Fenomena Peublo Cap di Aceh

Oleh: Khairil Miswar 

Bireuen, 12 November 2015

Ilustrasi. Sumber: justsomethingimade.com
Dalam beberapa minggu terakhir ada beberapa “cap” (stempel) yang “laku keras” di Aceh. Cap-cap dimaksud adalah “pungo”, “pengkhianat”, dan “sesat”. Ketiga cap ini menjadi topik perbincangan paling hangat akhir-akhir ini. Jika diurut berdasarkan waktu, cap paling tua adalah “pengkhianat”. Cap ini sudah beredar luas pada masa kolonial yang ditujukan kepada “antek-antek kafir” (penjajah). Cap “pengkhianat” tidak hilang begitu saja dan terus lestari pada masa-masa selanjutnya, khususnya pada saat konflik bersenjata antara GAM dan RI. Pasca damai Aceh, cap ini juga masih laris manis, khususnya di panggung politik. Saya ingat betul pada pemilu legislatif 2009, cap ini laku keras di Aceh. Demikian pula pada pilkada 2012, cap tersebut juga masih beredar di arena politik. Baru-baru ini, cap “pengkhianat” juga kembali populer. Kali ini cap tersebut disematkan kepada para “penggugat UUPA”.

Cap kedua adalah “pungo”. Ditinjau dari segi usia, cap ini juga muncul pada masa kolonial, di mana Belanda menyebut masyarakat Aceh sebagai Aceh Moorden. Istilah “Aceh Pungo” yang awalnya digunakan oleh Belanda pada masa kolonial, kembali dipopulerkan oleh Taufik Al-Mubarak melalui judul bukunya yang lumayan “provokatif”, “Aceh Pungo”. Beberapa waktu lalu, media Serambi Indonesia juga menyajikan satu tajuk berita yang lumayan fenomenal, “APBA Pungo”. Kononnya, istilah APBA Pungo tersebut merupakan hasil “ijtihad” dari Gubernur Aceh, Zaini Abdullah.

Cap ketiga adalah “jahannam Aceh”. Cap ini kononnya lahir pada saat Pilpres 2014 yang saat itu dimenangkan oleh Jokowi-JK. Tentang apa dan bagaimana penafsiran dari cap “jahahannam Aceh” sangat sulit untuk diterjemahkan. Interpretasi yang tepat tentu hanya diketahui oleh “pembuat” cap.

Cap keempat adalah “sesat”. Menurut “riwayat” yang berkembang dan kononnya sudah “mutawatir”, cap ini merupakan “hasil karya” guru kita Rustam Effendi yang merupakan dosen Fakultas Ekonomi Unsyiah. Dalam pernyataannya, Rustam Effendi menyebut bahwa aktivis Aceh sudah sesat. Komentar Rustam Effendi ini selanjutnya juga mendapat tanggapan dari salah seorang aktivis Aceh, Muhammad MTA.

Tidak lama berselang, muncul pula cap kelima, yaitu “lebay”. Cap ini disusun secara “rapi” dan “sistematis” oleh rekan kita Teuku Kemal Fasya, seorang Antropolog dari Unimal. Pernyataan Teuku Kemal Fasya ini kononnya sebagai reaksi terhadap komentar Rustam Efendi yang menyebut bahwa aktivis sudah “sesat”.

Rupanya cap kelima bukanlah cap terakhir. Beberapa menit yang lalu, media mengabarkan bahwa telah muncul cap keenam, yaitu “pahlawan kesiangan”. Dalam keterangannya, Rustam Effendi meminta Teuku Kemal Fasya agar tidak menjadi pahlawan kesiangan.

Demikianlah enam cap yang berhasil saya himpun, sembari menunggu munculnya cap-cap terbaru. Enam cap yang telah uraikan di atas tidak saya beri penafsiran karena saya tidak punya otoritas untuk itu. Namun yang jelas, di antara cap-cap yang beredar, tentu ada yang bernilai positif dan ada pula yang negatif. Wallahu A’lam.

Artikel ini sudah diterbitkan di Aceh Trend
loading...

1 comment: