Siapa Berani Tegakkan Shalat?


Oleh: Khairil Miswar 

Bireuen, 26 Agustus 2012

Ilustrasi. Sumber: jareperpus.blogspot.com
Dalam banyak hadits Rasul yang mulia Shallallahu 'alaihi wasallam tak henti-hentinya menegaskan tentang penting dan wajibnya shalat bagi setiap orang yang mengaku dirinya muslim. Shalat merupakan salah satu pondasi dari lima pondasi Islam, hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin ‘Umar Radhiallahu ' anhu ; “Islam itu dibangun atas lima perkara, bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadhan dan melaksanakan haji” (HR. Bukhari dan Muslim).

Allah Swt tidak hanya memerintahkan shalat kepada umat Muhammad, tetapi juga diperintahkan kepada umat-umat sebelum Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam, hal ini ditegaskan dalam Al Quran Surat Al Bayyinah ayat 5; “padahal mereka tidak disuruh kecuali menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepadaNya dalam (menjalankan) agama yang lurus dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan demikian itulah agama yang lurus”.

Ibnu Qayyim Al Jauziyah rh dalam “As Shalat wa Hukmu Tarikuha” menyebutkan bahwa dosa meninggalkan shalat lebih besar dari dosa bunuh diri, berzina, minum khamar, mencuri dan merampok. Imam Muslim rh meriwayatkan hadits dari Jabir Radhiallahu ' anhu ; “batas antara seorang lelaki dengan kesyirikan dan kekafiran adalah meninggalkan shalat”. Selanjutnya Imam Ahmad bin Hanbal juga meriwayatkan hadits dari Buraidah Radhiallahu ' anhu; “perjanjian antara kami dan mereka adalah shalat, barangsiapa meninggalkan shalat maka sungguh dia telah kafir (ingkar).

Dari uraian singkat diatas setidaknya bisa memberi gambaran kepada kita tentang pentingnya shalat dalam kehidupan ini. 

Syariat Islam dan Shalat

Sebagaimana penulis jelaskan di atas shalat merupakan hal penting yang tidak bisa anggap sebagai persoalan yang remeh-temeh. Aceh yang katanya menjalankan Syariat Islam sudah sepatutnya memberi perhatian tentang hal ini (shalat), mengingat shalat adalah bagian yang tidak terpisahkan dari Syariat Islam itu sendiri. Dalam pengamatan penulis, orang – orang kita di Aceh (termasuk penulis), ketika disebut Syariat Islam yang tergambarkan di benak kita adalah pencuri potong tangan, zina di rajam, pakaian ketat haram, judi dan khalwat akan dicambuk, dst. Bukan maksud penulis untuk menyatakan bahwa anggapan tersebut salah. Namun yang amat disayangkan hampir tidak ada seorangpun diantara kita yang mempersoalkan tentang hukum meninggalkan shalat. Seolah – olah meninggalkan shalat adalah kesalahan yang sangat ringan sehingga tidak butuh aturan ketat untuk mengatur hal tersebut. Lihat saja ketika ada orang – orang yang tertangkap melakukan mesum, memakai pakaian ketat bagi wanita, minum khamar (mabuk) atau judi dengan sigap aparat WH dan masyarakat menangkap mereka untuk kemudian diberikan hukuman sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan dalam Qanun. 

Pertanyaannya, kenapa hal tersebut tidak berlaku bagi orang – orang yang meninggalkan shalat? Jawabannya mungkin hal ini belum diatur dalam Qanun sehingga tidak ada payung hukum untuk menerapkan hal tersebut. Jawaban yang sangat sederhana; sekedar untuk mengelak dari fenomena yang sudah dianggap lazim.

Satu hal lagi yang aneh menurut penulis, masyarakat kita (termasuk penulis) akan sangat marah dan memerah mukanya jika ada yang menuduh kita bukan Islam; apalagi jika sampai disebut sebagai kafir. Masyarakat kita (lagi-lagi termasuk penulis) juga sangat sensitif jika ada orang yang (dalam pandangan kita) menghina Islam. Dengan semangat menggebu kita akan menggempur kelompok tersebut (aliran sesat; sebagai contoh). Setiap kita (mungkin) akan berebut menjadi panglima untuk menghancurkan dan mengusir kelompok-kelompok yang terindikasi menganut faham sesat. 

