Apa Karya, Irwandi dan “Perang Wacana”

Oleh: Khairil Miswar 

Peureulak, 03 Februari 2017 

Penulis Saat mewawancarai Apa Karya (2016)

Berita bukanlah peristiwa, tetapi ia adalah sesuatu yang diserap setelah peristiwa, dan ia tidak identik dengan peristiwa, demikian dikatakan Sobur (2015) dalam salah satu bukunya. Kutipan singkat ini mengajarkan kita untuk tidak bertindak “buru-buru” dalam menyimpulkan sebuah pemberitaan yang dihadirkan media. Benar, media adalah pusat informasi, tetapi media bukanlah sumber kebenaran. Paul Watson (Sobur, 2015) mengatakan bahwa konsep kebenaran yang dianut media bukanlah kebenaran sejati, tetapi sesuatu yang dianggap masyarakat sebagai kebenaran. Dan Nimmo (2005) juga mengingatkan bahwa berita harus dibedakan dari kebenaran. 

Sementara itu, dalam memaknai sebuah peristiwa, media dapat menghadirkan berita yang berbeda-beda, tergantung sudut pandang, ideologi dan kecenderungan politik media tersebut. Sebuah penafsiran terhadap peristiwa yang dilakukan oleh media sangat tergantung pada framing (bingkai), karena setiap pemaknaan yang muncul tidak akan terlepas dari framing tersebut. Sebuah kisah yang diceritakan Noam Chomsky seperti dikutip Sobur tentang bajak laut dan armada pasukan laut misalnya, telah menunjukkan bagaimana sebuah peristiwa dimaknai berbeda-beda, di mana bajak laut disebut sebagai perompak, sementara armada laut disebut sebagai pahlawan, padahal keduanya sama-sama “mengambil upeti.” 

Sobur juga mengingatkan bahwa media tidak berada dalam ruang vakum, karenanya media tidak dapat melepaskan diri dari realitas sosial yang sarat dengan berbagai kepentingan, konflik dan fakta yang beragam. Memang harus diakui bahwa salah satu tujuan mulia media adalah menyampaikan kebenaran, tetapi seperti disebut Kovach dan Rosentiel (2006) bahwa orang-orang berselisih paham tentang apa yang dimaksud dengan kebenaran. Namun demikian Kovach dan Rosentiel berkeyakinan bahwa jurnalisme bisa sampai kepada kebenaran dengan cara menyingkirkan desas-desus, olok-olok, hal yang tak penting dan pelintiran serta berkonsentrasi pada apa yang benar dan penting. 

Kemudian, seperti dikemukakan Badara (2014), bahasa dan kosakata yang digunakan dalam sebuah berita juga akan berdampak pada penggambaran realitas. Artinya, bahasa yang berbeda akan menghasilkan realitas yang berbeda ketika dihadapkan pada khalayak. Selain itu, dalam penulisan sebuah berita juga sering terjadi upaya “pemarginalan” terhadap salah satu pihak seperti labelisasi yang menggunakan bahasa ofensif kepada pihak tertentu agar citranya menjadi buruk. Penting juga diketahui bahwa sebuah teks dalam berita tidak bisa dipahami ketika teks tersebut dipisahkan dari konteks yang menyertainya. 

Ulasan singkat di atas hanya sebagai pengantar guna memahami “tragedi buat anak” yang melibatkan Apa Karya dan Irwandi dalam ajang Debat Kandidat Gubernur baru-baru ini. Sebuah peristiwa “kecil” di ajang debat tersebut telah mendorong beberapa media untuk saling bersaing dalam melakukan rekonstruksi realitas atas peristiwa dimaksud dengan framing masing-masing. 

Perang Wacana 

Pasca Debat Calon Gubernur di Amel Convention (31/01/17) kita disuguhkan beberapa berita yang dalam pengamatan saya sangat tidak berimbang dan terkesan menyudutkan satu pihak. Kalimat Irwandi Yusuf yang ditujukan kepada Zakaria Saman (Apa Karya): “…Tapi yang lebih mudah lagi bikin anak. Tapi Apa Karya gak bisa (melakukan) itu” – telah “dipolitisir” sedemikian rupa sehingga memarginalkan salah satu pihak. 

Media AJNN merilis sebuah berita bertajuk “Irwandi Sindir Apa Karya, Zaini: Itu Bukan Jawaban Cerdas.” Pertanyaan pertama yang harus kita ajukan kepada media ini adalah: apa yang menjadi motif AJNN mengutip statemen Zaini Abdullah terhadap “tragedi” Irwandi dan Apa Karya? Bukankah ketiganya (Irwandi, Apa Karya dan Zaini) adalah kandidat? Bukankah gaya penyajian berita semacam ini akan semakin memperuncing masalah yang seharusnya bisa terselesaikan hanya antara Irwandi dan Apa Karya, tanpa melibatkan Zaini Abdullah? Lagi pula, pasca debat tersebut tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa Apa Karya keberatan dengan statemen Irwandi. Tudingan justru datang dari pihak luar, dalam hal ini Zaini Abdullah sebagaimana dirilis AJNN.net (31/01/17). Parahnya lagi, Apa Karya dan Irwandi selaku objek yang diberitakan justru tidak diberikan ruang untuk melakukan klarifikasi. Akibatnya, publik sebagai pembaca berita akan terjebak dalam strategi wacana yang dimainkan oleh media. Inilah yang kita maksud dalam uraian di awal tulisan ini, bahwa berita bukanlah kebenaran. 

