“Mongolianisme” dan Punahnya Peradaban


Oleh: Khairil Miswar

Foto: pinterest



Bireuen, 29 November 2017

“Aceh kekurangan isu.” Mungkin ini adalah kata yang tepat untuk menggambarkan bagaimana larutnya sebagian kita dalam “kelatahan” yang tidak perlu. Fenomena sosial politik dan keagamaan di Aceh dalam beberapa tahun terakhir, khususnya pasca konflik, semakin sulit dimengerti. Satu kegaduhan tenggelam, kegaduhan lain pun bermunculan. Kita seperti dihadapkan pada opera tanpa sutradara.

Tidak hanya perdebatan politis seperti bendera, himne dan pasal-pasal UUPA yang kononnya dikuliti. Tapi persoalan-persoalan sosial, khususnya terkait moralitas pun timbul tenggelam di Aceh. Kasus prostitusi online adalah kejutan terbaru yang membuat semua mata terbelalak. Menyikapi ini kegeraman pun muncul. Kecaman demi kecaman pun mengalir deras.

Baru-baru ini, publik juga kembali terhenyak dengan keputusan Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh yang menurut riwayat media akan mengharamkan beredarnya kitab-kitab ghairu mu’tabar di Aceh. Tidak hanya kitab, buku-buku yang masuk ke Aceh juga akan diseleksi. Namun demikian, sampai saat ini, belum bisa dipastikan apakah keputusan tersebut berbentuk fatwa resmi MPU Aceh, atau hanya sekadar seruan belaka.

Menyikapi informasi ini, publik pun terbelah – dan seperti biasa pro-kontra pun merebak liar. Sebagian kalangan, khususnya dari unsur “tradisionil” terlihat menyambut keputusan ini dengan “euforia.” Kegembiraan ini, khususnya terlihat melalui berbagai komentar di media sosial, di mana keputusan tersebut dianggap sudah sangat tepat sehingga tanpa ba bi bu, langsung diamini.

Sementara itu, sebagian kalangan lainnya terlihat tidak sepakat – untuk tidak menyebut menolak keputusan dari MPU Aceh ini. MPU Aceh Barat Daya dan MPU Aceh Selatan sebagaimana diberitakan Serambi Indonesia, meminta agar keputusan MPU Aceh tersebut ditinjau ulang. Kecenderungan penolakan ini pun dapat disimak melalui ragam komentar di media sosial Dan akhirnya “debat kusir” ala media sosial pun meledak tak terkendali. Tanpa disadari, debat kusir ini telah mengakibatkan kedua pihak saling “serang” dengan strategi labeling.

Semangat Literasi?

Sepintas lalu, keputusan MPU Aceh tampak berseberangan, untuk tidak menyebut kontradiktif dengan semangat literasi yang saat ini sedang hangat-hangatnya bergulir. Keputusan MPU Aceh yang mengharamkan beberapa kitab dengan alasan ghairu mu’tabar, secara tidak langsung telah menutup ruang bagi kebebasan akademik.

Demikian pula dengan wacana menyeleksi buku-buku yang masuk ke Aceh juga terlihat menggelikan. Sadar atau pun tidak, wacana ganjil ini akan menjadi batu penghalang bagi bangkitnya intelektualitas di Aceh. Bukan tidak mungkin, wacana ini akan menjadi awal lahirnya “otoritarianisme” berbaju agama di tanoh endatu, di mana kebenaran tunggal akan “dimonopoli” oleh mereka-mereka yang “mengklaim diri” sebagai penganut mazhab mayoritas.

Jika ini terjadi, tentunya ruang-ruang diskusi akan tertutup dan dialektika intelektual tidak akan mendapat tempat, atau bahkan terusir dari bumi Aceh. Bagi sebagian pihak yang telah puas dengan “warisan doktrinal” tentu akan bertepuk tangan bangga menuju Aceh yang satu warna. Sementara bagi sebagian kalangan, kondisi ini adalah sebuah “petaka” yang akan memasukkan Aceh ke dalam “gua” masa lalu – ketika kitab-kitab Hamzah Fansuri dibakar tanpa harga di halaman Masjid Raya.

