“Pencundang Syariat”


Oleh: Khairil Miswar 

Bireuen, 05 Desember 2013

“Markas WH Langsa Diserang Sekelompok ABG Mabuk”, demikian tajuk sebuah berita yang dilansir oleh news.detik.com. Dikabarkan bahwa dalam insiden tersebut, seorang petugas WH terluka, dua kendaraan dan sejumlah inventaris rusak (news.detik.com, 04/12/13). Lantas apa yang terbesit di benak kita semua setelah membaca dan menganalisis pemberitaan tersebut? Jika pertanyaan ini kita lemparkan ke publik, tentunya kita akan mendapati jawaban yang beragam. Mungkin sebagian besar masyarakat kita merasa pilu hatinya ketika membaca berita tersebut, mereka adalah orang-orang yang di hatinya masih memiliki iman, meskipun hanya sebiji sawi. Tapi, bukan tidak mungkin ada pula segelintir masyarakat kita yang justru bergembira ria, sembari berkata “WOW”, mereka adalah para pecundang yang mungkin kebebasannya selama ini merasa terenggut.

Tulisan singkat ini tidak akan membahas kelompok pertama, mengingat mereka adalah para pendukung penerapan Syariat Islam di Aceh sehingga tidak perlu diperbincangkan lagi. Namun, tulisan ini akan mencoba mengulas kelompok kedua yang merupakan penghalang penerapan Syariat Islam di Aceh atau yang lebih pantas disebut sebagai pecundang syariat. 

Kata pecundang itu sendiri sebagaimana dirilis oleh rubrikbahasa.wordpress.com, memiliki makna yang beragam dan multi-tafsir, di mana kata tersebut ditafsirkan sesuai selera orang yang mengucapkannya. Terlepas dari khilafiyah pemaknaan kata tersebut, istilah pecundang yang penulis gunakan dalam tulisan ini lebih berkonotasi kepada “para pengacau”. Dengan kata lain, para pecundang syariat adalah seseorang atau pun sekelompok orang yang secara sadar melakukan usaha-usaha untuk menggagalkan pelaksanaan syariat Islam di Aceh. Siapapun mereka, apakah masyarakat biasa, politisi, birokrat, akademisi atau pun para pelaku seni – apabila tindak-tanduknya melanggar ketentuan syariat, maka mereka adalah para pecundang.

Mencermati aksi penentangan terhadap penegakan syariat Islam di Aceh, para pecundang syariat Islam dapat diklasifikasikan dalam tiga tingkatan; ada kelas kakap, kelas teri dan ada pula kelas bulu. Kelas kakap adalah mereka yang menggagalkan pelaksanaan syariat Islam dengan menggunakan regulasi dan kekuasaan, semisal DPR dan Gubernur ataupun lembaga negara yang lebih tinggi semisal Presiden. Penggagalan yang dilakukan oleh pecundang kelas kakap terbilang cukup sistematis dan bahkan dilindungi oleh hukum. Di antara bentuk penggagalan yang dilakukan oleh pecundang kelas kakap adalah dengan menunda pembahasan/pengesahan qanun-qanun yang terkait dengan syariat Islam semisal Qanun Jinayah dengan berbagai alasan yang secara lahiriah nampak logis di mata masyarakat awam. Tidak hanya itu, para pecundang kelas kakap dengan berbagai kebijakannya juga mampu melucuti (menghilangkan) pasal-pasal tertentu semisal pasal rajam yang kononnya tidak tercantum dalam Raqan Jinayah. Termasuk pula dalam katagori pecundang kelas kakap adalah para akademisi yang dengan kecerdasan akademisnya melemparkan wacana-wacana aneh guna membingungkan publik.

