Para Pemuja dan Akal Yang Tertidur

Oleh: Khairil Miswar 

Bireuen, 27 April 2017

Ilustrasi
Foto: wallpaper-gallery.net

Ahbib habiibaka haunan ma ‘asa an yakuuna baghiidhaka yauman ma, wabghidh baghidhaka haunan ma ‘asa an yakuuna habiibaka yauman ma (cintailah kekasihmu sekedarnya saja, bisa jadi orang yang kamu cintai itu akan menjadi orang yang kamu benci di kemudian hari. Dan bencilah musuhmu sekedarnya juga, siapa tahu suatu saat dia akan menjadi orang yang paling kamu cintai).

Kata-kata ini sudah sangat populer dan dihafal oleh sebagian kita. Sebagian kalangan menyandarkan perkataan ini kepada Ali bin Abi Thalib ra, dan sebagian lainnya menyandarkan kepada Nabi Saw. Dan Syaikh Al-Albani menyatakan riwayat ini sahih (dalam Sahih Al-Jami’i).

Meskipun kutipan di atas nampak biasa saja, tapi ia memiliki makna yang mendalam. Dan makna ini hanya akan ditemukan oleh mereka-mereka yang akalnya masih terjaga. Adapun bagi insan-insan yang akalnya telah tertidur, ia tidak akan mendapatkan apa-apa, kecuali teks-teks yang mati. 

Cinta dan benci adalah dua sisi rasa yang datang silih berganti. Ketika cinta berlalu, benci pun menghampiri. Demikian pula sebaliknya, ketika benci berakhir, cinta pun menyapa. Dalam kondisi tertentu, dua rasa ini pun saling bertubrukan sehingga cinta dan benci bercampuraduk. Dalam dunia remaja, mungkin kita sering mengalami perasaan cinta tapi benci kepada pujaan hati. Rasa yang datang bersamaan ini membuat para remaja menjadi galau, dan tidak sedikit pula yang justru kacau balau.

Karena cinta dan benci itu persoalan rasa, maka berlebih-lebihan akan berbuah petaka. Cinta yang berlebihan akan menidurkan akal sehingga lahirlah berbagai perangai lebay. Demikian pula sebaliknya, benci yang tak terperi pun akan menutup hati sehingga muncullah dendam kesumat. Oleh sebab itu, kedua rasa ini (cinta dan benci) harus mampu dikawal agar ia tidak meledak-ledak. “Sedang-sedang saja” kata Vety Vera, dan “jangan terlalu” kata Roma Irama.

Cinta dan benci bukan hanya milik kalangan remaja, tetapi ia adalah milik seluruh manusia. Jika ada manusia yang tidak memiliki rasa cinta dan benci, maka ia bukan manusia, tapi hanya patung yang berwujud manusia.

Para Pemuja

Dalam dunia politik, rasa cinta berlebihan akan melahirkan para pemuja dan dalam kondisi ekstrim bisa menciptakan penjilat. Sebaliknya, rasa benci dalam pentas politik akan melahirkan para pendengki dan dalam kondisi ekstrim akan menciptakan provokator.

Sebagai contoh, dalam pentas Pigub DKI beberapa waktu lalu kita disuguhkan dengan berbagai perilaku unik para tim sukses. Tim sukses Ahok misalnya, ada yang berani mempertaruhkan “kaleng susunya” demi kecintaannya kepada Ahok. Dia tidak sadar bahwa rasa cinta berlebihan tersebut telah menidurkan akalnya. Demikian pula dengan sikap sebagian pendukung Anis yang larut dalam eforia pasca kalahnya Ahok, seolah-olah surga sudah di depan mata. Dan akibat kebencian yang memuncak terhadap Ahok, muncullah meme-meme kocak yang sepintas nampak estetis, tapi tak etis.

Para pemuja Ahok dikabarkan ada yang stres akibat kekalahan yang tak pernah terduga. Demikian pula dengan segelintir pemuja Anis yang larut dalam kekaguman tiada henti. Kekaguman dan kecintaan berlebihan terhadap sosok tertentu pada akhirnya akan berbuah kecewa. Seiring perjalanan waktu, kekecewaan akan mengakibatkan si pemuja itu meratap. Dan ratapan ini akan berujung pada caci maki. Harapan yang dahulunya dipancang menjulang telah berganti dengan wajah penyesalan. Akhirnya, bunga-bunga cinta pun berguguran, dan api kebencian pun menyala-nyala.

Dalam dunia remaja, jika cinta dikhianati maka benci pun menusuk hati. Demikian pula halnya dalam politik. Hari ini para pemuja Anis masih bisa bersorak-sorai menepuk dada karena kemenangan telah diraih. Tapi nanti, seiring perjalanan waktu, bukan tidak mungkin sorak-sorai itu akan berubah menjadi caci maki ketika Anis gagal memenuhi harapan para pemuja.

Hari ini, sebagian kita (khususnya warga Jakarta) dengan penuh semangat mencela Ahok akibat tindak-tanduknya selama menjabat Gubernur DKI. Tapi bukan tidak mungkin, suatu masa nanti, para “pencela” justru akan menganggap Ahok sebagai tokoh legendaris yang sukses membangun Jakarta. Bukan tidak mungkin, pada suatu ketika nanti, Ahok akan menjadi Anis, dan Anis menjadi Ahok.

Dalam konteks Aceh, kita juga sudah cukup berpengalaman melihat fenomena cinta yang berubah menjadi benci. Dulu, pada awal-awal kemunculannya, Partai Aceh begitu dicintai oleh sebagian besar masyarakat Aceh. Hal ini dibuktikan dengan kemenangan mereka dalam Pileg 2009 dan Pilgub 2012. Tapi, kemudian apa yang terjadi? Ketika harapan yang diimpikan tidak kesampaian, cinta pun meredup – untuk tidak menyebut padam. Buktinya, hasil yang dicapai Partai Aceh pada Pileg 2014 tidak semeriah hasil Pileg 2009. Demikian pula dengan kemenangan pada Pilgub 2012 telah berganti dengan kekalahan pada Pilgub 2017.

Kecintaan dalam politik adalah kecintaan semu yang selalu berganti wajah. Lihat saja berapa banyak para pendukung Irwandi pada 2012 yang kemudian melompat dalam kubu Muzakir Manaf pada 2017. Sebaliknya, berapa banyak para pendukung Muzakir Manaf yang juga berhijrah dalam kubu Irwandi. Dan bahkan ada pula yang kerjanya melompat-lompat sehingga tiada hari tanpa lompat. 

Hari ini, Irwandi Yusuf telah memenangkan pertarungan dan sebentar lagi akan menduduki “kursi raja.” Semoga saja tidak lahir para pemuja yang akalnya tertidur, karena menidurkan akal sama artinya dengan mengundang kecewa. Kita juga berharap tidak ada lagi yang “mencaci” Partai Aceh dengan kebencian yang menyala-menyala, karena kebencian itu tidak pernah kekal. Pertarungan telah selesai. Yakinlah bahwa cinta dan benci akan datang silih berganti.

Artikel ini sudah diterbitkan di AceHTrend

loading...

No comments