Tolak Kelompok Bersenjata di Aceh!

Oleh: Khairil Miswar 

Banda Aceh, 16 Januari 2016

Ilustrasi. Sumber Foto: www.pinterest.com
Menjelang berakhirnya tahun 2015, kelompok bersenjata paling dicari oleh pihak Kepolisian yang dipimpin oleh Din Minimi memutuskan untuk turun gunung alias menyerah kepada Badan Intelejen Negara (BIN), tepatnya kepada Sutiyoso yang saat ini menjabat sebagai kepala BIN. Aksi menyerahnya Din Minimi membuat banyak pihak tercengang dan terheran-heran – dan sebagian terkagum-kagum, sebab sebelumnya kelompok ini telah memaklumkan “perang” terhadap Pemerintah Aceh dibawah kendali Zaini-Muzakkir (Zikir).

Sebelum menyerah, kelompok Din Minimi telah mengkampanyekan dirinya sebagai seorang “patriot” yang akan memperjuangkan kesejahteraan bagi mantan kombatan GAM, anak yatim dan janda korban konflik yang menurutnya belum mendapat perhatian maksimal dari Pemerintah Aceh. Akibat gerakannya yang menggunakan senjata, akhirnya kelompok ini menjadi incaran pihak Kepolisian. Meskipun dalam setiap kesempatan Din Minimi menyebut bahwa mereka tidak bermusuhan dengan TNI-Polri, namun hal tersebut tidak membuat pihak aparat, khususnya Kepolisian, berdiam diri atas tindakan Din Minimi yang dinilai “membuat gaduh”. Penyergapan demi penyergapan pun terjadi, sebagian anggota Din Minimi berhasil ditangkap dan beberapa lainnya tewas di tangan “serdadu” Kepolisian.

Aksi menyerah Din Minimi Cs beberapa waktu lalu disinyalir didahului oleh negosiasi antara kelompok itu dengan kepala BIN Sutiyoso yang membuahkan beberapa “kesepakatan”, di antaranya adalah penyerahan senjata kepada BIN dan pemberian amnesti kepada Din Minimi. Tidak hanya itu, Din Minimi juga meminta KPK untuk turun ke Aceh, sebuah permintaan bernuansa intelektuil yang entah murni permintaan dirinya atau entahlah. Pasca menyerahnya Din Minimi yang disertai dengan wacana pemberian amnesti, telah memunculkan beragam komentar dari para pengamat, pakar hukum, sosiolog, aktivis dan juga masyarakat luas yang bermuara kepada pro kontra. Sebagian pihak mendukung amnesti kepada Din Minimi sebagai bentuk penyelesaian politik, dan sebagian yang lain menolak karena dianggap akan merusak tatanan hukum dan dikhawatirkan akan memberi “angin segar” kepada pihak lainnya untuk mengangkat senjata di kemudian hari. Terkait pro kontra ini, Tabloid Pikiran Merdeka telah mengulasnya dengan baik dalam beberapa edisi terbitannya. 

Baru-baru ini, pasca menyerahnya Din Minimi, muncul kembali sosok yang mengaku sebagai pecahan pasukan Din Minimi yang bernama Abu Rimba. Namun uniknya, Din Minimi membantah Abu Rimba sebagai bagian dari kelompoknya (portalsatu.com). Kelompok Abu Rimba yang mengklaim memiliki 40 anggota ini kembali memproklamirkan diri sebagai “pejuang” yang akan menuntut kesejahteraan dari Pemerintah Aceh. Menurut kelompok Abu Rimba yang dilansir AJNN (17/01/16), Zaini-Muzakkir telah mengkhianati rakyat Aceh.

Trend Perlawanan

Abu Rimba sebagaimana dikutip aceh.tribunnews.com mengaku bahwa mereka mengangkat senjata murni karena ingin memperjuangkan hak warga Aceh, khususnya korban konflik dan para kombatan Gerakan Aceh Merdeka yang selama ini tidak mendapat perhatian dari Pemerintahan Aceh. Yang menjadi pertanyaan di sini, siapa yang memberikan mandat kepada Abu Rimba untuk kembali melakukan gerakan konfrontasi dengan Pemerintah Aceh? Jika memang ingin memperjuangkan kesejahteraan bagi masyarakat Aceh kenapa harus dengan senjata? Siapa yang hendak diperangi? Pemerintah Aceh adalah pemerintahan sipil, bukan militer, lantas apa fungsinya senjata?

Saya melihat bahwa perlawanan bersenjata dengan dalih memperjuangkan kesejahteraan rakyat sudah mulai menjadi trend di Aceh. Ada berbagai motif yang mendorong pelakunya untuk melakukan pola gerakan model tersebut, baik motif bersifat politis maupun ekonomi. Dalam konteks politik, kehadiran kelompok bersenjata semacam ini berfungsi sebagai alat propaganda bagi pihak pihak tertentu untuk melakukan pressure bagi lawan-lawannya. Aksi ini bisa juga dipahami sebagai bentuk show of force guna menunjukkan kepada publik bahwa masih ada kekuatan yang akan mendukung gerakan politik kelompok tertentu. Kemunculan kelompok ini bisa pula diasumsikan sebagai salah satu bentuk “teror” dalam rangka menekan pengaruh kelompok politik mayoritas yang saat ini berkuasa sehingga dalam kondisi tertentu oleh sebagian awam kelompok tersebut akan dianggap sebagai pahlawan yang akan memperjuangkan hajat mereka. Kondisi ini akan membuat kelompok tersebut sulit tertangkap karena keberadaannya yang seolah “dilindungi” oleh masyarakat. Dalam menjalankan aksinya kelompok semacam ini biasanya akan menghembuskan isu-isu kesejateraan dan kekecewaan kepada pemrintah yang berkuasa.