Adapun para pecundang kelas teri adalah segelintir masyarakat awam yang merasa alergi dengan penerapan syariat Islam di Aceh. Mereka adalah sebagian kecil masyarakat yang merasa kebebasannya terenggut akibat dari pelaksanaan syariat Islam. Mereka adalah para penjudi, pemabuk, tukang mesum, pelaku riba dan juga masyarakat pro-liberalisme yang terganggu aktivitasnya. Karena merasa hak azasinya terbatasi, akhirnya mereka melakukan berbagai upaya untuk menggagalkan penerapan syariat Islam. Berbeda dengan pecundang kelas kakap yang kesalahannya (baca: aksi penggagalannya) tidak muncul ke permukaan, namun tindakan-tindakan destruktif yang dilakukan oleh para pecundang kelas teri ini justru sangat mudah terdeteksi, sehingga mudah pula untuk dilumpuhkan. Sebagai contoh adalah aksi penyerangan yang dilakukan oleh segerombolan pemuda di Langsa baru-baru ini merupakan tindakan dari para pecundang kelas teri. Untuk menghadapi para pecundang kelas teri ini, ada dua alternatif yang dapat dilakukan; alternatif pertama adalah melalui pendidikan dan bimbingan yang dilakukan secara intens oleh pihak-pihak terkait, meskipun menghabiskan banyak waktu, namun alternatif ini lebih efektif. Sedangkan alternatif kedua adalah dengan hukuman, jika perlu para pecundang kelas teri ini dicambuk di depan umum. Pada prinsipnya hukuman itu juga bagian dari pendidikan, artinya hukuman bukanlah tujuan, melainkan sebuah proses untuk membuat seseorang itu jera dan akhirnya bersedia untuk berubah.

Penampilan Artis Aceh. Sumber: www.youtube.com
Selain dua model pecundang sebagaimana telah dikemukakan di atas, ada pula pecundang kelas bulu. Mereka adalah para pelanggar syariat Islam. Para pecundang kelas bulu ini pada prinsipnya tidak keberatan dengan penerapan syariat Islam di Aceh. Artinya, mereka tidak melakukan langkah apa pun untuk menggagalkan penerapan syariat. Namun, mereka juga tidak sepenuhnya sepakat dengan syariat Islam. Dalam kesehariannya, mereka tetap melakukan hal-hal yang dilarang oleh syariat. Sebagai contoh adalah gadis-gadis kita yang malas menggunakan jilbab, demikian juga dengan sebagian pemuda kita yang sampai hari ini masih menggunakan celana pendek di jalan raya. Termasuk dalam katagori ini, para artis kita semisal Yusniar (artis Eumpang Breuh) yang sangat jarang menggunakan jilbab dalam berbagai adegan film yang diperankannya selama ini. Di samping itu, para penyanyi kita, khususnya penyanyi dan penari wanita yang dengan penuh semangat melenggak-lenggok pinggul tanpa rasa malu. Mereka semua adalah pecundang kelas bulu yang secara lahiriah tidak menentang syariat Islam, namun perilaku mereka justru bertentangan dengan syariat Islam.

Artis Aceh Lagi Berjoget. Sumber: www.youtube.com
Belajar dari Kasus Langsa

Diakui ataupun tidak, aksi penyerangan markas WH oleh segerombolan pemuda di Langsa merupakan sebuah sinyal akan lemahnya kesadaran sebagian masyarakat untuk menerima penerapan syariat Islam di Aceh. Rendahnya kesadaran tersebut tentunya disebabkan oleh minimnya pengetahuan mereka tentang Islam. Aksi-aksi anarkhis yang dipraktekkan oleh para penentang syariat Islam di Aceh seperti kasus Langsa, pada prinsipnya merupakan konsekwensi logis yang muncul akibat keroposnya pemahaman agama yang mereka miliki.

Bercermin dari kasus Langsa tersebut yang melibatkan para pemuda berusia tanggung, sudah semestinya setiap orang tua menaruh perhatian terhadap perkembangan keagamaan anaknya. Kepedulian orang tua terhadap perkembangan agama anak merupakan modal utama untuk menyukseskan penerapan syariat Islam di Aceh. Seorang ayah adalah pemimpin bagi istri dan anak-anaknya. Ingat setiap pemimpin akan diminta pertanggungjawaban di akhirat kelak. Jangan sampai anak-anak kita menjadi pecundang syariat! Wallahu A’lam.

Artikel ini sudah pernah diterbitkan di Harian Serambi Indonesia


loading...

No comments