“Duet Maut” dan Identitas Simbolik

Oleh: Khairil Miswar 

Bireuen, 10 Juli 2017



Senior saya Risman Rachman, dalam catatan redaksi AceHTrend dengan tajuk “Style Aceh, Dok Takhem” mencoba mengulas tentang munculnya berbagai style pakaian yang digunakan kepala daerah di Aceh. Dari hasil pantauannya di media sosial, Risman menyebut ada tiga style yang sedang “viral” saat ini, yaitu meusingklet gaki, meugantung gaki dan meusarong gaki.

Dari ketiga style tersebut, hanya dua style yang sengaja dimunculkan dengan kesadaran penuh, yaitu singklet gaki ala Irwandi dan sarong gaki ala Waled Husaini. Adapun style meugantung gaki yang “menimpa” Aminullah Usman lebih layak disebut sebagai kecelakaan alias tragedi yang tentunya di luar kesadaran pelakunya. Dengan demikian, style singklet gaki dan sarong gaki patut dianggap sebagai sebuah kebanggaan. Sebaliknya, style meugantung gaki justru masuk dalam katagori kelucuan yang tidak pada tempatnya, sehingga layak “ditangisi.” 

Dari tiga style ini, salah satunya sudah pernah saya ulas melalui kolom ini dengan tajuk “The Power of Singklet Gaki.” Mengingat fenomena ini muncul hampir bersamaan, maka dua bentuk style lainnya juga menarik untuk dikupas. Namun demikian, seperti disinggung di awal bahwa style meugantung gaki hanyalah sebuah tragedi sehingga mengulas style tersebut justru akan menambah “duka.” Untuk itu, kita hanya akan mengulas style meusarong gaki yang dipopulerkan oleh Wabub Aceh Besar yang menurut riwayat berasal dari unsur dayah.

Lintasaceh.com menyebut pakaian yang dipakai oleh Wabub Aceh Besar tersebut sebagai pakaian Arab. Menurut lintasaceh.com, style baju gamis yang “dikawinkan” dengan jas resmi tersebut digunakan untuk mempertahankan budaya santri dayah di Aceh. Penggunaan style yang nampak “janggal” ini juga turut dibenarkan oleh Ketua Tim Pemenangan Pasangan Putih sebagai upaya menjaga dan melestarikan budaya santri.

Menyikapi beredarnya foto style pakaian Wabub Aceh Besar, para netizen di media sosial juga terlibat dalam diskusi serius yang tentunya berujung pada pro-kontra. Sebagian kalangan mengamini dan bahkan mengapresiasi style meusarong gaki, dan sebagian lainnya justru memandang model busana tersebut sebagai sesuatu yang janggal.

Bahkan ada sebagian kalangan yang mencoba mengaitkan pakaian Wabub Aceh Besar tersebut dengan pakaian tokoh-tokoh ulama di masa lalu yang tetap mempertahankan ija kroeng sebagai identitas kedayahannya. Dalam tinjauan historis – memang tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian politisi muslim di masa lampau, khususnya di Aceh tetap mempertahankan busana khasnya ketika berada di ruang politik atau pun dalam pertemuan resmi kenegaraan.

Teungku Hasan Krueng Kalee misalnya, beliau tetap mempertahankan pakaian khasnya dalam pertemuan-pertemuan resmi dengan menggunakan sorban. Demikian pula dengan Syeh Mudawali Al-Khalidy. Tidak hanya ulama Aceh, tokoh-tokoh ulama nasional dari kalangan Nahdiyin juga demikian. Sampai saat ini mereka masih tetap menggunakan sarung dan peci guna mempertahankan identitasnya seperti KH. Ma’ruf Amin yang terlihat menggunakan sarung plus peci ketika berpidato di Istana Bogor beberapa waktu lalu.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa style meusarong gaki yang digunakan Wabub Aceh Besar adalah sebuah upaya menjaga identitas kedayahannya sehingga harus dihargai dan bahkan diapresiasi. Untuk itu kita berharap kepada masyarakat untuk tidak memperolok-olok style meusarong gaki karena menjaga identitas itu penting. Ketika identitas itu hilang, maka dengan sendirinya kita telah menjadi orang lain.

Namun demikian, untuk menampilkan busana yang ideal semestinya pihak terkait melibatkan desainer agar model busana tersebut tidak terkesan janggal sehingga tidak memenuhi standar estetis. Untuk menjaga keterpaduan, penyerapan simbol-simbol identitas dalam pakaian resmi juga harus dilakukan secara penuh, tidak bisa sepenggal.

Menyerap unsur jubah dengan meninggalkan peci adalah model penyerapan sepenggal sehingga berdampak pada performa yang kurang manis. Demikian pula perkawinan antara jubah dengan Pakaian Dinas Upacara (PDU) plus topi pet adalah perkawinan yang tidak sekufu (sepadan) sehingga mirip “duet maut.” Seharusnya, topi pet diganti dengan peci sehingga identitas kedayahan semakin kuat. Jika pun dipaksakan harus menggunakan topi, maka pelibatan desainer dalam style meusarong gaki adalah sebuah keniscayaan agar style tersebut menjadi padu.

Dengan tetap menghormati style meusarong gaki ala Wabub Aceh Besar, kita berharap kepada masyarakat Aceh agar tidak terlena dalam identitas simbolik sehingga melupakan substansi dari identitas tersebut. Menjaga identititas simbolik penting, tapi mempertahankan substansi identitas “kedayahan” dalam menggerakkan pembangunan jauh lebih penting.

Namun di sebalik itu, kita dihadapkan pada satu kekhawatiran besar ketika pola penyerapan identitas simbolik ini dilakoni oleh para kepala daerah yang berasal dari ragam profesi, seperti petani, nelayan dan tukang parkir.

Apa jadinya jika seorang mantan petani kemudian mendapat kesempatan menjadi bupati? Apakah mereka juga harus mengkombinasikan jas PDU dengan menggunakan tudung guna mempertahankan indentitas “kepetaniannnya”? Bagaimana pula ketika mantan nelayan terpilih menjadi gubernur? Apakah akan lahir PDU dengan jala di bahu agar identitasnya tidak hilang? Dan kondisi akan semakin parah ketika kepala daerah dijabat oleh tukang parkir. Kita tentu tidak sanggup membayangkan betapa bisingnya pendopo akibat tiupan peluit sang bupati, hanya demi sebuah identitas.

Untuk itu kita harus sepakat bahwa simbol hanyalah bentuk penegasan bagi identitas, dan ia bukan sebuah nilai yang harus dipertahankan mati-matian.

Artikel ini sudah diterbitkan di AceHTrend

loading...

No comments