Jangan Kerdilkan Mahasiswa!

Oleh: Khairil Miswar 

Bireuen, 11 Oktober 2015

Sumber Foto: Nitizen
Sebelum berpanjang-panjang kalam, saya mohon maaf kepada semua pihak yang nantinya mungkin kurang berkenan dengan tulisan ini. Negara ini negara demokrasi, di mana setiap warga negara diberi hak oleh Konstitusi untuk menyampaikan pendapatnya, selama pendapat tersebut tidak mengandung fitnah, tidak memicu permusuhan, tidak menanam kebencian terhadap pihak-pihak tertentu atau pun tindakan makar terhadap negara.

Kebebasan dalam menyampaikan pendapat merupakan salah satu hak asasi bagi setiap manusia yang masuk dalam katagori personal rights. Demikian pula dengan demonstrasi, terlepas dari berbagai perdebatan (halal dan haram), yang jelas konstitusi RI memperbolehkan aksi tersebut dan juga mendapat perlindungan dari undang-undang.

Beberapa hari lalu, media mengabarkan bahwa mahasiswa Bireuen melaksanakan demonstrasi dengan maksud meminta pihak kepolisian dan DPRK Bireuen untuk mengusut isu ijazah palsu Bupati Bireuen. Pasca aksi tersebut, sebagaimana dikabarkan Juangnews, para demonstran justru dibully di media sosial. Tanpa sengaja, saya juga sempat melakukan penelusuran kecil-kecilan terhadap beberapa akun yang membully para mahasiswa. Dari beberapa komentar terlihat bahasa-bahasa yang jauh dari etika dan miskin adab yang dalam istilah guru saya Hasanuddin Yusuf Adan, mirip dengan “bahasa tupai”.

Kononnya aksi bullying tersebut terjadi pasca klarifikasi dari pimpinan Dayah Mudi Mesra yang menyatakan bahwa ijazah bupati tersebut adalah asli. Saya melihat persoalannya sederhana saja, jika memang pengakuan pimpinan Mudi Mesra sudah memadai, maka persoalan ijazah tersebut sudah selesai. Demikian pula sebaliknya jika pengakuan tersebut belum memadai di mata hukum, maka tugas pihak kepolisian untuk mengusutnya. Itu saja.

Dalam artikel singkat ini, saya tidak dalam posisi membela siapa pun dan tidak pula menuduh siapa pun. Tulisan ini hanyalah sebuah bentuk kepedulian saya terhadap tanah tempat saya dilahirkan, di mana setiap orang memiliki hak untuk berkomentar, baik “miring” maupun “lurus”. Saya melihat bahwa aksi demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa Bireuen beberapa waktu lalu adalah sebuah gerakan yang wajar dan tidak perlu disikapi secara lebay, apalagi sampai membully atau “mengutuk”. Apa yang dilakukan oleh mahasiswa Bireuen adalah salah satu bentuk respon mereka terhadap isu-isu yang berkembang di daerah mereka, di saat pihak lain justru memilih diam dan apatis Tentunya aksi demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa Bireuen bukanlah aksi yang pertama, aksi serupa ini sudah pernah dilakukan sebelumnya terkait isu-isu lain, tapi tidak heboh. Kenapa?

Sepanjang pengamatan saya via media dan juga tukar pendapat dengan beberapa mahasiswa, dalam aksi tersebut mereka (mahasiswa) tidak menuduh (memvonis) bahwa ijazah tersebut palsu, tapi para mahasiswa hanya mendesak pihak berwenang untuk memperjelas isu tersebut. Tentu hal ini penting, tidak hanya bagi masyarakat Bireuen, tapi penting juga untuk menjaga nama baik dan kehormatan bupati dari “fitnah” pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Tanpa adanya kejelasan, pastinya isu ini akan terus menggelinding liar, sehingga masyarakat akan menyimpulkan sendiri-sendiri. Dengan demikian adalah aneh jika mahasiswa dibully atau pun dicaci dengan kata-kata yang tidak pantas keluar dari mulut seorang muslim.

Di sisi lain, saya melihat aksi protes yang dilakukan oleh pihak-pihak kontra demo telah keluar dari substansi dan kehilangan arah. Bahkan, ironisnya lagi ada “segelintir” yang mencoba membawa isu-isu agama dalam menyikapi aksi tersebut sehingga perbincangan menjadi bias dan hilang kendali. Saya melihat ada upaya “pengkerdilan” terhadap mahasiswa oleh pihak-pihak yang tidak ada sangkut pautnya dengan isu tersebut. Menyebut mahasiswa sebagai anti ulama atau anti dayah hanya karena melakukan demo adalah tindakan lebay yang hanya pantas dilakukan oleh orang-orang yang kurang mineral. Terkait dengan terbawa-bawanya nama Mudi Mesra adalah konsekwensi logis yang harus diterima dengan lapang dada karena ijazah tersebut dikeluarkan oleh Mudi. Demikian pula halnya jika ijazah tersebut dikeluarkan oleh lembaga lain semisal sekolah, tentu nama sekolah tersebut juga akan ikut diperbincangkan. Apakah pantas para siswa yang pernah belajar di sekolah tersebut kemudian marah-marah kepada pendemo? Tentu tidak. Marilah bersikap adil. 

Anehnya, sepanjang amatan penulis, baru kali ini aksi demo mahasiswa, khususnya di Bireuen dibully dengan alasan yang sulit dimengerti. Tapi aksi demo-demo sebelumnya aman-aman saja dan bebas dari komentar miring. Adapun tudingan sebagian pihak bahwa dalam aksi demo tersebut terjadi percampuran antara laki-laki dan perempuan, ini adalah tudingan yang benar tetapi tidak tepat sasaran. Benar karena agama memang melarang perbuatan tersebut, dan tidak tepat sasaran karena alasan ini hanya “bualan” saja, buktinya demo-demo lainnya sepi dari protes dan kritik.

Demikian pula dengan isu BH dan CD yang kononnya tersangkut (disangkut?) di pagar DPRK Bireuen yang juga dijadikan “alat” untuk memojokkan pendemo, semestinya juga harus dinilai secara objektif. Secara pribadi saya tidak sepakat penggunaan alat-alat tersebut karena tidak etis dan juga dapat “menistakan” kaum hawa. Hendaknya mahasiswa dapat mencari simbol-simbol lain yang lebih terhormat. Namun demikian, saya juga tidak sepakat jika “kekeliruan” mahasiswa ini terlalu dibesar-besarkan, mengingat penggunaan BH dan CD sebagai simbol kelemahan tidaklah dipelopori oleh mahasiswa Bireuen, tapi simbol-simbol tersebut telah menjadi semacam “tradisi keliru” bagi mahasiswa dari masa ke masa, tidak hanya di Aceh tetapi juga di seluruh Indonesia. Lantas kenapa cuma mahasiswa Bireuen yang dibidik?

Di akhir tulisan ini penting dipertegas kembali bahwa saya tidak berada di pihak manapun. Ini adalah murni pendapat pribadi saya sebagai masyarakat Bireuen dan sebagai “mantan aktivis” yang dulunya juga sering “berkeliaran” di jalanan. Marilah kita melihat persoalan secara objektif dengan meninggalkan ego masing-masing demi terwujudnya Bireuen yang gemilang. Wallahu A’lam.

Artikel ini sudah diterbitkan di Juangnews
loading...

No comments