Mengajarlah dengan Ilmu, Jangan dengan Nafsu


Oleh: Khairil Miswar

Bireuen, 01 Maret 2012

Saya terinspirasi untuk menulis tulisan ini setelah beberapa waktu lalu saya sempat mengikuti pengajian di sebuah mesjid di Aceh. Kebetulan pengajian malam itu merupakan pengajian perdana yang dilakukan di mesjid tersebut. Sudah lumrah yang namanya pembukaan seperti halnya acara – acara lain pasti dihadiri oleh banyak orang, demikian juga dengan pengajian di mesjid tersebut. Pengajian dilakukan setelah shalat isya. Tidak seperti malam-malam sebelumnya jama’ah shalat isya biasanya paling banyak delapan orang. Tapi pada malam tersebut jama’ahnya lumayan ramai hampir mencapai empat shaf (jumlah yang lumayan untuk mesjid-mesjid di desa).

Acara pengajian malam tersebut juga disertai dengan pembukaan sekedarnya yang dilakukan oleh pengurus mesjid. Kemudian dilanjutkan dengan shalawat yang diikuti oleh seluruh jama’ah. Setelah acara seremonial selesai pengurus mesjid langsung mempersilahkan seorang ustaz (dalam istilah orang Aceh biasa disebut dengan istilah teungku) untuk memulai pengajian. Tanpa menunggu lama sang teungku langsung memulai pengajian yang diawali dengan puji-pujian kepada Allah Swt di iringi shalawat kepada Rasulullah Saw. Setelah selesai membacakan khutbah pembuka sang teungku yang ketika itu duduk bersila dihadapan jama’ah langsung memulai pembicaraan. 

Karena malam tersebut merupakan pengajian perdana sang teungku mengambil tajuk pengajian dengan judul Ahlussunnah Waljama’ah yang oleh sebagian kalangan sering disingkat dengan istilah ASWAJA. Pada awal – awal pembicaraan saya tidak melihat ada hal yang aneh dari raut wajah teungku tersebut. Kalimat demi kalimat terucap fasih dari mulut beliau. Ketika itu saya melihat para jama’ah terdiam membisu larut dalam kekusyukan. Mereka seperti terhipnotis dengan pembicaraan sang teungku yang terlihat lancar. Melihat cara penyampaian yang begitu rapi dan teratur saya sempat berkesimpulan (dalam hati) bahwa teungku tersebut benar – benar menguasai materi yang sedang beliau sampaikan. 

Kata-kata yang tersusun rapi bak air deras mengalir terus keluar dari mulut teungku tersebut. Namun dalam kesyahduan dan kekusyukan tersebut saya sempat menangkap sebuah kalimat yang tidak pernah saya duga sebelumnya akan terucap dari mulut beliau yang mungil itu. Saya sedikit terperanjat ketika mendengar kata-kata dari beliau; “Kita semua wajib bermazhab dengan mazhabnya Imam Syafi’i karena Cuma mazhab beliau yang sampai kepada Rasul Saw, sedangkan mazhab lain adalah mazhab liar yang tidak jelas”. Setelah men dengar kata – kata tersebut saya sempat berfikir, kenapa tiba – tiba pembicaraan sang teungku tersebut menjadi ngawur. Sekuat tenaga saya menahan diri untuk tidak menyanggah pernyataan teungku tersebut disebabkan beliau adalah tamu yang diundang oleh pengurus mesjid untuk menyampaikan pengajian. Kalau saya menyanggah sudah pasti sang teungku akan merasa tidak dihargai setelah diundang. Pengajian tersebut terus berlanjut dengan pernyataan – pernyataan beliau yang semakin lama semakin provokatif. 

Memecah belah Umat

Pernyataan sang teungku yang menyatakan bahwa Cuma mazhab Syafi’i yang sampai kepada Nabi Saw dan mazhab lain adalah mazhab liar menurut saya adalah kalimat yang sangat berbahaya dan akan menjadi petaka besar dikalangan umat Islam, khususnya jama’ah yang ikut pengajian malam itu. Saya juga merasa heran kenapa sang teungku berani memvonis bahwa mazhab selain mazhab Syafi’i sebagai mazhab yang tidak jelas. Apakah beliau sudah cukup kapabel untuk memutuskan sesuatu yang kontradiktif dengan konsensus umat Islam dari zaman ke zaman? Apa kapasitas beliau sudah berada diatas angin sehingga dengan lantangnya beliau berani mengkerdilkan mazhab Hanafi, Maliki dan Hambali?