Namun pernahkah kita melakukan muhasabah? Berapa kali kita pernah melaksanakan shalat selama ini (untuk tidak menanyakan berapa kali kita tinggalkan?). Kita terlalu menganggap enteng kewajiban shalat. Jangan jauh-jauh, putar kembali memori kita ketika bulan Ramadhan beberapa waktu lalu. Kita berkumpul bersama keluarga dan kolega di kedai-kedai kopi untuk melakukan buka puasa bersama. Tetapi ingatkah kita, berapa orang diantara kita yang melaksanakan shalat Magrib? Alasannya sederhana saja; celana kotor (tidak suci), mushalla penuh, waktu shalat habis karena harus antri, dst. 

Tidakkah kita tahu atau mungkin pura-pura tidak tahu bahwa tidak ada tawar menawar dalam shalat. Dalam kondisi perang saja kita tetap harus menegakkan shalat. Dalam kondisi sakitpun kewajiban shalat tidak pernah gugur dan tetap melekat sebagai kewajiban yang absolut. 

Meskipun tidak melalui penelitian, namun penulis berani menduga bahwa sebagian orang tua di Aceh juga tampak sengaja melalaikan kewajiban shalat. Lihat saja di kampung-kampung, anak-anak dibiarkan lalai bermain dan berkeliaran sampai waktu Magrib. Mereka tidak pernah di diperingatkan tentang kewajiban shalat. Paling-paling para orang tua bertanya kepada anaknya masalah kerbau/lembu/kambing/ayam/itik apa sudah di masukkan ke kandang? Apa rumput sudah di potong? Apa “broeh leumo” (baca: api di kandang) sudah di hidupkan? Jarang ada orang tua yang bertanya apa anaknya sudah shalat. 

Anehnya lagi, seperti dikampung penulis, para pemuda terlihat dengan semangatnya bermain Volly di lapangan dalam lingkungan menasah. Mereka bermain sampai Magrib, ketika azan Magrib mereka bukannya berwudhu untuk shalat, tapi malah langsung kabur pulang kerumah, dan bahkan ada yang bersantai di “Jambo Jaga” (pos jaga) sambil mengisap rokok. Jika kita tanya kenapa tidak shalat? Dengan santai mereka menjawab; “kamo gohlom wajeb seumayang, manteng jai that dosa” (kami belum wajib shalat karena masih banyak dosa). Ketika mendengar jawaban mereka kita cuma bisa berkata dalam hati “alah hai kapluk”. Kita semua yakin bahwa perilaku ini juga terjadi disemua daerah di Aceh. Kisah – kisah tentang orang meninggalkan shalat di Aceh adalah fakta yang tidak bisa kita tutupi apalagi riwayat tersebut telah “mutawatir” dan sudah menjadi pengetahuan umum.

Harapan Kepada Pemerintah

Menurut penulis kita tidak perlu berangan – angan bahwa Syariat Islam akan tegak di Aceh jika kita mengabaikan shalat yang merupakan forum bagi kita untuk melakukan kontak langsung dengan Tuhan yang telah menciptakan kita dari tidak ada menjadi ada. Pada prinsipnya shalat memang kewajiban personal namun pemerintah sebagai pemangku kekuasaan juga memiliki tanggung jawab yang besar terhadap umat. Jika qanun tentang khalwat, khamar dan maisir bisa dibuat, kenapa qanun tentang shalat tidak bisa?

Pemerintah sebagai ulil amri harus melakukan langkah – langkah strategis untuk menciptakan suasana yang Islami di Aceh; jangan cuma larut dalam simbol yang menipu. Proses peneladanan juga sangat penting untuk menumbuhkan respon positif dari masyarakat. Sesibuk apapun seorang pemimpin (Gubernur, Bupati dan Walikota) hendaknya tidak meninggalkan shalat. Jika mungkin, setiap seminggu sekali para pemimpin menjadi imam shalat di mesjid – mesjid di daerahnya. Jika pemimpin mencintai shalat tentunya lambat – laun rakyat akan mengkikuti. Wallahul Musta’an.

Artikel ini sudah pernah diterbitkan di Atjehlink.com

loading...

No comments