Para “Pemburu” Salib

Oleh: Khairil Miswar 

Bireuen, 30 Juni 2017



Memang tidak dapat dipungkiri bahwa Kristen adalah salah satu agama misi, di mana para penganutnya diperintahkan untuk menyebarkan ajarannya ke seluruh dunia. Penyebaran misi ini dilakukan melalui berbagai strategi, baik melalui peperangan maupun melalui pendekatan kultural. Dalam praktiknya, upaya Kristenisasi juga dilakukan dengan pendekatan ekonomi guna menyukseskan misinya. 

Misi Kristen dengan pendekatan kekerasan paling populer di panggung sejarah terjadi di Spanyol (Andalusia) pasca runtuhnya dinasti Islam. Di masa modern, pola kekerasan ini di antaranya sempat dipraktikkan di California. Seperti dikisahkan Charles Kimbal (2013), sistem misi California yang dikembangkan oleh Junepero Serra sampai tahun 1782 melalui kerja sama dengan pejabat militer Spanyol telah sukses membangun 21 gereja Fransiskus dan dalam praktiknya telah memusnahkan masyarakat asli. Dua sampel tersebut merupakan noda hitam yang sukses diperankan oleh misi Kristen di panggung sejarah. Di Indonesia sendiri, misi Kristenisasi ini telah berlangsung sebelum Indonesia merdeka.

Sebagai muslim, melawan misi Kristenisasi adalah sebuah keharusan, apalagi jika yang dijadikan objek adalah muslim-muslim lemah iman. Namun demikian, perlawanan terhadap misi Kristenisasi juga harus melibatkan nalar. Artinya, gerakan perlawanan itu sendiri harus terukur, tepat sasaran dan tidak bias. Melakukan perlawanan terhadap Kristenisasi hanya dengan bermodalkan semangat buta tanpa data dan mengabaikan akal sehat justru akan memunculkan persoalan baru. Dan bukan tidak mungkin, jika tidak cermat, semangat menyala-nyala tanpa diiringi nalar akan melahirkan fitnah yang berujung kezaliman.

Sebagian kita sering terjebak dalam pandangan mata yang menipu. Berbekal pandangan mata kita pun larut dalam imajinasi liar. Kita tentu masih ingat ketika beberapa tahun lalu beredar sebuah postingan yang menyebut Kantor Gubernur Aceh mirip salib. Foto dari udara dengan objek kantor gubernur ini sempat memunculkan kehebohan di kalangan pengguna media sosial saat itu. Tanpa basa-basi, sebagian kalangan berkesimpulan bahwa pembangunan kantor gubernur memiliki kaitan dengan Kristenisasi. Sebuah tudingan liar berbasis khayal.

Tidak hanya itu, kita pun sering menyaksikan postingan serupa dalam beberapa waktu terakhir, di mana ada beberapa gedung pertokoan yang juga dituding mirip salib. Belum lama ini, ketika berlangsung peresmian Mesjid Raya Baiturrahman juga sempat beredar foto tenda yang disebut-sebut mirip salib. Bahkan, pada 2016 lalu, kita juga sempat dibuat heboh dengan lambang baru UIN Ar-Raniry yang disebut-sebut mirip simbol Yahudi. Uniknya, informasi-informasi liar semacam ini mendapat sambutan yang cukup meriah dari sebagian kalangan. 

Beberapa hari lalu, tepatnya pada saat Idul Fitri juga sempat beredar sebuah foto seorang pria yang menggunakan baju koko berwarna merah dengan kancing mirip salib. Dalam foto yang beredar, sosok tersebut terlihat bersama gubernur terpilih. Meskipun tidak sempat memunculkan kehebohan, tapi keberadaan postingan-postingan serupa ini cukup mengganggu dan dapat merusak kewarasan. Ketidakmampuan mengontrol imajinasi liar akan mengurung kita dalam prasangka yang tidak berkesudahan.

Jika imajinasi liar ini tetap dipertahankan, bukan tidak mungkin suatu saat akan muncul gerakan pembasmian palang jemuran karena dituding mirip salib. Buku matematika juga akan menemui ajalnya karena mengandung simbol-simbol mirip salib. 

Anehnya lagi, penyebaran imajinasi liar ini tidak hanya dilakukan oleh “masyarakat awam”, tetapi juga melibatkan sebagian “intelektual.” Keterlibatan sebagian intelektual dalam menyebarkan hoax serupa ini tentunya akan berdampak pada munculnya kekhawatiran yang tidak perlu di kalangan masyarakat umum. 

Tanpa sadar, ketika mengeluarkan sebuah pendapat, kita sering terjebak dalam tradisi simplifikasi. Pola simplifikasi (penyederhanaan) sering dipakai oleh orang-orang yang malas berpikir untuk menciptakan sebuah setereotip. Misalnya, dia tidak tahu pasti apakah objek yang dilihatnya tersebut benar-benar salib atau bukan, tapi dia langsung menyederhanakan dan melakukan generalisasi bahwa semua yang mirip salib sebagai salib.

Dalam kondisi lainnya, kita juga cenderung spekulatif dalam menyikapi sebuah fenomena sosial yang muncul di hadapan kita. Susanto (1985), dalam bukunya Pendapat Umum, menegaskan bahwa pemikiran spekulatif bertujuan untuk memberi kesan akan kebenaran dan keberanian seseorang kepada masyarakat umum. Pemikiran spekulatif cenderung bertentangan dengan logika karena argumennya didasarkan pada dugaan semata tanpa pembuktian.

Pandangan minus akal terhadap objek tertentu akan mengembalikan kita pada imajinasi anak kecil. Sekumpulan anak kecil yang memandang awan di langit sering bersitegang sesamanya akibat imajinasi mereka yang tidak serupa. Sebagian anak kecil menyebut gumpalan-gumpalan awan itu mirip kakeknya, sedangkan sebagian anak lainnya – dengan daya khayal yang lebih tinggi berkesimpulan awan yang bergerak di langit itu mirip kambingnya yang hilang.

Untuk itu, kita harus mampu mengontrol imajinasi agar tidak merusak kewarasan yang dalam kondisi tertentu akan berdampak pada munculnya penyakit psikologis. Tugas kita “melawan” salib, bukan “memburu” salib. Dan sudah saatnya kegilaan ini kita akhiri!

Artikel ini sudah diterbitkan di AceHTrend

loading...

No comments