Saya memiliki hipotesa yang apabila diteliti lebih lanjut kemungkinan bisa menjadi kesimpulan akhir. Saya punya asumsi kalau teungku tersebut telah terinfeksi penyakit “fanatik mazhab” yang sudah memasuki tahapan kronis. Akibat rasa fanatiknya yang berlebihan tersebut sehingga mata dan hati beliau menjadi tertutup. Rasa fanatik yang berlebihan apabila tidak diselaraskan dengan ilmu sudah pasti akan melahirkan benih – benih kedengkian dan kebencian terhadap pihak lain. Tentang ekses negatif dari fanatik berlebihan bisa kita lihat sendiri dari fakta – fakta sejarah yang sudah terjadi masa lalu. 

Sebagai seorang teungku seharusnya beliau harus mampu mempersatukan umat, bukan malah sebaliknya melakukan provokasi yang bisa membuat umat ini bercerai – berai. 

Analisis Pernyataan Teungku

Pernyataan teungku di pengajian tersebut yang menyatakan bahwa Cuma mazhab Syafi’i yang benar sedangkan mazhab lain adalah mazhab liar jika diteliti secara seksama maka dapat disimpulkan bahwa pernyataan teungku tersebut sangat kontradiksi dengan fakta ilmiyah. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa para ulama ahlussunnah telah sepakat bahwa ke empat Imam tersebut yakni Abu Hanifah An-Nu’man, Imam Malik bin Anas, Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal adalah Imam Mujtahid Mu’tabar yang ber’aqidah ahlussunnah waljama’ah. 

Tuduhan sang teungku tersebut yang menyatakan bahwa selain mazhab Syafi’i semuanya adalah mazhab liar sama sekali tidak didasarkan kepada fakta dan akal sehat. Sejarah telah mencatat bahwa Imam Syafi’i Rahimahullah pernah belajar kepada Imam Malik bin Anas di Madinah. Imam Syafi’i juga pernah belajar pada murid-murid Abu Hanifah di Iraq. Demikian juga Imam Ahmad bin Hanbal juga pernah belajar kepada Imam Syafi’i. Lantas kenapa sang teungku tersebut bisa mengatakan bahwa mazhab Imam Malik adalah mazhab liar, sedangkan faktanya bahwa Imam Malik adalah gurunya Imam Syafi’i. Jika memang mazhab Imam Malik adalah mazhab liar seperti dituduh sang teungku, lantas kenapa Imam Syafi’i bersusah payah ke Madinah untuk belajar kepada Imam Malik? Bahkan sebelum bertemu Imam Malik, Imam Syafi’i sudah terlebih dahulu menghafal kitab Al – Muwattha yang notabenenya adalah kitab karangan Imam Malik. Apakah pernyataan sang teungku tersebut tidak kontradiktif? Sang teungku telah berusaha melakukan pengkaburan terhadap sebuah fakta yang sudah jelas. Sungguh sangat disayangkan.

Diakhir tulisan ini penulis mengajak kepada sang teungku untuk memperdalam ilmu dan jangan tergesa-gesa dalam menyampaikan sesuatu yang belum diketahui secara benar. Forum pengajian seharusnya menjadi media untuk mencerdaskan umat, bukan sebaliknya malah menjadi alat untuk membodohi umat dengan pernyataan-pernyataan yang bernada provokativ. 

Jika ingin mengajar maka mengajarlah dengan ilmu dan jangan pernah mengajar dengan nafsu. Mari bersihkan jiwa dan fikiran kita dari kedengkian berlebihan terhadap orang lain. Semoga Allah mengampuni dosa-dosa kita. Wallahu Waliyut Taufiq.

Artikel ini sudah pernah diterbitkan di Harian Aceh





loading...

No comments