Selain motif politik, motif ekonomi juga bisa menjadi pemicu lahirnya kelompok bersenjata di Aceh. Kelompok semacam ini akan melakukan “teror” terhadap pelaksanaan proyek-proyek pemerintah dengan tujuan mendapatkan bagian (fee) dari pekerjaan tersebut. Kelompok ini juga tidak segan-segan melakukan penculikan terhadap siapa pun yang dianggap bisa menjadi ladang untuk mencari uang tebusan. Dalam kondisi tertentu kelompok ini juga melakukan berbagai tindakan kriminal seperti perampokan dan pemerasan. Dalam melakukan aksinya kelompok tersebut biasanya juga mengangkat isu-isu kesejahteraan untuk menjustifikasi tindakan mereka.

Kemunculannya kelompok-kelompok bersenjata di Aceh pasca damai tidak terlepas dari lemahnya penegakan hukum dan juga diiringi oleh keterlibatan pihak-pihak berkepentingan. Adalah mustahil jika kelompok-kelompok tersebut dapat eksis tanpa ada “dukungan” dari pihak-pihak tertentu. Dari mana mereka mendapatkan senjata dan amunisi jika mereka tidak memiliki “sponsor”. Demikian juga dengan logistik untuk kebutuhan hidup dan bertahan di hutan dalam jangka waktu yang lama. Kelompok bersenjata di Aceh terlihat tidak terkendala dengan hal-hal seperti ini, sehingga tidaklah berlebihan jika kita menduga bahwa keberadaan kelompok tersebut ditunggangi oleh pihak tertentu yang sampai saat ini masih “misterius”. 

“Perlawanan Semesta” 

Pasca menyerahnya Din Minimi seharusnya persoalan kelompok bersenjata di Aceh sudah selesai. Apa yang dilakukan oleh Din Minimi seharusnya menjadi contoh teladan bagi kelompok-kelompok sempalan yang ada di Aceh untuk meninggalkan perlawanan dengan senjata yang sudah ketinggalan zaman. Sudah saatnya kelompok sempalan di Aceh berhenti menjual nama rakyat untuk kepentingan kelompok. Din Minimi sudah berusaha melakukan “perjuangan” lewat senjata (kekerasan), tapi toh “gagal” dan tidak membuahkan hasil apa-apa.

Saya melihat, bahwa isu kesejahteraan yang diangkat sebagai slogan oleh kelompok bersenjata di Aceh hanya bualan saja. Mereka menyebut diri sebagai pejuang kesejahteraan bagi janda dan yatim korban konflik, tapi nyatanya dalam melakukan aksinya mereka justru telah melahirkan janda dan yatim-yatim baru. Keberadaan kelompok bersenjata tersebut bukannya menyelesaikan masalah, tapi justru menambah masalah baru sehingga kondisi kesejahteraan itu sendiri menjadi semakin rumit. 

Perjuangan dengan kekerasan hanya akan mengacaukan kondisi keamanan dan merusak kenyamanan masyarakat. Sudah tidak masanya lagi menciptakan kegaduhan-kegaduhan dengan dalih kepentingan rakyat, tapi rakyat justru tidak mendapatkan apa-apa dari gerakan tersebut, jika pun ada hanyalah ketakutan dan hiruk pikuk yang tidak perlu. Pola “perjuangan” menggunakan senjata hanya akan menciptakan problema baru dengan jatuhnya korban. Pada saat dilakukan penyergapan dan penangkapan, justru masyarakat pula yang menjadi sasaran dan bulan-bulanan petugas.

Keberadaan kelompok bersenjata di Aceh harus segera diakhiri dengan melakukan “perlawanan semesta”. Seluruh elemen masyarakat Aceh harus terlibat aktif untuk menolak keberadaan kelompok bersenjata, baik yang bernuansa politik maupun kriminal murni. Keberadaan kelompok bersenjata ini harus dideteksi sejak dini mulai dari desa yang melibatkan kepala desa dan tokoh-tokoh masyarakat. Ulama juga harus mengeluarkan fatwa guna menumbuhkan kesadaran bagi para pelaku untuk “bertaubat” dan kembali kepada masyarakat. Demikian juga dengan penegak hukum agar tidak “memanjakan” kelompok tersebut sehingga mereka “naik daun”, tentunya dengan profesionalitas dan sesuai prosedur.

Harga perdamaian itu mahal sehingga “wajib” untuk dilestarikan oleh segenap masyarakat Aceh. Sudah saatnya mengangkat slogan bahwa “kelompok bersenjata adalah musuh rakyat Aceh”. Wallahul Musta’an.

Artikel ini sudah diterbitkan di Tabloid Pikiran Merdeka

loading...

No comments