PLN Tuli Peluit

Oleh: Khairil Miswar 

Bireuen, 29 Mei 2017

Foto: guoguiyan.com

Ramadhan pertama kampung saya gelap. Buka puasa perdana hari itu terpaksa menggunakan perasaan, karena stok lilin telah kosong. Bukan tidak ada persiapan, tapi karena terlanjur percaya kepada janji PLN, yang katanya Ramadhan tidak ada pemadaman. Tapi, kenyataannya PLN tetap ulok. Dan kita pun sudah terbiasa dengan ulok ala PLN.

Sepanjang sejarahnya, PLN memang dikenal klo prip alias tulis peluit. Klo prip adalah sebuah maqam tertinggi dalam strata kejahilan. Para pengidap klo prip bebas berekspresi tanpa harus takut kepada aturan. Lihat saja bagaimana bebasnya PLN melakukan pemadaman sesuka hatinya tanpa pernah dihukum.

Dalam melakukan aksinya, PLN selalu saja berada di atas hukum sehingga tidak ada satu pasal pun yang bisa menjerat mereka. Sedangkan kita, menerobos lampu merah di tengah kesunyian pun bisa kena “pluit.” PLN adalah satu-satunya institusi yang memiliki kebebasan penuh di negeri ini. PLN tidak pernah salah dan tidak punya dosa. Yang ada hanyalah kesilapan bernuansa “ulok” yang bisa diselesaikan hanya dengan “klarifikasi.”

Cuma PLN yang argumennya selalu saja diterima sebagai kebenaran aksiomatik, tanpa debat. Selain itu, kondisi mental PLN yang klo prip juga turut menurunkan tensi massa, di mana caci maki dan hujatan dari pelanggan selalu saja disikapi dengan santai. Tidak pernah PLN membalas caci maki, apalagi sampai memutuskan aliran listrik ke rumah pencaci. PLN selalu tampil sabar dan bahkan paling sabar.

Setiap kali melakukan pemadaman, PLN selalu saja menghadirkan berbagai argumen guna meyakinkan pelanggan terkait alasan-alasan pemadaman. Melalui argumen klasik, seperti tidak cukup arus, mesin rusak, dll – PLN terus berupaya melakukan justifikasi atas aksi pemadaman yang mereka lakukan.

Akhirnya, para pelanggan pun terpaksa menjadi insan-insan jabariyah yang senantiasa harus menerima bulat-bulat segudang alasan dari pihak PLN. Kondisi ini akhirnya telah menempatkan PLN pada posisi “tidak pernah salah.” Para pelanggan dipaksa untuk memahami praktik-praktik ulok ala PLN. Sebaliknya, PLN justru tidak pernah mencoba memahami kondisi pelanggan yang tiba-tiba saja dilanda kegelapan. 

Para pelanggan sendiri memiliki sikap berbeda dalam menilai aksi pemadaman yang dilakukan PLN. Sebagian besar pelanggan meluapkan kemarahannya melalui hujatan dan caci maki. Tapi sayangnya hujatan dari pelanggan ini tidak pernah membuat PLN berubah dan bahkan semakin ulok.

Sementara sebagian pelanggan lainnya mencoba bersikap bijak (atau mungkin sok bijak) dengan cara membenarkan aksi pemadaman oleh PLN dengan alasan tertentu. Tidak sedikit pula para pelanggan yang tiba-tiba berlagak layaknya pegawai PLN yang berusaha menghadirkan berbagai argumen guna membenarkan aksi pemadaman.

Lucunya lagi, pada saat aksi pemadaman sedang marak, ada pula beberapa netizen yang memposting foto-foto pegawai PLN yang tersangkut di tiang listrik via media sosial. Hal ini dilakukan dalam rangka menumbuhkan sikap empati dari pelanggan terhadap PLN yang katanya telah bekerja maksimal dan penuh resiko. Melihat foto-foto ini tentunya kita akan merasa iba sehingga kemarahan kepada PLN sedikit menurun.

Namun demikian, penampilan foto-foto kecelakaan yang menimpa pegawai PLN tidak bisa dijadikan alat guna menjustifikasi aksi pemadaman. Semua profesi pekerjaan tentunya memiliki resiko tersendiri. Lagi pula, para pelanggan tidak pernah menghujat pegawai PLN secara personal, karena pada prinsipnya mereka hanyalah pekerja yang dibayar. Hujatan dan kecaman para pelanggan ditujukan kepada PLN sebagai sebuah institusi yang bertanggungjawab terhadap kebutuhan listrik pelanggan.

Sementara itu, dalam menyikap aksi pemadaman, ada pula pelanggan-pelanggan “sufi” yang berpura-pura sabar. Dengan bermodalkan hikayat usang, si pelanggan sufi menyatakan bahwa kakek-nenek kita dulu tidak pernah merasakan listrik. Tapi mereka masih bisa hidup dengan panyot dan suwa (obor). Mereka tidak pernah mengeluh seperti kita hari ini. Demikian hikayat yang sering dirawi oleh pelanggan-pelanggan sufi.

Hikayat-hikayat serupa ini sudah ketinggalan zaman dan tidak bisa digunakan sebagai alat untuk menjustifikasi pemadaman. Kondisi kakek-nenek kita dulu tentunya jauh berbeda. Pada saat mereka hidup, memang tidak ada ketergantungan terhadap PLN, dan bahkan pada masa itu, PLN pun belum nampak batang hidungnya. Dengan demikian adalah wajar jika mereka tidak mengeluh dan menggunakan panyot.

Kondisi hari ini, kita memang telah dipaksa untuk bergantung kepada PLN. Dan kita juga tidak mendapatkan aliran listrik secara gratis. Setiap bulan kita dituntut untuk membayar. Dan bahkan jika terlambat, PLN akan menindak tegas dengan melalukan pemutusan aliran listrik. Dengan demikian, kita tidak perlu sok bijak meminta para pelanggan untuk menyediakan lilin dan panyot.

Penggunaan lilin dan panyot baru bisa dilakukan jika memang PLN benar-benar tidak mampu lagi menyuplai aliran listrik. Dalam hal ini, PLN tentunya harus dengan gagah berani mengumumkan kepada rakyat bahwa PLN sudah menyerah sehingga masyarakat bisa kembali ke peradaban panyot. Tapi kenyataannya PLN masih tetap ulok dan klo prip dengan menjual janji sehingga masyarakat terus berharap.

Artikel ini sudah diterbitkan di AceHTrend

loading...

No comments