Wahabi, Wahabi dan Wahabi
Oleh: Khairil Miswar
Bireuen, 27 Februari 2015
Syaikh Adel Al-Kalbani. Sumber Foto: www.kiblat.net |
Ada perasaan geli, ketika membaca sebuah surat terbuka di Serambi Indonesia (Jumat, 27/02/15) dengan tajuk “Surat Terbuka kepada Kapolda Aceh”. Surat tersebut ditulis oleh seorang “faqih terkenal” Abuya Muhammad Iqbal Jalil yang menyebut dirinya sebagai seorang santri di Samalanga (Bireuen, Aceh).
Dalam surat tersebut, Abuya Al-Mukarram Al-Imam Al-‘Allamah Muhammad Iqbal Jalil (MIJ) menyatakan keberatannya kepada Kapolda Aceh, Husein Hamidi, yang kononnya akan mendatangkan seorang penceramah dari Arab Saudi, Syekh Adil Al-Kalbani. Yang menjadi alasan utama penolakan dari Abuya MIJ adalah disebabkan Syaikh Adil Al-Kabani adalah seorang Wahabi.
Abuya MIJ berdalih bahwa mayoritas masyarakat Aceh menganut mazhab Syafi’i dalam bidang fiqih dan Ahlussunnah waljama’ah dalam bidang teologi. Menurut Abuya MIJ, Syekh Adil Al-Kalbani adalah sosok yang kontroversial sehingga bisa mengundang penolakan dari sejumlah masyarakat. Abuya MIJ juga menyarankan kepada Kapolda untuk mengundang para Masyaikh Al-Azhar di Mesir yang menurut Abuya memiliki kesamaan idiologi dengan mayoritas masyarakat Aceh. Demikian penjelasan dari Al Faqih Muhammad Iqbal Jalil, seorang “Ulama Besar” di Aceh.
Siapa Syaik Adel Al-Kabani?
Dari beberapa sumber disebutkan bahwa Syaikh Al-Kalbani adalah salah seorang ulama di Saudi Arabiya. Beliau sudah 20 tahun menjadi imam di berbagai masjid di Saudi. Sejak tahun 2008, Al-Kalbani menjabat sebagai imam Masjidil Haram di Mekkah. Namanya sudah sangat terkenal di kalangan warga Saudi, bahkan Raja Khalid Bin Abdul-Aziz di Riyadh sangat mengagumi keindahan suara Syaikh Al-Kalbani saat melantunkan ayat-ayat suci al-Quran. Oleh para pengagumnya Al-Kalbani diberi julukan “si burung bulbul hitam” www.eramuslim.com.
Namun demikian, tulisan singkat ini bukanlah dimaksudkan untuk memuat biografi Syaikh Adil Al-Kalbani secara utuh. Tulisan ini hanyalah sebagai jawaban terhadap tudingan yang disampaikan oleh Muhammad Iqbal Jalil yang dengan penuh semangat telah menyatakan penolakannya terhadap kedatangan Al-Kalbani ke Aceh.
Al-Kalbi Seorang Wahabi?
Dalam suratnya, Abuya MIJ menyebut Syaikh Al-Kalbani sebagai seorang Wahabi. Nampaknya Abuya MIJ kekurangan informasi tentang siapa Syaikh Al-Kalbani. Seingat penulis, Syaikh Al-Kalbani adalah seorang muslim, beliau tidak pernah mencantumkan di KTP-nya bahwa dirinya adalah seorang Wahabi. Jika MIJ ragu, mungkin bisa langsung dicek di KTP Syaikh Al-Kalbani, apakah di kolom agama beliau ditulis Wahabi? Jika tidak, dari mana pula sebutan Wahabi itu muncul?
Apakah beliau disebut sebagai Wahabi karena beliau seorang Saudi? Atau apakah sebutan Wahabi disematkan kepada beliau hanya karena beliau menjadi imam Masjidil Haram? Nampaknya MIJ, harus mampu menyebutkan indikator apa saja yang bisa dijadikan alat ukur untuk menyebut seseorang sebagai Wahabi. Lagi pula, sedalam mana pengetahuan seorang MIJ tentang Wahabi? Jangan-jangan MIJ mengambil istilah Wahabi dari buku Sirajuddin Abbas atau dari buku Idahram. Tentunya, kedua buku tersebut tidak dapat dijadikan rujukan untuk menilai Wahabi.
Jika ingin mengetahui hakikat Wahabi, maka Abuya HIJ harus mempelajarinya dari buku atau kitab-kitab yang ditulis langsung oleh Wahabi. Abuya MIJ harus mampu melihat Wahabi dari perspektif Wahabi. Jangan melihat Wahabi dari perspektif Syi’ah dan jangan pula menilai Wahabi dari perspektif Asy’ariyah.
Masyarakat Aceh Bermazhab Syafi’i?
