang ditujukan kepada muda/mudi yang belum menikah, penulis sangat sepakat karena hal tersebut jelas-jelas dilarang oleh Islam. Namun kebijakan tersebut akan sangat tidak rasional apabila diterapkan kepada pasangan suami-istri, karena akan menyulitkan mereka dalam melakukan perjalanan jauh apalagi jika disertai dengan anak kecil. Mayoritas masyarakat Aceh, khususnya Lhokseumawe adalah pengguna sepeda motor karena mereka tidak memiliki cukup modal untuk membeli mobil.

Di akhir tulisan ini penulis mengajak semua pihak khususnya Walikota untuk dapat berfikir rasional. Tidak ada larangan untuk menerapkan syari’at Islam di Aceh, apalagi hal tersebut telah mendapat restu dari undang-undang. Namun sebelum sebuah kebijakan itu dimunculkan ada baiknya dilakukan pengkajian secara ilmiah apakah kebijakan tersebut sesuai dengan dalil dan fakta sejarah, atau sebaliknya malah bersebrangan dengan dalil yang ada? Ironisnya, Qanun-qanun yang sudah ada belum mampu diimplementasikan secara maksimal, lantas kenapa kita berfikir untuk melahirkan kebijakan baru yang pada prinsipnya tidak substantif seperti larangan duduk kangkang? Afala Tatafakkarun? Wallahul Musta’an.

Tulisan Blog
loading...

No comments