Bahasa Kita

Oleh: Khairil Miswar

Bireuen, 15 Desember 2015

Ilustrasi. Sumber Foto: commons.wikimedia.org
Tindakan salah ucap yang mungkin tanpa sengaja telah dipraktekkan oleh guru kita Syaikh Muda Tuanku Samunzir bin Husein pada perayaan Milad GAM ke 39 beberapa waktu lalu, telah memberi inspirasi bagi banyak penulis di Aceh untuk mencurahkan isi kepalanya melalui tulisan yang beraneka rupa. Ada penulis yang secara “ikhlas” melakukan pembelaan, dan bahkan seperti membenarkan kata-kata itu berhamburan di udara dengan dalih untuk menaikkan semangat pendengar. 

Ada juga penulis yang membelanya secara kritis alias memuji sambil mengkritik (yang baik dipuji, yang tidak baik dikritik). Di luar itu ada pula yang menyerang sang ustaz habis-habisan tanpa ampun dengan menggunakan kata-kata yang serupa alias teunak dibalas teunak, model ini banyak dilakukan oleh para penulis status facebook dan “pabrik” pembuat meme. Dengan demikian sudah sewajarnyalah para penulis itu mengucapkan “terima kasih” kepada Samunzir, karena berkat ucapan beliaulah tulisan-tulisan itu lahir. Yang belum pernah menulis, Alhamdulillah sudah bisa menulis. Yang kehilangan ide ketika berhadapan dengan pena (laptop), Alhamdulillah sudah dapat ide, dan seterusnya.

Beberapa kalimat di atas cukuplah sebagai basa-basi alias muqaddimah tulisan ini. Dalam tulisan ini, kita tidak lagi memperbincangkan Samunzir, apalagi beliau sudah mengaku khilaf via Tabloid Modus Aceh. Penting pula dicatat, bahwa tulisan-tulisan terdahulu yang kita tujukan kepada beliau, bukanlah untuk menghakimi atau pun menyudutkan, tetapi hanya menjalankan perintah agama dan juga pesan endatu.

Tentang Bahasa

Dulu, ketika masih kecil, nenek dan orang tua melarang saya untuk bicara kah-ke – katanya kalau bicara kah-ke nanti timoh ikue jeut keu asee (bicara kah-ke tumbuh ekor jadi anjing). Sekali saja mulut saya mengeluarkan kata kah-ke di hadapan ayah atau paknek (kakek), maka kumpulan lima jari itu akan mendarat di bibir, tanpa aba-aba – p’am! Lain lagi kalau kata-kata kah-ke terdengar oleh almarhum ibu dan mami (nenek) saya, maka saya akan dieksekusi dengan hukuman peucapli (mulut disumpal cabe). Beda orang beda hukuman, kalau kata itu didengar oleh paman saya, maka hukumannya adalah geu ikat bak eumpueng seureungga (diikat di sarang serangga) – sadis memang, sama sadisnya dengan kata-kata kah-ke itu sendiri, setidaknya di telinga kami dan di telinga orang-orang Peusangan pada umumnya. Bahkan kalau ada orang tua yang bicara kah-ke maka akan di olok-olok oleh orang tua lain dengan kalimat bek kapeugah haba kah-ke dikeu ke. Kadang-kadang juga diolok dengan ejekan kah mak, droneuh asee (kau ibu, anda anjing). Artinya untuk ibunya dia memakai kata kasar, tapi untuk binatang dia sopan. Begitulah kira-kira.

Meskipun bahasa kah-ke terdengar tidak sopan di telinga orang Peusangan, tapi bisa jadi di daerah lainnya kata-kata tersebut dianggap biasa saja. Pada saat masih remaja, ketika masih sekolah, saya sempat kebingungan mendengar bahasa kawan-kawan saya yang dengan enteng berujar hai pak kabi bola siat atau kalimat long singeh hana kujak sikula. Meskipun demikian, tentunya saya tidak bisa menyebut mereka tidak sopan, karena ukuran kesopanan itu, apalagi terkait bahasa memiliki standar yang berbeda-beda. Dengan demikian, tentang bahasa kah-ke ini mungkin masih berada dalam lingkungan “khilafiyah”.

Lantas bagaimana dengan teumeunak? Apakah ia juga khilaf? Tulisan yang ditulis oleh saudara kita Zahlul Pasha di Aceh Trend dengan tajuk “Narasi Tabu Aceh” sudah cukup memberikan jawaban atas pertanyaan ini. Secara umum, mungkin bisa “disepakati” meskipun dalam tanda kutip, bahwa tidak ada khilaf tentang tercelanya perbuatan teumeunak. Kita boleh saja menyisipkan kata-kata teumeunak itu dalam senda-gurau, tapi aroma kata-kata itu tetap tidak sedap di telinga.

Bagi orang-orang Peusangan pada umumnya, perbuatan teumeunak adalah pantangan besar. Kalau kata-kata ini didengar oleh teungku-teungku kami sewaktu mengaji di dayah, tentu kami akan dijatuhi hukuman peugleh peuluncȏt (mencabut peluncut) di halaman dayah, atau diberi tugas uet kulah (membersihkan tempat wudhu). Kalau masih diulang juga maka kami harus siap-siap berhadapan dengan bak rante kinyet (sejenis alat sebat). Kalau aktivitas teumeunak ini kami dilakukan di rumah, maka hukumannya adalah paleut (tamparan), peucapli (disumpal cabe) atau eumpueng seureungga (sarang serangga). Pilih mana?

Bahkan orang-orang tua dulu, khususnya di Peusangan, meyakini bahwa kebiasaan teumeunak akan menjadikan pelakunya papa (miskin). Sewaktu masih kecil, saya juga dilarang oleh nenek dan kakek saya untuk teumeunak di depan burung merpati. Mereka meyakini bahwa kebiasaan teumeunak akan membuat merpati-merpati itu pergi, dan tidak lagi kembali. Kita boleh saja menyebut keyakinan ini sebagai mitos atau bahkan khurafat, karena tidak ada sandaran dalilnya. Tapi, begitulah orang tua dulu menasehati kita agar meninggalkan perbuatan sia-sia semisal teumeunak. Wallahu A’lam.[]

Artikel ini sudah diterbitkan di Aceh Trend
loading...

No comments