Di bagian lain suratnya, Abuya MIJ menyimpulkan bahwa mayoritas masyarakat Aceh bermazhab Syafi’i dalam fiqih. Menurut penulis, kesimpulan ini hanyalah kesimpulan asal-asalan belaka. Kesimpulan yang tepat adalah, masyarakat Aceh menganut Mazhab Syafi’iyah, bukan Mazhab Syafi’i. Hal ini sudah pernah diulas oleh Dr. Aslam M. Nur dalam salah satu artikelnya di Serambi Indonesia.
Secara lebih tegas dapat dikatakan bahwa, mazhab fiqih sebagian besar masyarakat Aceh hanya merujuk kepada kitab-kitab yang ditulis oleh ulama-ulama kemudian yang menisbahkan mazhabnya kepada Imam Syafi’i. Di antara ulama yang menjadi rujukan sebagian masyarakat Aceh adalah Imam Ramli, Imam An-Nawawi, Imam Ibn Hajar, Imam Subqi, dll. Dengan demikian tepatlah, jika disebut bahwa mazhab fiqih yang berkembang di Aceh adalah Syafi’iyah, bukan mazhab Syafi’i.
Teologi Ahlussunnah Waljama’ah
Salah satu alasan lainnya yang diajukan oleh Abuya MIJ guna menolak kedatangan Syaikh Al-Kalbani adalah karena masyarakat Aceh menganut teologi Ahlussunnah Waljama’ah. Sebenarnya sebutan yang tepat untuk teologi yang dianut oleh sebagian besar masyarakat Aceh adalah teologi Asy’ariyah. Bahkan, jika ditelisik, banyak pendapat-pendapat dalam teologi Asy’ariyah yang justru bertolak belakang dengan pemahaman Imam Abu Hasan Al-Asy’ari.
Namun demikian, penyebutan Ahlussunnah Waljama’ah juga tidak sepenuhnya salah, karena dalam buku-buku teologi, aliran Asy’ariyah dan Maturidiyah memang dimasukkan dalam katagori Ahlussunnah. Cuma saja, Abuya MIJ telah “memonopoli” istilah Ahlussunnah hanya kepada Asy’ariyah dan Maturidiyah saja. Padahal, Salafiyah, yang oleh sebagian pihak digelari sebagai Wahabi juga merupakan bagian dari Ahlussunnah Waljama’ah.
Di sisi lain, Abuya MIJ mencoba menggiring opini publik, bahwa Wahabi bukanlah Ahlussunnah Waljama’ah, atau lebih tepatnya Wahabi adalah sesat, demikian pemahaman Abuya kita MIJ. Dalam pandangan penulis, anggapan ini wajar-wajar saja dimiliki oleh seorang MIJ, karena yang dijadikan rujukan oleh MIJ untuk menilai Wahabi adalah kitab-kitab yang ditulis oleh orang-orang anti Wahabi. Dengan demikian, kesimpulan MIJ tidak dapat disebut ilmiah, karena dalam kajiannya, MIJ tidak memakai sumber-sumber primer, yaitu kitab-kitab yang ditulis sendiri oleh Wahabi. MIJ justru memakai sumber sekunder yang belum tentu benar dan bahkan banyak berisi fitnah belaka.
Dengan demikian dapatlah dipahami bahwa Abuya Al-Mukarram Al-‘Allaamah Muhammad Iqbal Jalil tidak memahami apa itu Wahabi. Sebutan Wahabiyah adalah nama yang diciptakan oleh orang-orang yang anti kepada sunnah Nabi. Nama yang tepat untuk mereka adalah Salafiyah, bukan Wahabiyah.
Abuya MIJ juga lupa, bahwa ramai tokoh Aceh masa lalu yang pemahaman keagamaannya serupa dengan pemahaman Salafiyah (Wahabi). Sebut saja Teungku Muhammad Daud Beureu-eh, Tgk Hasballah Indrapuri, Tgk. Hasbi Ash-Shiddiqie dan Teungku Abdurrahman Meunasah Meucap. Di samping itu, organisasi PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) yang didirikan di Matangglumpangdua, sebagian besar anggotanya juga berpahaman Salafiyah.
Dengan demikian, sangat tidak patut Abuya MIJ menolak kedatangan ulama Salafiyah ke Aceh. Penulis juga tidak tahu, apakah Abuya Muhammad Iqbal Jalil lebih ‘alim dari Syaikh Al-Kalbani, sehingga menolak kedatangan beliau? Syaikh Al-Kalbani adalah ulama yang memimpin shalat di Masjidil Haram. Sedangkan Abuya MIJ, jangankan menjadi imam, menjadi makmum saja belum tentu. Berhentilah menuding Wahabi, Wahabi dan Wahabi, karena belum tentu yang menuding itu lebih baik dari yang dituding. Wallahu A’lam.
Artikel ini sudah dipublikasikan di Kompasiana
loading...
Post a Comment