Pilih Ulama Atau Juhala?

Oleh: Khairil Miswar 

Bireuen, 18 Januari 2017

Penulis (Khairil Miswar) Tahun 2002 

Sebelum terlalu jauh, baiknya diingatkan di awal, bahwa tulisan ini hadir bukan sebagai kampanye politik, tapi hanya ekspresi keresahan atas sikap “galau” segelintir politisi di Aceh, khususnya di Bireuen – tempat lahir beta. Beberapa hari lalu, (16/01/17) saya sempat membaca sebuah artikel menarik yang ditulis oleh Pimpinan Redaksi AceHTrend, Muhajir Juli dengan tajuk “Cara Kautsar Melihat Manusia.” Judul artikel tersebut sempat membuat saya penasaran sehingga saya ingin cepat-cepat mengetahui siapa Kautsar yang dimaksud dalam tulisan itu. Apakah dia seorang filsuf besar, seperti Nietzsche? Atau dia seorang psikolog seperti Freud? Atau dia seorang ulama besar seperti Ibn Taimiyah? Pertanyaan serupa ini terus mendesak saya untuk sesegera mungkin membaca artikel tersebut.

Rasa penasaran yang terus memuncak itu tentu tidak aneh. Karena telah menjadi satu kelaziman bahwa hanya tokoh-tokoh besar yang pikiran-pikirannya menarik untuk ditulis. Dengan demikian, tentu tidak berlebihan jika Kautsar yang namanya terpampang di judul tulisan Muhajir Juli adalah sosok besar. Jika tidak, tentu Muhajir Juli tidak akan membuang-buang waktu untuk menulis. Saya pun membaca tulisan tersebut baris demi baris, sampai tuntas. Akhirnya, saya pun paham siapa Kautsar yang dimaksud. Dengan demikian dugaan saya tentang sosok semisal Nietzsche, Freud dan Ibn Taimiyah pun gugur dengan sendirinya. Kautsar adalah politisi! Bukan pemikir!

Dalam tulisannya tersebut Muhajir Juli telah mencoba melakukan penafsiran terhadap kalimat-kalimat yang disajikan oleh Kautsar dalam status facebooknya. Meskipun saya telah membaca tuntas tulisan Muhajir, tapi saya belum percaya bahwa kalimat-kalimat itu keluar dari sosok Kautsar. Secara khusus, saya memang tidak kenal dengan sosok Kautsar, demikian juga sebaliknya. Tapi, saya masih terkenang-kenang ketika dulu masa konflik sempat “peuplung karton” (bawa poster) dan “gokgok pageu Polres” (menggoyang pagar Polres) ketika Kautsar ditahan pihak keamanan. Pada era 1999-2003, sebagai anak muda saya juga terlibat cilet-cilet dalam berbagai aksi demonstrasi di Banda Aceh. Kalau tidak salah ingat, saya juga sempat bertemu dengan Kautsar di sebuah LP di Banda Aceh pada saat mengunjungi seorang teman. Ingatan-ingatan inilah yang membuat saya tidak percaya Kautsar mengeluarkan pernyataan seperti dikutip Muhajir Juli.

Kemudian saya pun mencoba melacak status Kautsar sebagai sumber primer tulisan Muhajir Juli. Dan saya pun bertemu langsung dengan kalimat-kalimat itu. Akhirnya saya percaya, bahwa status tersebut milik Kautsar.

Menyimak Kalimat Kautsar

Saya akan mencoba membagi tulisan Kautsar di status facebooknya ke dalam beberapa bagian berikut: Pertama, “Di Bireuen sedang ada perdebatan tentang ulama yang berkeinginan menjadi umara.” Kalimat ini benar tetapi tidak tepat. Benar karena memang perdebatan tersebut sempat berlangsung di Bireuen, tetapi hanya sebatas “diskusi facebok” dan tidak lebih dari itu. Tidak tepat karena, perdebatan itu terjadi pra penetapan. Artinya pasca penetapan calon oleh KIP, perdebatan ini sudah selesai. Artinya kalimat yang diajukan Kautsar sudah kadaluarsa.

Kedua, “sebagian ada yang setuju dan sebagian lagi beranggapan ulama ialah ulama dan bukan umara; tidak boleh mencampuri diantara [sic] keduanya”. Kalimat ini bermasalah. Kalimat yang benar adalah “sebagian setuju dan sebagian tidak setuju.” Kemudian muncul pula pertanyaan, bagaimana kita memahami terminologi ulama? Apakah ulama itu profesi seperti dokter atau tukang pangkas rambut? Atau ulama itu sebuah kondisi (keadaan) seperti “cerdas” dan “bodoh.” Jika kita memahami ulama sebagai sebuah profesi sehingga ia tidak boleh menjadi umara, maka kita juga harus sepakat bahwa dokter, petani, nelayan, pengurus parpol dan profesi lainnya pun tidak boleh menjadi umara, karena mereka terhalang oleh profesi. Demikian pula jika kita memahami ulama sebagai sebuah kondisi (keadaan), maka kita telah menghalangi orang-orang pandai untuk menjadi umara. Artinya, jika kita tidak sepakat ulama (orang pandai) menjadi umara, maka kita telah membuka pintu kepada juhala (orang bodoh). 

Kemudian, jika ulama dan umara tidak boleh dicampur (memakai istilah Kautsar), lantas bagaimana nasib Umar bin Abdul Aziz misalnya. Bukankah dia umara sekaligus ulama? Atau contoh yang lebih dekat Teungku Muhammad Daud Beureueh (pernah menjabat Gubernur Aceh), bukankah beliau seorang umara dan juga ulama? Tentunya fakta-fakta sejarah ini perlu dijelaskan secukupnya oleh Kautsar.

Ketiga, “Kalau saya setuju saja jika ada ulama berkeinginan menjadi umara. Silakan, biar semua kita tahu bahwa ulama juga manusia biasa: Need to power dan punya potensi untuk korup.” Sepintas, kalimat ini cukup “moderat”, tapi “menusuk.” Moderat karena si empunya kalimat tidak menutup ruang bagi siapan pun untuk menjadi umara. Adapun “menusuk” karena di kalimat terakhir, justru terkesan melekatkan perilaku korup pada umara. Pola generalisasi semacam ini tentunya sangat tidak cerdik apalagi dilakukan oleh seorang cendikiawan. 

Namun demikian, kita sepakat bahwa siapa pun punya potensi untuk korup, tidak terkecuali ulama. Nah, jika ulama saja punya potensi untuk korup, bagaimana pula dengan juhala? Bukankah praktik korup itu sendiri terjadi karena kejahilan? Sekarang, terserah kita, apakah kita ingin menyerahkan kepemimpinan kepada ulama atau kepada juhala? Wallahu A’lam.

Artikel ini sudah diterbitkan di AceHTrend

loading...

No comments