Sementara itu, kutipan pernyataan Zaini Abdullah via AJNN: “Anak itu titipan ilahi…” jika dianalisis secara cermat akan menghasilkan sebuah kesimpulan bahwa posisi Irwandi dalam berita tersebut telah termarginalkan. Kalimat “Anak itu titipan ilahi” adalah sebuah strategi asosiasi yang tidak pada tempatnya. Kalimat ini memberi kesan bahwa Irwandi telah “menghina” seluruh manusia yang tidak punya anak, padahal kalimat Irwandi hanya ditujukan kepada Apa Karya. Pola asosiasi semacam ini dimaksudkan agar setiap pembaca (yang tidak memiliki anak) merasa tergugah dan terbawa emosi sehingga mereka akan menyimpulkan bahwa Irwandi tidak mampu menjaga perasaan saudaranya. Di sisi lain, tudingan Zaini Abdullah bahwa kata-kata Irwandi merupakan “ejekan” adalah gaya identifikasi yang tidak tepat. Dapat diasumsikan bahwa strategi identifikasi melalui kata “ejekan” dimaksudkan agar terbangun sebuah imajinasi di pikiran pembaca bahwa kehadiran Irwandi di panggung debat hanya untuk “mengejek” Apa Karya, padahal kenyataannya tidak demikian. Inilah yang kita maksud bahwa berita bukanlah peristiwa. 

Portalsatu.com (01/02/17) dalam pemberitaannya juga mengangkat judul yang lumayan “membingungkan.” Portalsatu.com menggunakan judul “Tak Etis, Irwandi Kenapa Sindir Masalah Pribadi Apa Karya?” Kata-kata “Tak Etis” dalam potongan judul berita portalsatu dalam kajian analisis wacana adalah strategi identifikasi, di mana kata-kata Irwandi kepada Apa Karya digambarkan sebagai sesuatu yang tidak etis alias tercela. Strategi identifikasi tersebut telah menempatkan Irwandi dalam posisi marginal dengan menggunakan frasa “tidak etis.” Di sinilah bahayanya ketika media tidak melakukan rekonstruksi berita secara komprehensif atas sebuah peristiwa. Namun demikian, penyajian berita portalsatu juga patut diapresiasi karena turut memuat klarifikasi dari Irwandi. 

Dalam berita yang dirilis portalfia.com, juru bicara Zakaria Saman – T. Alaidinsyah juga membuat pernyataan yang lumayan “brutal” dengan menyebut kalimat Irwandi terhadap Apa Karya sebagai “serangan yang paling brutal dan tidak bermoral.” Kalimat tersebut adalah model identifikasi subjektif yang akan berdampak pada munculnya persepsi buruk dari publik terhadap Irwandi sehingga Irwandi kembali termarginalkan dalam pemberitaan. Padahal, Apa Karya sendiri dalam beberapa kesempatan juga menggunakan kalimat yang hampir serupa (bernada ejekan), tetapi anehnya kalimat tersebut tidak pernah diidentifikasi sebagai “tidak baik” dan justru sering diidentifikasi sebagai “sekedar humor.” 

Beberapa potongan berita di atas hanya sekedar contoh bagaimana media memainkan strategi wacana guna mempengaruhi publik sebagai pembaca. Kita telah sama-sama menyaksikan bagaimana sebuah peristiwa yang sama tetapi mampu diberitakan melalui framing yang berbeda. Kata-kata gurauan Apa Karya dalam berbagai kesempatan selalu saja dipahami sebagai hanya candaan dan humor belaka, meskipun terkadang juga melukai orang lain. Sebaliknya, kata-kata Irwandi yang hanya sekali ucap justru dibingkai sebagai sebuah tindakan tercela, tidak etis dan tidak beradab. Dalam situsi semacam inilah, terkadang media disebut sebagai “pengontrol” kebenaran. Di tengah gencarnya arus informasi yang “maha hebat” saat ini, kita sebagai pembaca dituntut untuk jeli dan hati-hati. Sudah saatnya kita membedakan antara “brus putus” (hoax) dengan berita. Bahkan sebuah berita pun harus dianalisis secara cermat agar kita tidak terjebak dalam “perang wacana” sehingga kebenaran tenggelam. Jangan membonsai diri sebagai pembaca tipe muqallidun yang menelan bulat-bulat semua berita yang berkembang, tapi jadilah pembaca kritis yang tidak segan-segan menggunakan akal sehat untuk berpikir. Yakinlah bahwa berita bukanlah peristiwa, tetapi hanya sebuah rekonstruksi peristiwa yang ditulis berdasarkan ideologi, sudut pandang dan framing tertentu. Wallahu A’lam.

Artikel ini sudah diterbitkan di AceHTrend

loading...

No comments