Tidak hanya itu, wacana pengharaman kitab ghairu mu’tabar dan seleksi terhadap buku-buku nantinya juga akan berbenturan dengan semangat Aceh Carong yang menjadi program unggulan pemerintahan Irwandi-Nova lima tahun ke depan. Gagasan Aceh Carong tentunya berjalan seiringan dengan semangat literasi yang sedang deras-derasnya dikampanyekan di Indonesia.

Adalah paradoks, jika di satu sisi kita mengharapkan produk, dan dalam waktu yang bersamaan kita “menghalangi” proses. Aceh Carong tidak akan pernah terwujud jika kita masih mengedepankan – meminjam istilah Syafii Maarif – “kecengengan intelektual” dengan membatasi literatur keilmuan. Dan program literasi pun tidak akan berjalan, jika buku-buku harus diseleksi dengan dalih “tidak mu’tabar”, kecuali buku-buku tertentu yang dapat merusak moral generasi muda, seperti buku-buku pornografi – yang meskipun “mu’tabar” harus dilarang.

Aceh Carong

Kejayaan umat Islam masa lalu di Baghdad di bawah kekuasaan Daulah Abbasiyah tentu tidak terlepas dari hidupnya kebebasan akademik. Pada masa itulah imam-imam mazhab mu’tabar lahir dan merumuskan mazhabnya. Tidak hanya dalam bidang agama, perkembangan ilmu pengetahuan lainnya juga cukup pesat pada masa itu.

Namun dalam perjalanannya kemudian, kebebasan akademik yang diagung-agungkan Mu’tazilah ternoda dengan adanya mihnah dan pengekangan intelektual terhadap beberapa tokoh agama seperti Ibn Hanbal. Pemaksaan kehendak rezim Mu’tazilah di bawah tiga khalifah (Al Makmun, Al Mu’tasim dan Al Watsiq) dengan menerapkan mazhab tunggal dalam teologi adalah salah bentuk otoritarianisme berbaju agama yang sangat disesalkan.

Dalam tahapan selanjutnya, serangan Mongolia terhadap Baghdad yang dipimpin oleh Hulagu Khan juga telah sukses meruntuhkan peradaban besar yang telah bertahan beberapa abad. Tidak hanya melakukan pembantaian, Mongolia juga membabat habis sumber-sumber ilmu pengetahuan dengan membakar dan menghanyutkan ribuan kitab.

Apa yang dilakukan oleh Rezim Mu’tazilah berupa pengekangan intelektual dan juga serangan sadis Mongolia yang menghancurkan literatur adalah titik awal kemunduran umat Islam di masa lalu. Tentunya kita tidak berharap “pengekangan” tersebut terulang di Aceh.

Dengan demikian, dibutuhkan kearifan dan kebijaksanaan dari MPU Aceh dan juga pemerintah Aceh demi terwujudnya Aceh Carong, tidak hanya sebagai sesuatu yang abstrak, tetapi konkret. Untuk itu, bukanlah sebuah “aib” jika keputusan pengharaman kitab ghairu mu’tabar dan seleksi terhadap buku-buku mestinya ditinjau ulang sebagaimana juga disuarakan oleh beberapa MPU di daerah. Wallahul Musta’an.

Artikel ini sudah diterbitkan di Harian Serambi Indonesia



loading...

1 comment:

  1. Untuk mempermudah kamu bermain guys www.fanspoker.com menghadirkan 6 permainan hanya dalam 1 ID 1 APLIKASI guys,,,
    dimana lagi kalau bukan di www.fanspoker.com
    WA : +855964283802 || LINE : +855964283802 ||

    ReplyDelete