Pemuda dan Kecerdasan Emosional

Oleh: Khairil Miswar 

Bireuen, 01 Februari 2016

Ilustrasi. Sumber: www.free-management-ebooks.com

Gardner sebagaimana dikutip Hamzah B. Uno (2009) menyebut bahwa seseorang memiliki berbagai rupa kecerdasan, seperti kecerdasan logis matematis, kecerdasan bahasa, kecerdasan musical, kecerdasan visual spasial, kecerdasan kinestetis, kecerdasan naturalis, kecerdasan interpersonal dan kecerdasan intrapersonal. Selain itu, dalam dunia pendidikan juga dikenal istilah kecerdasan emosional yang dalam pandangan Salovey dan Meyer masuk dalam lingkup kecerdasan sosial (Aunurrahman, 2012). Salah satu bentuk kualitas emosional yang penting bagi keberhasilan seseorang menurut Salovey dan Meyer adalah kemampuan mengendalikan amarah.

Aunurrahman menjelaskan bahwa kekuatan emosi seringkali mengalahkan kekuatan nalar, sehingga ada suatu perbuatan yang secara nalar tidak mungkin dilakukan, tetapi karena kekuatan emosi perbuatan tersebut bisa saja dilakukan. Karena emosi merupakan suatu kekuatan yang dapat mengalahkan nalar, maka diperlukan upaya untuk mengendalikan, mengatasi dan mendisiplinkan emosi.

Dari ulasan singkat di atas, pahamlah kita bahwa kecerdasan emosional punya peran penting dalam menunjang kesuksesan seseorang, baik akademisi, politisi, birokrat, agamawan, pengusaha dan juga tokoh masyarakat. Seseorang yang mampu mengendalikan emosinya, baik rasa senang maupun rasa marah, maka dia telah cerdas secara emosional. Sebaliknya, orang-orang yang tunduk kepada emosi, maka tanpa sengaja dia telah membunuh nalarnya.

Pemuda dan Emosi 

Baru-baru ini, seorang tokoh muda di Aceh yang entah sengaja atau tidak telah mengeluarkan sebuah statement yang lumayan “pedas”, tapi “sangat tidak cerdas”. Portalsatu.com meriwayatkan bahwa ketua KNPI Aceh, Jamaluddin mengatakan bahwa untuk memberantas narkoba harus dilakukan serius dengan membakar rumah bandar narkoba. Menurut Portalsatu.com, Jamaluddin mengaku sudah beberapa kali menyerukan untuk membakar rumah bandar narkoba. Hal tersebut juga disarankannya kepada aparat penegak hukum, termasuk saat pertemuan dengan Kapolda Aceh dan Gubernur Aceh di Meuligoe beberapa waktu lalu. Jamaluddin sangat optimis jika “sikap tegas” itu dipraktekkan maka peredaran narkoba di Aceh akan terjepit dan hilang. Uniknya, Jamaluddin sadar bahwa aksi membakar rumah menyalahi aturan hukum yang berlaku di Indonesia. Namun jika merujuk terhadap bahaya narkoba yang akan mengancam generasi muda dan penurus bangsa, Jamal menilai sudah saatnya aksi itu dilakukan (portalsatu.com, 31/01/16).

Jika statement Jamaluddin di atas dianalisis dengan menggunakan konsep kecerdasan emosional, maka rasanya tidak ada keraguan untuk menyebut ucapan tersebut sebagai tindakan yang “menginjak” nalar. Kita sepakat dengan Jamaluddin bahwa narkoba harus dibasmi. Kita pun setuju dengan Jamaluddin bahwa Bandar narkoba harus dihukum seberat-beratnya. Kita juga yakin, bahwa tidak ada khilaf tentang bahaya narkoba. Apalagi beberapa waktu lalu media mengabarkan bahwa di Lhoksemawe pengaruh narkoba telah menjalar pada pelajar. Tapi ajakan Jamaluddin untuk membakar rumah Bandar narkoba tidak dapat dibenarkan dari sudut pandang manapun, kecuali jika ditinjau dari perspektif “barbarian”.

Di satu sisi, saya paham betul kenapa seorang Jamaluddin yang kononnya adalah tokoh pemuda sampai mengeluarkan pernyataan yang bernuansa “primitif” semacam itu. Ucapan tersebut merupakan bentuk kekesalan seorang Jamal terhadap narkoba yang sudah sangat meresahkan. Namun di sisi lain, seruan Jamal untuk membakar rumah bandar narkoba mengindikasikan bahwa Jamal tidak mampu mengelola amarah yang merupakan salah satu aspek kecerdasan emosional. Padahal, sebagai seorang tokoh pemuda, Jamal harus memiliki kecerdasan emosional.

Kita benci narkoba sebagaimana kita membenci kejahatan-kejahatan yang lain. Ajakan Jamal untuk membakar rumah bandar narkoba kononnya disebabkan karena tindakan mereka sudah sangat meresahkan. Tapi, bukankah kita juga benci koruptor yang telah memakan uang rakyat? Lantas patutkah kita berseru kepada khalayak untuk mengeluarkan parang, keris, pedang dan tombak untuk membacok para koruptor di negeri ini? Kita juga benci pemimpin-pemimpin politik yang seumur hidupnya menipu rakyat. Tapi apakah kita harus mengajak orang-orang untuk melepaskan bom hidrogen ke rumah mereka agar mereka dan keluarga mereka punah? Tentu tidak. Di sinilah dibutuhkan kecerdasan emosional agar tindakan yang kita lakukan tidak membelakangi nalar. Jika kita dengan sengajar menginjak nalar, lantas apa bedanya kita dengan tukang piep sabu yang sudah bercerai dengan kewarasan?

Akhirnya, saya cuma bisa mengatakan bahwa Jamaluddin benar dalam tujuan, tapi keliru dalam ucapan. Saya juga menganjurkan kepada Jamaluddin untuk belajar membedakan antara tegas dan beringas. Mari lawan narkoba dengan kewarasan!

Artikel ini sudah diterbitkan di Aceh Trend
loading...

No comments