Selamat Hari Kacingieng!

Oleh: Khairil Miswar 

Bireuen, 21 April 2017

Ilustrasi
Foto: http://liuwelli.deviantart.com

Seperti biasa, tanggal 21 April selalu saja diperingati sebagai Hari Kartini atau dalam bahasa kerennya, “Hari Ibu Kita Kartini.” Bagi masyarakat Indonesia, Kartini adalah simbol perlawanan wanita terhadap perilaku diksriminatif kaum laki-laki. Kartini juga dianggap sebagai pahlawan emansipasi wanita. Oleh sebab itu tidak perlu heran ketika sosok-sosok wanita sukses di Indonesia juga digelari sebagai Kartini.

Kita sepakat saja ketika Kartini disimbolkan sebagai sosok wanita hebat di Indonesia, karena kita paham bahwa perjuangan Kartini memang cukup berat. Tentu tidak mudah bagi seorang perempuan Jawa tempo doeloe untuk melawan adat-istiadat dan dominasi kaum pria atas kehidupan mereka. Untuk memahami perjuangan Kartini, tentunya kita tidak bisa melepaskan sosok tersebut dari kondisi zamannya. Artinya, kita tidak bisa menilai perjuangan seorang Kartini dengan kondisi hari ini. Wanita sekarang mungkin bisa dengan mudah mengirim sms atau bahkan foto-foto panas sekali pun kepada teman laki-lakinya via facebook atau WhatsApp, misalnya. Tapi, di masa Kartini untuk menulis surat kepada noni-noni Belanda saja cukup sulit. 

Namun demikian, kita tidak akan pernah sepakat jika hanya Kartini yang dianggap hebat. Ketidaksepakatan ini didasari oleh fakta-fakta yang menunjukkan bahwa di berbagai daerah di Indonesia juga pernah lahir dan hidup wanita-wanita yang tidak kalah dengan Kartini, atau bahkan lebih hebat. Di Aceh misalnya, seorang wanita tidak hanya pandai memasak dan “memasok”, tapi lebih dari itu. Ramai wanita-wanita Aceh yang menjadi panglima perang dan bahkan menjadi pemimpin bagi kaum pria. Jika di Jawa tempo doeloe wanita hanya mampu menggendong anak, maka di Aceh para wanita justru menjadi Sultanah yang memimpin negeri. 

Kacingieng

Uraian singkat di atas hanya sekedar basa-basi agar saya disebut nasionalis karena sedikit kenal dengan Kartini. Tentu akan dianggap aneh jika orang Indonesia tidak kenal Kartini, Namun demikian, kekaguman saya terhadap sosok Kartini tidak ada apa-apanya jika dibanding Cut Nyak Dhien, Cut Nyak Meutia dan Laksamana Malahayati yang tidak hanya “halus” di kasur tapi juga mampu menampar penjajah. Jika Kartini masih mampu “bermanis muka” dengan noni-noni Belanda, maka perempuan-perempuan Aceh masa lalu, dalam kondisi sekarat pun masih sempat “melaknat” penjajah dengan sebutan kafe budok

Nah, sekarang mari kita tinggalkan Kartini. Saya akan mengajak tuan dan puan untuk sejenak melihat kondisi sebagian wanita-wanita Aceh hari ini. Sebelumnya penting ditegaskan bahwa dalam melihat wanita, khususnya terkait pergaulan dan model pakaian, saya masih berpegang pada mazhab “ultra-konservatif” yang sangat menjunjung tinggi martabat wanita. Saya belum merasa bosan untuk terus melemparkan kritik kepada segelintir wanita-wanita Aceh yang terkesan tidak menjaga kehormatannya. Menjaga kehormatan tentunya tidak sebatas menjaga “bagian bawah” dari “barang-barang ilegal.” Tapi, penampilan dan model busana yang “melelang” aurat pun penting dijaga. Model pakaian yang tidak patut adalah pintu masuk yang mampu memantik birahi para penonton. Jika “bagian bawah” itu pendopo, maka aurat terbuka adalah gerbangnya.

Jika dulu kita mengenal Kartini sebagai simbol wanita hebat, maka sekarang kita disuguhkan dengan fenomena kacingieng sebagai simbol “wanita bebal.” Gejala kacingieng, telah mulai diperankan oleh beberapa oknum wanita Aceh. Tidak hanya di kota-kota, tapi juga di pelosok desa dengan model dan gayanya masing-masing.

Kata ngieng dalam Kamus Aceh-Indonesia (Aboe Bakar dkk, 1985:636) diartikan sebagai melihat atau memperhatikan. Dengan demikian, kalimat kaci ngieng bermakna “coba kamu lihat” atau “coba kamu perhatikan.” Kacingieng adalah sebuah strategi yang digunakan oleh segelintir “oknum wanita” untuk mengajak para penonton memperhatikan “barang-barang antik” yang mereka miliki. Oknum wanita ini berpakaian sekedarnya saja dengan model busana yang sangat sederhana dan bahkan minimalis. Dengan pakaian ini kemudian ia melenggak-lenggok di hadapan para “pemirsa.” Bagi sebagian pemirsa yang sudah berpengalaman, pemandangan itu akan dianggap biasa saja. Tapi ada sebagian pemirsa yang ketika melihat “barang antik” terbuka, tanpa sadar dari mulutnya meleleh cairan bening alias roe ie babah (keluar air mulut?). Dan ketika ini terjadi, biasanya si oknum wanita akan berujar “pu ngieng-ngieng? (apa lihat-lihat), padahal dalam hatinya dia berteriak “kacingieng-kacingieng-kacingieng…

Sebagai daerah yang telah menerapkan syariat Islam, kita hanya punya dua pilihan. Pertama, menjaga anak-anak kita, istri kita dan keluarga kita agar terhindar dari praktik kacingieng. Kedua, jika pilihan pertama tidak mampu kita jalankan, maka kita terpaksa mengusulkan kepada pemerintah untuk menetapkan Hari Kacingieng sehingga pandangan kita kepada “barang antik” itu tidak dibalas dengan pue ngieng-ngieng, tetapi disambut dengan ucapan selamat “Hari Kacingieng.”

Artikel ini sudah diterbitkan di AceHTrend

loading...

No comments