Terminologi Sesat di Aceh


Oleh: Khairil Miswar 

Bireuen, 19 Oktober 2014

Sumber: rakaboookmark.blogspot.com
Bagai jamur di musim hujan, aliran sesat di Aceh terus bermunculan, entah hanya sekedar klaim atau memang fakta. Telah pula menjadi pengetahuan umum, bahwa masyarakat Aceh memiliki sensitivitas yang tinggi terhadap istilah “sesat”. Kasus terbaru yang sempat membuat seantero Aceh terhenyak adalah dugaan aliran sesat yang melibatkan Tgk. Ahmad Barmawi Cs di Aceh Selatan. Terbunuhnya seorang caleg dari salah satu parlok di musim kampanye 2014 lalu akibat ulah Barmawi Cs juga telah melahirkan problema tersediri dalam penyelesaian kasus aliran sesat di tengah masyarakat.

Tidak hanya itu, aksi bentrok antara personil TRA dan masyarakat di Laweung Pidie beberapa waktu lalu yang sinyalir terkait dengan dugaan aliran sesat juga telah turut menambah rentetan aksi kekerasan di Aceh. Di samping itu, baru-baru ini MPU Aceh juga telah mengeluarkan fatwa sesat terhadap pengajian kelompok Salafi di Gampong Pulo Raya, Kecamatan Titeu, Kabupaten Pidie.

Setelah mencermati berbagai fenomena aliran sesat yang marak dalam beberapa tahun terakhir, penulis melihat bahwa terminologi “sesat” di Aceh telah menjadi kabur, bias, multi tafsir dan bahkan semakin liar. Dalam sebagian kasus, perbedaan furu’iyah dalam agama juga menjadi salah satu faktor yang mendorong timbulnya “klaim” sesat terhadap kelompok tertentu. Adalah fakta yang tak perlu ditutupi, bahwa di Aceh sendiri telah lahir dan berkembang dua pemikiran keagamaan, di mana antara satu dan lainnya memiliki corak yang berbeda. Dua corak pemikiran tersebut diwakili oleh Nahdatul Ulama (NU/ Nahdiyin) dan Muhammadiyah yang lazim disebut dengan MD atawa dalam situasi tertentu terkadang juga disebut “Wahabi”. Realitas lainnya yang sulit dipungkiri, bahwa perbedaan corak pemikiran tersebut telah berimplikasi pada lahirnya perbedaan dalam tata cara ibadah. Ekses lainnya adalah timbulnya saling rebut “kekuasaan” dan pengaruh, di mana sebagian mesjid “dikuasai” oleh Nahdiyin, dan sebagian lainnya “dikuasai” oleh MD.

Tragisnya lagi, perbedaan pemahaman agama antara NU dan MD juga telah mengakibatkan kedua pihak saling “cap sesat” satu sama lain. Kondisi ini akan semakin parah ketika di sebagian daerah muncul “aliran sesat”, maka terminologi sesat pun menjadi bias dan semakin “menggelikan”. Akhirnya konflik di tengah masyarakat pun semakin sulit untuk dihindari. Di sisi lain, kemunculan aliran sesat di Aceh juga sering ditanggapi dengan aksi kekerasan, semisal pembakaran, pemukulan dan bahkan pembunuhan. 

Berawal dari berbagai fenomena yang berkembang di Aceh akhir-akhir ini, penulis merasa “tertantang” untuk ikut nimbrung guna membahas isu sensitif ini. Menurut hemat penulis, langkah pertama yang harus ditempuh dalam menyikapi fenomena aliran sesat adalah melakukan “redefinisi” tentang terminologi sesat agar pemaknaannya tidak menjadi bias dan kabur sehingga menimbulkan delusi (sesat pikir) di tengah masyarakat. Redefinisi ini juga diperlukan agar kita terhindar dari kesalahan bertindak dan berguna pula untuk “meredam” motivasi sebagian pihak dalam menciptakan stigma-stigma buruk terhadap sesama muslim, mengingat setiap mukmin itu bersaudara (ikhwah).

Selama ini, ada dua kata yang sering disandingkan dengan kata sesat, yaitu aliran dan paham, sehingga muncul-lah istilah aliran sesat dan paham sesat. Ahmad Jaiz (2012), mengemukakan bahwa kata aliran dan paham, meskipun tampak sama, namun kedua kata tersebut memiliki makna yang berbeda. Paham adalah sebuah pemikiran yang menganut prinsip tertentu dan memiliki pengikut yang kritis. Sebuah paham tidak memiliki pemimpin layaknya aliran, namun mereka memiliki seorang figur sentral. Di antara paham yang telah berkembang di Indonesia adalah; Sekulerisme, Liberalisme, Pluralisme dan Humanisme.

Adapun aliran, masih menurut Ahmad Jaiz, adalah sebuah pemikiran yang terorganisir dengan baik dan memiliki seperangkat aturan yang diikuti oleh setiap anggotanya. Sebuah aliran memiliki pemimpin dan anggotanya adalah orang-orang yang telah terdoktrin pikirannya serta anti kritik dan dogmatis. Di antara aliran yang telah berkembang di Indonesia adalah: Syi’ah, Ahmadiyah, Baha’i, Millata Abraham, Lia Eden dan Laduni.

Aliran Sesat

Bruinessen, seorang orientalis asal Belanda, dalam Jurnal Ulumul Quran, mengemukakan bahwa aliran sesat (sempalan) adalah sebuah gerakan menyimpang atau memisahkan diri dari ortodoksi yang berlaku. Kemunculan aliran sesat (sempalan) adalah sebagai sebuah bentuk penolakan terhadap faham dominan dan merupakan bentuk protes sosial atau politik. Menurut Bruinessen, sebelum menentukan aliran sesat, terlebih dahulu harus didefinisikan mainstream ortodoks. 

Bertolak dari paparan Bruinessen, kiranya dapat dipahami bahwa penyimpangan yang dilakukan oleh aliran sesat hanya bisa diukur dengan terlebih dahulu memahami konsep-konsep dasar yang dianut oleh mainstream ortodoks. Khususnya di Aceh dan di dunia Islam pada umumnya, telah jamak dipahami bahwa yang menjadi aliran arus utama (maenstream) adalah Ahlussunnah wal Jama’ah

Siapa Ahlussunnah wal Jama’ah?

Jika dirujuk dalam literatur teologi, term Ahlussunnah wal Jama’ah sering dilekatkan dan bahkan di-indentikkan dengan pemikiran Asy’ariyah yang digagas oleh Abu Hasan Al-Asy’ari dan Maturidiyah yang didirikan oleh Abu Mansur Al-Maturidi. Namun menurut hemat penulis, pembatasan istilah Ahlussunnah wal Jama’ah hanya kepada aliran Asy’ariyah dan Maturidiyah yang dilakukan oleh sebagian pihak (ulama dan intelektual Islam) adalah kurang tepat, untuk tidak menyebut keliru. Jika penyebutan Ahlussunnah wal Jama’ah hanya terbatas pada aliran Asy’ariah dan Maturidiyah, lantas bagaimana dengan umat Islam yang hidup sebelum kemunculan kedua aliran tersebut? Apakah mereka tidak tergolong ke dalam Ahlussunnah wal Jama’ah

Di samping dua aliran tersebut di atas, telah pula diketahui bahwa dalam dunia Islam juga pernah tumbuh dan berkembang aliran Salafiyah yang dipopulerkan oleh Ibnu Taimiyah, seorang ulama besar dari Damaskus. Aliran Salafiyah dimaksud juga sempat dikampanyekan kembali oleh Muhammad bin Abdul Wahab di Saudi Arabiya. Dalam berbagai literatur disebutkan bahwa dalam bidang fiqh, aliran Salafiyah berafiliasi dengan Mazhab Hanbali. Adapun Aliran Asy’ariyah pemahaman fiqhnya lebih banyak merujuk kepada Mazhab Syafi’iyah, sedangkan Aliran Maturidiyah lebih cenderung kepada Mazhab Hanafiyah.

Di sisi lain, Rasul sebagai pembawa risalah juga telah menjelaskan dalam berbagai hadits, bahwa beliau telah meninggalkan dua perkara kepada umatnya berupa Alquran dan Sunnah, sehingga siapapun yang berpegang kepada keduanya, maka ia tidak akan tersesat selamanya. Dalam hadits lain, ketika ada sahabat yang menanyakan tentang siapa jamaa’ah yang dimaksud dalam hadits, Rasul menjawab bahwa mereka adalah siapa saja yang berada di atas jalan Nabi dan sahabatnya (ma ana ‘alaihi wa ash-habi). 

Dari ulasan singkat tersebut, dapat dipahami bahwa Ahlussunnah wal Jama’ah adalah siapa saja yang berpegang teguh kepada Alquran dan Hadits serta mengikut ajaran yang diamalkan oleh sahabat (salafusshalih). Penentuan Ahlussunnah wal Jama’ah tidak-lah dilihat dari golongan mana ia berasal, tapi lebih tertumpu pada ajaran apa yang diamalkan. Dengan demikian Ahlussunnah wal Jama’ah tidak hanya terbatas kepada Asy’ariyah dan Maturidiyah saja, tetapi juga termasuk aliran Salafiyah di dalamnya.

Perbedaan Mazhab

Sebagaimana telah kita ketahui bahwa dalam dunia Islam juga telah berkembang berbagai mazhab fiqih. Di antara mazhab mu’tabar adalah Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah. Keempat mazhab tersebut juga masuk dalam lingkup mazhab Ahlussunnah wal Jama’ah. Perbedaan yang terjadi dalam mazhab tersebut hanyalah perbedaan ijtihadiyah dalam menafsirkan masalah furu’iyah sehingga tidak-lah dapat dijadikan alasan untuk saling “menyesatkan”. Perselisihan antar sesama muslim hanya akan membuat kita menjadi lemah dan akhirnya menjadi sasaran empuk para missionaris-orientalis anti Islam untuk menerapkan praktik devide et empera. 

Di akhir tulisan ini penulis mengajak kita semua agar tidak terburu-buru menyandangkan cap sesat kepada sesama muslim, kecuali jika telah terbukti secara sah bahwa mereka menganut aliran sesat. Terminologi sesat juga harus dipahami secara benar dengan melakukan tabayyun sebelum vonis dijatuhkan. Khususnya di Aceh, penetapan kriteria sesat berada di tangan MPU sesuai dengan Qanun No. 11 tahun 2002. Adapun vonis sesat merupakan tugas Mahkamah Syar’iyah, setelah sebelumnya dilakukan pemeriksaan dan proses peradilan. Adalah tidak adil jika vonis sesat dijatuhkan hanya melalui kajian tanpa proses peradilan. Wallahu A’lam.

Artikel ini sudah pernah diterbitkan di Harian Waspada Medan

loading...

No comments